Sejarah

Kisah Kontroversi Sekolah Masuk di Bulan Ramadan pada Era Menteri Daoed Joesoef

487
×

Kisah Kontroversi Sekolah Masuk di Bulan Ramadan pada Era Menteri Daoed Joesoef

Sebarkan artikel ini
Pada tahun 1978, Menteri P dan K Daoed Joesoef mengeluarkan Keputusan Nomor 0211/U/1978. Pasal 6 dari keputusan tersebut mengatur bahwa bulan puasa adalah waktu belajar. Libur hanya diberikan 10 hari: tiga hari di awal Ramadan dan tujuh hari menjelang Idul Fitri.
Daoed Joesoef (Foto piramida.id)

Pada tahun 1978, Menteri P dan K Daoed Joesoef mengeluarkan Keputusan Nomor 0211/U/1978. Pasal 6 dari keputusan tersebut mengatur bahwa bulan puasa adalah waktu belajar. Libur hanya diberikan 10 hari: tiga hari di awal Ramadan dan tujuh hari menjelang Idul Fitri.

Tagar.co – Wacana libur sekolah selama Ramadan sedang mencuat. Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan agar sekolah libur penuh sepanjang bulan suci. Usulan ini mengingatkan kita pada polemik serupa di tahun 1978, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Daoed Joesoef mewajibkan sekolah tetap masuk selama Ramadan. Kebijakan tersebut memicu protes keras dari berbagai kalangan umat Islam.

Usulan Kemenag saat ini seolah menjadi antitesis dari kebijakan Daoed Joesoef di masa lalu. Jika kebijakan tahun 1978 mengharuskan siswa tetap masuk sekolah, usulan terbaru justru ingin memberikan ruang yang lebih luas untuk ibadah di bulan Ramadan. Dua kutub kebijakan ini menghadirkan kembali perdebatan lama tentang posisi Ramadan dalam kalender pendidikan.

Baca juga: Tanggapan Haedar Nashir soal Wacana Sekolah Libur selama Bulan Ramadan

Kisah kontroversi era Daoed Joesoef ini terekam dalam buku Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan karya Lukman Hakiem (Pustaka Al-Kautsar, 2019). Tulisan ini akan menelusuri kembali jejak polemik tersebut dan melihat relevansinya dengan wacana libur Ramadan yang kembali ramai diperbincangkan.

Kebijakan yang Menuai Polemik

Pada tahun 1978, Menteri P dan K Daoed Joesoef mengeluarkan Keputusan Nomor 0211/U/1978. Pasal 6 dari keputusan tersebut mengatur bahwa bulan puasa adalah waktu belajar. Libur hanya diberikan 10 hari: tiga hari di awal Ramadan dan tujuh hari menjelang Idul Fitri.

Keputusan ini sontak memicu reaksi keras. Umat Islam yang terbiasa dengan libur panjang selama Ramadan merasa keberatan. Tradisi yang telah berlangsung lama mendadak berubah.

Lima Alasan Pemerintah

Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Ali Wardhana, dalam sidang paripurna DPR RI 30 Januari 1979, menjelaskan beberapa alasan di balik kebijakan kontroversial ini.

Pertama, efisiensi kalender pendidikan. Bulan Ramadan selalu maju 11 hari setiap tahun, sehingga kalau bulan Ramadan dijadikan libur besar, setiap tahun akan terjadi perubah jumlah hari-hari sekolah efektif, dan pelaksanaan kalender pendidikan akan terganggu.

Baca Juga:  Kemendikdasmen dan UNFPA Berkolaborasi untuk Pendidikan Kesehatan Reproduksi yang Lebih Baik

Kedua, peningkatan mutu guru. Penyeragaman hari libur bagi lembaga-lembaga pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dimaksudkan agar hari libur bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan kemampuan guru serta tenaga pendidikan lainnya.

Ketiga, perbandingan dengan negara Muslim lain. Di negara-negara Islam seperti Tunisia, Irak, Aljazair, dan Mesir, sekolah sekolah tidak diliburkan pada bulan Ramadhan. Kebiasaan libur besar pada bulan Ramadan berasal dari Pemerintah Hindia-Belanda dulu yang tentunya mempunyai alasan-alasannya sendiri.

Keempat, argumen religius. Di samping itu dapat dikemukakan juga alasan dari sudut agama, yaitu ayat-ayat pertama al-Qur’an surat Al-Alaq yang diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana ayat pertama itu berbunyi, “Bacalah!” yang dapat diartikan menuntut ilmu. Maka wajarlah kalau kita tidak meliburkan sekolah-sekolah pada bulan Ramadan.

Agama Islam menganjurkan kaum Muslimin memperbanyak ibadah pada bulan Ramadhan. Jelas kalau kita mendorong siswa-siswa untuk belajar menuntut ilmu, hal ini merupakan ibadah pada bulan Ramadan.

Baca juga: Wacana Sekolah Libur selama Ramadan Disambut Baik, MUI: Untuk Pendidikan Akhlak Bangsa

Pada kesempatan lain, Daoed Joesoef menjelaskan bahwa kebijakan libur sekolah pada bulan Ramadan di zaman Belanda hanya diperuntukkan bagi Sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat Dua Tahun), dan “Tujuannya mungkin untuk membodohkan rakyat Indonesia,” ujar Daoed Joesoef sembari menambahkan, dirinya yang bersekolah di Holland Inlandse School (HIS) tidak libur pada bulan puasa.

Reaksi Umat Islam

Di harian Pelita, keterangan Daoed Joesoef dibantah oleh anggota Fraksi PP DPR-RI, K.H. Abdul Aziz Halim. “HIS zaman Belanda dulu libur pada bulan Puasa. Saya adalah tamatan HIS, dan menurut hemat saya Pemerintah Belanda meliburkan HIS dan Sekolah Ongko Loro pada bulan Puasa bukan bermaksud memperbodoh anak-anak kita. Maksudnya adalah menghormati bulan Puasa dan memberikan kesempatan kepada pelajar-pelajar untuk beribadah sebaik-baiknya dalam ulan suci tersebut,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Ummat Islam (PB PUI) itu.

Baca Juga:  Mendikdasmen Perkenalkan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat

Menteri Agama (1962-1967), K.H. Saifuddin Zuhri, menulis artikel khusus menanggapi keterangan Daoed Joesoef. Menurutnya, selama 34 tahun merdeka (1945-1979) kita telah mempunyai Menteri Pendidikan yang begitu banyak jumlahnya. Mereka itu dalam kebijakan pendidikan sekolah-sekolah negeri pada bulan nasional antara lain meliburkan Ramadhan. “Tentulah mereka tidak hendak membuat rakyat menjadi bodoh,” sindir tokoh NU itu.

Bekas Duta Besar RI di Saudi Arabia, H. Aminuddin Azis membenarkan bahwa di Saudi Arabia, sekolah tidak libur pada bulan Ramadhan, karena liburan di Saudi ditentukan berdasarkan peredaran musim, yaitu bila tibamusim panas, maka semua sekolah diliburkan. Musim panas di Saudi Arabia dan negara-negara Arab lainnya berlangsung tiga bulan. “Pada bulan-bulan itulah, sekolah diliburkan. Indonesia tidak bisa dipersamakandengan negara-negara Arab dalam menentukan masalah liburan sekolah. karena kondisi iklimnya berbeda,” katanya membantah Daoed Joesoef.

Reaksi dan kritik terhadap kebijakan Menteri Daoed Joesoef datang dari berbagai organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, NU Jami’iyatul Washliyah, Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), dan Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII); tokoh-tokoh umat Islam, dan anggota DPR RI. Semua reaksi dan kritik itu ditampung dan disuarakan oleh pimpinan MUI.

Keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III MUI, 15-17 Oktober 1978 berbunyi: “Mengusulkan kepada Pemerintah agar bulan Ramadhan tetap dijadikan libur sekolah.” Dalam pernyataan tanggal 1 Mei 1979, MUI mensinyalir masalah libur sekolah pada bulan Ramadhan tidaklah berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan usaha-usaha pihak tertentu untuk menyekulerkan Negara Pancasila.

Sementara itu, M. Natsir menyesalkan ucapan Menteri Joesoef bahwa tidak diliburkannya sekolah-sekolah pada bulan Puasa bukan masalah agama, melainkan demi kepentingan nasional. Natsir mengingatkan bahwa jiwa kebangsaan seorang Muslim Indonesia sama sekali tidak akan berkurang hanya karena dia memperhatikan kepentingan agamanya. Natsir bertanya, apakah yang menjadi ukuran nasionalisnya seseorang bila kaum Muslimin yang sudah berjuang selama ini dinyatakan tidak memperhatikan kepentingan nasional.

Baca Juga:  Serunya Ibu Menteri Senam bareng Siswa di Serang

Menurut Natsir, dengan pernyataannya di dalam soal libur sekolah pada bulan Ramadhan, Menteri Daoed Joesoef telah mengaitkan dua soal yang saling dipertentangkan, yaitu soal agama dan soal kepentingannasional. “Bagi kita, umat Islam, tidak ada pemisahan antara kepentingan agama dengan kepentingan nasional,” tegas Natsir

Ancaman dan Solidaritas

Jangankan mundur dari kebijakannya, saat itu Menteri Daoed Joesoef malah menebar ancaman kepada sekolah-sekolah swasta yang tetap meliburkan sekolahnya pada bulan Ramadhan.

Daoed Joesoef mengancam akamn mencabut subsidi untuk sekolah-sekolah tersebut. Sekolah-sekolah yang menyatakan akan tetap libur pada bulan Ramadhan antara lain Muhammadiyah, Perguruan Asy-Syafiiyyah Jakarta, Lembaga Pendidik Ma’arif NU, dan Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

Sehubungan dengan ancaman Menteri Daoed Joesoef itu, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) melalui Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) mengundang para pengurus masjid untuk membahas ancaman tersebut. Pertemuan di Masjid Al-Ghuraba, Rawamangun, Jakarta Timur itu berhasil menghimpun dana yang kemudiandiserahkan kepada Muhammadiyah sebagai tanda solidaritas dan dorongan agar Muhammadiyah hidup mandiri, tanpa menggantungkan diri kepada bantuan Pemerintah.

Pelajaran yang Bisa Dipetik

Kontroversi kebijakan sekolah masuk di bulan Ramadan pada masa Daoed Joesoef menunjukkan kompleksitas hubungan antara agama dan negara, khususnya dalam konteks pendidikan. Wacana libur Ramadan yang kini diusulkan Kemenag menjadi refleksi dari dinamika tersebut.

Kisah ini juga mengingatkan pentingnya mempertimbangkan aspek sosiokultural dan religiusitas masyarakat dalam perumusan kebijakan publik. Ramadan di ruang kelas tahun 1978 menjadi catatan sejarah tentang pentingnya mencari titik temu antara pendidikan dan penghormatan terhadap nilai-nilai agama.

Diskursus tentang libur sekolah selama Ramadan, dulu dan kini, membawa kita pada pertanyaan penting: bagaimana menyeimbangkan antara pendidikan dan penghormatan terhadap nilai-nilai agama dalam bingkai kebangsaan? (#)

Mohammad Nurfatoni

Sejarah

Malam penuh keajaiban, perjalanan Rasulullah Saw melampaui logika,…