Drama Bidaah mengguncang Asia Tenggara dengan kisah sekte sesat berselubung agama. Baiduri dan Hambali melawan manipulasi spiritual yang menyamar jadi ibadah—sebuah drama yang menohok dan menggugah.
Tagar.co – Di tengah derasnya tayangan drama Asia yang kerap didominasi romansa, hiburan ringan, dan horor serial drama Malaysia Bidaah muncul sebagai kejutan yang menggugah kesadaran sosial dan spiritual.
Tayang sejak Maret 2025 di platform Viu, drama 15 episode ini bukan hanya mencuri perhatian, tetapi juga menimbulkan riak perdebatan luas karena keberaniannya mengangkat isu yang sensitif dan relevan: penyalahgunaan agama oleh kelompok kultus.
Kisah Bidaah berpusat pada Baiduri Amira (Riena Diana), seorang perempuan muda yang dipaksa ibunya, Kalsum (Fazlina Ahmad Daud), bergabung dengan kelompok keagamaan bernama Jihad Ummah.
Di bawah pimpinan karismatik Walid Muhammad (diperankan dengan sangat meyakinkan oleh Faizal Hussein), kelompok ini mengklaim sebagai gerakan spiritual untuk menyucikan umat. Namun di balik balutan zikir dan siar, tersimpan praktik-praktik menyimpang yang mengerikan.
Walid bukan sekadar pemimpin spiritual. Ia menyebut dirinya Imam Mahdi, sosok penyelamat akhir zaman. Dengan retorika yang memesona dan dalil agama yang dipelintir, ia menciptakan struktur kekuasaan absolut.

Para pengikutnya tunduk, bukan semata karena cinta, tapi karena takut dan merasa bersalah. Dalam sistem ini, para perempuan muda—yang disebutnya “bidadari surga”—dipaksa untuk menikah secara spiritual dengannya, sebuah eufemisme atas pelecehan seksual yang disamarkan sebagai pengabdian.
Baiduri adalah saksi hidup dari semua itu. Ia menyaksikan gadis-gadis seusianya “disucikan” melalui ritual penuh tekanan mental dan manipulasi. Ia sendiri nyaris menjadi korban, sebelum benih perlawanan tumbuh dalam dirinya.
Baca juga: Kontroversi Serial Drama Malaysia, Ustaz Dayak: Film “Bidaah” Tampar Kesadaran Tokoh Agama
Saat itu, masuklah tokoh Hambali (Fattah Amin), anak salah satu petinggi sekte—Abi Saifullah diperankan oleh aktor Hasnul Rahmat—yang baru kembali dari Yaman. Hambali mulai mempertanyakan keabsahan ajaran Walid dan menemukan sekutu dalam diri Baiduri. Bersama, mereka berusaha membongkar penyimpangan dan mencari jalan keluar dari cengkeraman sekte yang membelenggu.
Drama berdurasi 15 episode ini memanfaatkan setiap menit untuk membangun atmosfer yang penuh ketegangan dan nuansa kelam. Alur cerita yang progresif dan dialog yang menggugah membuat Bidaah bukan hanya menarik dari segi narasi, tapi juga menggugah dari sisi moral dan spiritual.
Yang membuat Bidaah begitu memikat bukan hanya kisahnya yang menegangkan, tetapi juga cara ia dikemas. Naskah karya Eirma Fatima dan penyutradaraan Pali Yahya mampu menyajikan cerita dengan ritme yang pas—intens namun tidak terburu-buru. Setiap episode berdurasi 30 menit diisi dengan dinamika dramatis dan simbolisme yang kuat, tanpa jatuh ke jebakan melodrama atau propaganda.
Penampilan Faizal Hussein layak mendapat pujian tinggi. Dia adalah tulang punggung serial ini. Faizal berhasil menampilkan sosok Walid sebagai pemimpin yang tampak bijak di luar, namun ternyata penuh tipu daya. Sorot matanya mampu membuat penonton merinding, sekaligus menyadari betapa berbahayanya kekuasaan yang berselubung agama. Dengan sorot mata tajam dan pidato-pidato menggetarkan, ia tampil begitu meyakinkan sebagai pemimpin kultus yang karismatik sekaligus berbahaya.

Riena Diana sebagai Baiduri tampil meyakinkan, menggambarkan transformasi karakter dari remaja polos menjadi perempuan yang berani melawan sistem. Chemistry-nya dengan Fattah Amin menambah lapisan emosional dalam kisah perjuangan ini.
Tak hanya soal akting, Bidaah juga menyumbang sesuatu yang lebih besar: kesadaran sosial. Serial ini memicu diskusi publik tentang praktik penyimpangan atas nama agama, tentang pentingnya literasi keagamaan, dan tentang bagaimana masyarakat seharusnya tak begitu saja tunduk pada pemimpin karismatik tanpa akuntabilitas.
Salah satu adegan paling kontroversial—ritual minum air bekas mandi Walid sebagai bentuk “berkah”—menjadi perbincangan luas dan mencerminkan realitas sektarian yang pernah (dan masih) terjadi di dunia nyata.

Tidak mengherankan jika serial ini ditonton lebih dari 2,5 miliar kali di Viu, menjadi salah satu tayangan paling viral sepanjang tahun di Asia Tenggara. Relevansi isu, kekuatan narasi, dan keberanian menyuarakan kebenaran membuat Bidaah tidak hanya menjadi hiburan, tapi juga tamparan moral yang menyadarkan.
Bidaah adalah drama yang bukan hanya menyajikan ketegangan, tetapi juga keberanian. Ia membuka luka sosial yang selama ini mungkin ditutup rapat: bagaimana agama bisa dijadikan alat untuk menindas, dan bagaimana perempuan sering kali menjadi korban pertama dalam sistem yang mengagungkan pemimpin spiritual tanpa batas.
Bidaah bukan hanya drama, melainkan peringatan. Tentang bagaimana dogma bisa membutakan, bagaimana simbol bisa menyihir, dan bagaimana kekuasaan—jika tak diawasi—bisa menindas atas nama Tuhan. Ia mengingatkan bahwa keimanan tanpa pemahaman kritis bisa menjelma menjadi alat penghisap jiwa.
Drama ini layak ditonton bukan untuk sensasinya, melainkan untuk pelajarannya: bahwa membela kemanusiaan kadang butuh keberanian melawan mereka yang mengaku membawa cahaya.
Melalui Bidaah, kita diajak bertanya kembali: apakah kita benar-benar mengenal iman, atau hanya tunduk pada simbol dan suara yang lebih lantang? Sebuah drama yang penting ditonton, direnungi, dan dibicarakan—bukan hanya karena ia berani, tetapi karena ia benar-benar terjadi di dunia nyata.
Mohammad Nurfatoni, menonton Bidaah secara lengkap dalam dua malam 22-23 April 2025.