
Firda adalah bisikan di tengah keramaian. Suaranya lembut, hampir tak terdengar, dan hanya akan menguat saat ia tenggelam dalam percakapan tentang seni atau buku-buku favoritnya.
Titik balik gadis introver ini datang dalam bentuk ilustrasi seorang gadis kecil bersayap burung, yang tampak berusaha melepaskan diri dari sangkar emas.
Gadis di Balik Tirai; Cerpen oleh Nurkhan, Kepala MI Muhammadiyah 2 Campurejo, Panceng, Gresik.
Tagar.co – Kamar Firda adalah sebuah semesta mini, tempat ia merajut mimpi dan menuangkan imajinasi. Ruangan berukuran 3×4 meter itu mungkin tampak berantakan bagi orang lain, tapi bagi Firda, setiap sudutnya adalah simfoni sunyi yang hanya bisa ia dengar.
Rak kayu tua, yang punggungnya mulai melengkung lelah, dipenuhi buku-buku bagaikan penjaga setia. Novel-novel klasik bersanding dengan buku panduan menggambar dan komik-komik lusuh yang menjadi saksi bisu perjalanan kreativitas Firda. Sebagian buku tumpah ke lantai, berpelukan dengan kertas-kertas sketsa yang penuh coretan, seolah tak mau dipisahkan.
Meja belajar Firda, terletak di bawah jendela yang tirainya jarang tersibak, adalah palet kehidupannya. Di sanalah, pensil warna, cat air, kertas sketsa, dan pena tinta hitam berserakan dalam harmoni yang kacau. Lampu meja bertudung hijau tua menerangi ruang itu dengan cahaya lembut di kala malam, menciptakan atmosfer hangat yang memeluk Firda dalam dunianya sendiri.
Komputer tua di sudut meja menjadi jendela keduanya, layarnya yang besar menyimpan jejak-jejak digital dari kreativitasnya. Dinding di sekeliling meja adalah galeri pribadinya, dipenuhi tempelan gambar-gambar karyanya, dari sketsa kasar hingga ilustrasi berwarna yang detail, bagaikan mozaik perjalanan seninya.
Baca juga: Temon
Firda, gadis 16 tahun yang lebih memilih bersembunyi di balik tirai kesendirian. Rambut hitam lurusnya sering diikat seadanya, memperlihatkan wajah oval dengan kulit sawo matang yang bersih. Matanya, sepasang jendela cokelat yang dalam, menyimpan ribuan cerita dan mimpi yang tak terucap.
Tatapannya teduh, penuh rasa ingin tahu, tapi jarang sekali terbuka lebar pada dunia. Tubuhnya mungil, sering kali terbungkus sweater kebesaran yang menjadi zona nyamannya. Celana jeans longgar dan sepatu kets lusuh melengkapi penampilannya, seolah menegaskan bahwa kenyamanan adalah segalanya bagi Firda.
Firda adalah bisikan di tengah keramaian. Suaranya lembut, hampir tak terdengar, dan hanya akan menguat saat ia tenggelam dalam percakapan tentang seni atau buku-buku favoritnya. Jemarinya sering menari gelisah di ujung sweater saat gugup, atau menggigit ujung pensil ketika benaknya berputar mencari ide.
Di sekolah, ia adalah bayangan di pojok kelas, yang lebih asyik menorehkan imajinasinya di buku gambar daripada memperhatikan pelajaran. Banyak yang menganggapnya aneh, penyendiri, tapi Firda tak pernah merasa perlu menjelaskan dirinya. Dunianya, yang penuh warna dan imajinasi, sudah cukup baginya.
Namun, di balik tirai kesendirian itu, sebuah mimpi besar bersemayam. Firda ingin menjadi ilustrator, ingin menghidupkan karakter-karakter imajinernya agar bisa dinikmati banyak orang. Setiap malam, ia menenggelamkan diri dalam dunia gambar, menciptakan dunia-dunia fantastis di atas kertas.
Tapi, dunia nyata terasa seperti tembok raksasa yang mengurungnya. Apakah karyaku cukup bagus? Apakah orang akan menyukainya? Akankah aku ditertawakan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, seperti hantu yang merantai langkahnya. Rasa takut dan ragu menjadi penjara yang lebih kuat daripada dinding kamarnya.
Pak Hafid, guru seni berhati lembut, melihat kilau terpendam dalam diri Firda. Ia sering tertegun melihat Firda yang asyik menggambar di tengah pelajaran, bukan dengan tatapan menghakimi, tapi dengan kekaguman yang tulus.
Suatu pagi, setelah kelas usai, Pak Hafid menghampiri Firda. “Firda,” sapanya lembut, “Karya-karyamu punya jiwa. Bapak sering memperhatikan, detail dan imajinasimu luar biasa. Pernahkah kamu berpikir untuk membagikannya kepada dunia?”
Firda membeku. Dunia? Kata itu bagaikan guntur di siang bolong. Selama ini, ia hanya berani bermimpi dalam keheningan kamarnya. Pikiran tentang penilaian orang membuatnya gemetar. Namun, sorot mata Pak Hafid yang penuh keyakinan dan kata-katanya yang tulus, bagaikan percikan api yang menyulut keberanian dalam hatinya.
Setelah perenungan panjang, Firda memberanikan diri untuk mengambil langkah kecil. Ia membuat akun media sosial, tanpa nama, tanpa wajah, hanya untuk karya-karyanya. Sebuah panggung anonim untuk lukisan-lukisannya.
Dalam hitungan bulan, akun itu menarik perhatian. Pujian-pujian sederhana mulai mengalir, bahkan beberapa orang ingin membeli karyanya. Setiap komentar positif menjadi tetesan air yang memupuk rasa percaya dirinya yang selama ini layu.
Baca juga: Kasun Kasrun
Titik balik itu datang dalam bentuk ilustrasi seorang gadis kecil bersayap burung, yang tampak berusaha melepaskan diri dari sangkar emas. Gambar itu, yang ia unggah dengan judul sederhana “Kebebasan”, mendadak viral. Ribuan orang membagikannya, tersentuh oleh emosi yang terpancar dari goresan-goresan Firda. Sebuah penerbit besar kemudian menghubunginya, menawarkan kesempatan emas: menjadi ilustrator buku cerita anak-anak.
Jantung Firda serasa mau copot. Dunia profesional, dengan segala soroIntrotannya, terasa seperti lautan luas yang siap menelannya. Namun, ia teringat kata-kata Pak Hafid, “Langkah kecil sudah cukup, Firda. Yang penting, kamu berani melangkah.” Dengan tangan gemetar dan hati yang berdebar kencang, Firda menerima tawaran itu.
Beberapa tahun kemudian, nama Firda melambung di dunia ilustrasi. Buku-buku yang dihiasi gambarnya laris manis, bahkan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Namun, Firda tetaplah gadis di balik tirai, yang lebih nyaman dengan kesendirian dan dunianya yang penuh warna.
Di sebuah acara peluncuran bukunya, seorang anak kecil dengan mata berbinar menghampirinya, membawa buku bergambar karya Firda. “Kak Firda,” ucapnya malu-malu, “Gambar Kakak indah sekali. Aku jadi ingin belajar menggambar juga. Dulu aku takut, tapi melihat karya Kakak, aku jadi berani.”
Senyum merekah di bibir Firda. Air mata haru menggenang di pelupuk matanya. Di momen itu, ia mengerti. Kesuksesan bukanlah tentang gemerlap dan tepuk tangan, tapi tentang keberanian untuk melangkah keluar dari zona nyaman, dan menyentuh hati orang lain melalui karya.
Kesuksesan adalah tentang menemukan suaramu, sekecil apa pun itu, dan membiarkannya berkumandang di dunia, seperti warna-warna yang menari di balik tirai. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni