Cerpen

Tukiman dan Keajaiban Idulfitri

225
×

Tukiman dan Keajaiban Idulfitri

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Keajaiban Idulfitri datang dari tempat tak terduga: sebuah selokan, dompet hilang, dan niat jujur seorang anak. Tukiman belajar bahwa kebaikan selalu menemukan jalannya pulang.

Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik, Jawa Timur.

Tagar.co – Tukiman, anak laki-laki yang dikenal lincah dan ceria, tetapi juga sering ceroboh. Ia hidup bersama keluarganya di Kampung Ngablak. Suatu hari, ia mendapat tugas dari ibunya untuk membeli gula di warung Bu Siti. Dengan semangat, ia mengayuh sepedanya menyusuri jalan setapak desa yang dipenuhi rerindangan pohon mangga.

Sesampainya di warung, Tukiman justru terpesona melihat aneka jajanan yang menggoda. “Hem, beli permen dulu, ah!” katanya dalam hati. Dengan uang yang seharusnya untuk membeli gula, ia malah membeli permen, keripik, dan cokelat. Setelah puas berbelanja, ia buru-buru pulang, tetapi lupa membeli gula yang diminta ibunya.

Cerpen Nurkhan lainnya: Amplop Lusuh yang Membuat Tono Tercegat

Di tengah perjalanan, tiba-tiba roda depan sepedanya masuk ke lubang kecil di jalan, membuatnya hampir jatuh. Untungnya, ia berhasil menyeimbangkan diri. Namun, karena panik, kantong plastik belanjaannya terlepas dan jatuh ke selokan. “Aduh! Jajananku!” serunya panik.

Saat berusaha mengambil plastik itu, ia melihat sesuatu yang berkilau di antara rumput-rumput di pinggir selokan. Ia mendekat dan menemukan sebuah dompet berwarna cokelat tua. Setelah diperiksa, ternyata dompet itu berisi sejumlah uang dan kartu identitas milik Pak RT. Jantung Tukiman berdebar-debar. Ia tahu uang itu pasti penting. Tanpa berpikir panjang, ia segera membawa dompet itu ke rumah Pak RT.

Baca Juga:  Puasa dan Berbagi: Menjalin Ketakwaan dan Kebersamaan

Pak RT yang sedang bingung mencari dompetnya merasa sangat bersyukur. “Wah, terima kasih banyak, Man (panggilan Tukiman)! Dompet ini berisi uang iuran warga yang harus saya serahkan hari ini. Kalau hilang, saya pasti sangat kerepotan!” katanya dengan wajah lega. Sebagai tanda terima kasih, Pak RT memberikan Tukiman sejumlah uang sebagai hadiah.

Dengan uang itu, Tukiman segera kembali ke warung Bu Siti untuk membeli gula yang diminta ibunya. Sepanjang perjalanan, ia merasa lega sekaligus malu karena telah ceroboh. “Aku harus lebih bertanggung jawab,” gumamnya. Sesampainya di rumah, ia meminta maaf pada ibunya karena terlambat. Ibu tersenyum dan memeluknya. “Yang penting kamu baik-baik saja, Nak. Tapi lain kali, jangan lupa beli yang Ibu minta dulu, ya.”

Fajar di Kampung Ngablak pagi itu terasa istimewa. Langit masih gelap, tetapi gemuruh takbir seakan-akan masih mengudara, menggema dari masjid dan musala seantero kampung, menyambut cahaya hari ketiga Idulfitri dengan penuh keagungan. Lampu warna-warni yang menghiasi rumah penduduk berkelap-kelip seperti bintang di bumi, menciptakan nuansa magis yang hanya hadir setahun sekali.

Tukiman bangun sebelum azan Subuh berkumandang. Hatinya berdegup penuh sukacita. Setelah mandi dengan air dingin yang menyegarkan, ia mengenakan baju koko putihnya yang masih harum semerbak, dilengkapi sarung baru dan peci rapi. Wajahnya bersinar antusias, tak sabar merasakan kebahagiaan hari-hari berikutnya dalam suasana kemenangan. Ayah dan adiknya pun telah siap. Dengan langkah ringan, mereka berangkat menuju masjid untuk melaksanakan salat Subuh berjemaah.

Di sepanjang jalan, suasana penuh kehangatan terasa. Tetangga saling berpapasan dengan senyum lebar, berjabat tangan erat, dan melontarkan ucapan tulus, “Selamat Hari Raya! Mohon maaf lahir dan batin!” Suara tawa anak-anak kecil yang berlarian dengan baju baru menambah semarak pagi itu. Dari balik jendela rumah-rumah, aroma opor ayam, rendang, dan ketupat yang baru matang menggoda indra penciuman, seolah mengundang setiap orang untuk turut menikmati hidangan istimewa itu.

Baca Juga:  Sahabat yang Tak Lagi Sama

Usai salat Subuh yang khidmat, suasana semakin meriah. Warga Kampung Ngablak berkumpul untuk tradisi halal bihalal meski Idulfitri telah berlalu beberapa hari. Dari yang paling tua hingga anak-anak kecil, semua berbaris rapi, saling berjabat tangan, berpelukan, dan memohon maaf dengan penuh keikhlasan. Ada yang terisak haru saat mengenang kesalahan di masa lalu, ada pula yang tertawa lepas, meleburkan segala salah paham dalam kebersamaan yang tulus.

Ketika tiba giliran Tukiman bersalaman dengan Pak RT, ia menunduk penuh hormat. “Mohon maaf lahir dan batin, Pak,” ujarnya lirih namun penuh ketulusan.

Pak RT tersenyum lembut, lalu mengusap kepala Tukiman perlahan. “Sama-sama, Nak. Ayah bangga padamu. Kamu sudah membuktikan diri sebagai anak yang jujur dan berbudi. Semoga tahun ini membawa lebih banyak kebaikan untukmu.”

Di sudut lain, Bu Siti tengah membagikan kue nastar dan kastengel buatannya yang terkenal enak. Ketika melihat Tukiman, ia menyisihkan satu bungkus khusus untuknya, disertai amplop merah berisi uang saku. “Ini untukmu, Man. Terima kasih sudah membantu Ibu minggu lalu,” katanya dengan mata berbinar. Tukiman tersipu malu, tetapi hatinya berbunga-bunga, merasa dihargai.

Sepanjang hari, Kampung Ngablak dipenuhi gelak tawa dan cerita bahagia. Keluarga Tukiman berkeliling mengunjungi sanak saudara, dari rumah paman yang penuh canda, hingga ke kediaman kakek-nenek yang selalu menghadirkan kisah-kisah inspiratif masa lalu. Di setiap tempat, hidangan lezat tersaji, obrolan hangat mengalir, dan kebahagiaan terasa begitu nyata.

Baca Juga:  Menghidupkan Semangat Dakwah K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari di MI Mutwo

Bahkan, di sela-sela kunjungan, Tukiman dan teman-temannya sempat bermain petasan (tentu yang aman) di lapangan kampung. Suara letusan kecil itu disambut tawa riang, menambah keseruan hari yang begitu sempurna.

Matahari pun mulai tenggelam, namun kebahagiaan Idulfitri di Kampung Ngablak tak kunjung redup. Di bawah langit jingga yang berpadu dengan lampu-lampu terang, semua orang merasa bersyukur: atas maaf yang diberikan, atas kebersamaan yang terjalin, dan atas berkah hari kemenangan yang tak ternilai.

Malam harinya, sambil berbaring di tempat tidur, Tukiman tersenyum sendiri. Ia teringat dompet Pak RT, selokan, dan semua kejadian yang mengubahnya. “Ternyata, kejujuran memang membawa berkah,” pikirnya.

Keesokan pagi, ketika ia membantu ibu membereskan sisa kue, Ibu bertanya, “Apa rencana dan keinginan kamu setelah Lebaran ini, Man?”

Dengan mantap, ia menjawab, “Aku ingin lebih bertanggung jawab dan tidak ceroboh lagi, Bu. Dan… tetap jujur, seperti yang diajarkan Idulfitri.”

Ibu tersenyum bangga. “Alhamdulillah, Nak. Itu hadiah terbaik untuk Ibu.”

Sejak saat itu, setiap kali melewati selokan itu, Tukiman selalu tersenyum. Lubang kecil itu mengingatkannya pada kejadian kemarin karena kecerobohannya—kejutan tak terduga yang mengajarkannya arti kejujuran dan indahnya maaf di hari kemenangan. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni