Opini

AI, Koding, dan Tantangan Mencetak Generasi Berakhlak

202
×

AI, Koding, dan Tantangan Mencetak Generasi Berakhlak

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

AI dan koding menjadi keniscayaan masa depan pendidikan. Namun, bagaimana agar keduanya tidak melahirkan generasi pintar tapi kehilangan akhlak?

Oleh Abdul Rokhim Ashari, S.Pd.; Guru Komputer SD Muhammadiyah 1 Kebomas, Gresik, Jawa Timur

Tagar.co – Dunia pendidikan sedang berada pada persimpangan sejarah. Revolusi industri 4.0 dan gelombang kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah mengubah wajah pembelajaran secara drastis.

Siswa kini tidak lagi hanya berhadapan dengan papan tulis dan buku cetak, tetapi juga dengan mesin pintar yang mampu menjadi asisten belajar, bahkan berperan sebagai pengajar.

Baca juga: Belajar Koding di SD Muri: Bermain, Berpikir, dan Bertumbuh di Dunia Digital

Di sisi lain, koding—kemampuan memahami dan menulis bahasa komputer—telah menjelma sebagai “literasi baru” yang menentukan kualitas sumber daya manusia di era digital.

Namun, di balik peluang besar ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana menjaga agar pendidikan tetap berpijak pada nilai-nilai keislaman, sehingga generasi yang lahir bukan sekadar cerdas secara teknologi, tetapi juga kokoh iman dan akhlaknya?

AI dan Coding: Keniscayaan Masa Depan

Fakta menunjukkan, AI berkembang dengan sangat cepat. Laporan McKinsey (2023) memperkirakan bahwa AI berpotensi meningkatkan produktivitas global hingga 7 triliun dolar per tahun.

Baca Juga:  KBBI Dicari 305 Juta Kali: Bagaimana AI Mengubah Peran Kamus?

Dalam dunia pendidikan, AI sudah dimanfaatkan untuk personalisasi pembelajaran, analisis capaian siswa, hingga pembuatan materi otomatis. Artinya, siswa masa depan akan terbiasa belajar dengan dukungan mesin cerdas yang menyesuaikan tempo, gaya, dan kebutuhan belajar mereka.

Sementara itu, koding tidak lagi menjadi keterampilan eksklusif bagi para programmer. Inggris, misalnya, telah mewajibkan koding sejak tingkat dasar.

Indonesia pun mulai merintis program serupa, meski masih terbatas. Data World Economic Forum (2020) menunjukkan bahwa 65 persen pekerjaan di masa depan akan erat kaitannya dengan teknologi digital.

Risiko dan Krisis Nilai

Di balik peluang emas ini, ada risiko besar yang tidak boleh diabaikan. Ketergantungan pada AI bisa menumpulkan kreativitas alami manusia.

Lebih jauh lagi, AI membawa bias nilai karena dikembangkan dengan perspektif budaya dan ideologi tertentu, mayoritas Barat. Jika tidak disikapi kritis, generasi kita berisiko menjadi pengguna pasif yang kehilangan arah nilai.

Demikian pula dengan koding. Keterampilan ini memang membuka pintu lapangan kerja masa depan, tetapi tanpa orientasi moral, ia dapat digunakan untuk kejahatan digital: penyebaran hoaks, peretasan, hingga eksploitasi data pribadi.

Baca Juga:  Menko PMK: Jangan Hanya Jadi Pengguna, Indonesia Harus Berdaulat dalam AI

Pendidikan yang hanya mengejar keterampilan teknis tanpa fondasi akhlak akan melahirkan generasi yang berbahaya—pintar, tetapi tidak bermoral.

Islam sebagai Penuntun Arah

Islam memiliki pandangan yang jelas tentang pendidikan. Tujuannya bukan hanya mencetak manusia yang kompeten, tetapi juga membentuk insan beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (H.R. Ahmad). Maka, AI dan koding harus diarahkan menjadi alat untuk memberi manfaat, bukan sebaliknya.

Prinsip Islam tentang tauhid, amanah, dan akhlak harus menjadi fondasi. AI boleh digunakan untuk mempercepat pembelajaran, tetapi tidak boleh menghilangkan peran guru sebagai teladan moral.

Koding boleh diajarkan sejak dini, tetapi harus ditanamkan bahwa teknologi adalah amanah, bukan senjata untuk merugikan orang lain.

Beberapa lembaga pendidikan Islam telah memulai langkah konkret:

  • Pesantren Digital di Bandung mengajarkan koding berbasis proyek dengan menanamkan etika Islam. Santri tidak hanya membuat aplikasi, tetapi juga menimbang manfaatnya bagi umat.

  • Sekolah Islam Terpadu di Jakarta memanfaatkan AI untuk pembelajaran tahfidz Al-Qur’an. Aplikasi AI memberi umpan balik bacaan, tetapi guru tetap memegang peran utama dalam pembinaan akhlak dan ruhiyah.

  • Universitas Muhammadiyah Surakarta mengembangkan riset pemanfaatan AI untuk analisis teks Al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa teknologi bisa diarahkan untuk memperkuat nilai keislaman, bukan menggerusnya.

Baca Juga:  Kemerdekaan Bangsa, Ketidakmerdekaan Guru

Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa integrasi AI, koding, dan nilai Islam bukan sekadar wacana, melainkan sudah berjalan. Tantangannya kini adalah bagaimana negara dan masyarakat menjadikannya paradigma utama, bukan pengecualian.

Penutup

Masa depan pendidikan adalah gabungan antara teknologi tinggi dan nilai luhur. AI dan koding memang keniscayaan, tetapi jika dibiarkan tanpa kendali nilai, keduanya bisa menjadi pedang bermata dua.

Sudah saatnya sistem pendidikan nasional menegaskan orientasi: mencetak generasi yang tidak hanya ahli teknologi, tetapi juga kokoh iman dan akhlaknya. Dengan menempatkan Islam sebagai fondasi, AI dan kodingtidak akan menjadi ancaman, melainkan peluang besar untuk membangun peradaban yang mulia. (#)

Penyunitng Mohammad Nurfatoni