Feature

Kisah Inspiratif Camelia Najwa: Semangat Mengajar di Tengah Tantangan Thailand Selatan

404
×

Kisah Inspiratif Camelia Najwa: Semangat Mengajar di Tengah Tantangan Thailand Selatan

Sebarkan artikel ini
Camelia Najwa (tengah) bersama murid-muridnya di sebuah sekolah dasar di Yaha, District Yaha, Provinsi Yala, Thailand Selatan (Foto Humas UMM)

Camelia Najwa, mahasiswi UMM, menapaki pengalaman mengajar di Thailand Selatan. Bahasa, keamanan, dan keterbatasan jadi tantangan, tapi semangatnya menebar ilmu dan cinta tanah air tak pernah surut.

Tagar.co — Hamparan alam hijau dan suasana religius di kawasan Muslim di Thailand Selatan menjadi latar pengabdian Camelia Najwa. Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini kini menjalani hari-hari sebagai pengajar sekaligus relawan dalam program internasional, hasil kerja sama Asosiasi Muhammadiyah Indonesia dan Muhammadiyah Thailand.

Bersama belasan mahasiswa UMM lain, Camelia mengajar di sekolah dasar di Thailand Selatan sejak Mei hingga Juli 2025 mendatang. Program ini sebenarnya sudah berjalan sejak awal 2010-an melalui Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMM. Kehadiran mahasiswa Indonesia menjawab kebutuhan akan guru Bahasa Inggris di kawasan ini, mengingat keterbatasan warga lokal yang fasih berbahasa asing.

Camelia ditugaskan di wilayah Yaha, District Yaha, Provinsi Yala, Thailand Selatan, tepatnya di sekolah dasar yang menerapkan konsep English Village. Tantangan pertamanya datang dari perbedaan bahasa. Warga setempat lebih banyak menggunakan bahasa daerah, bukan bahasa Thai baku. Hal ini memaksanya mempelajari bahasa Melayu kuno, yang menjadi penghubung komunikasi di kelas.

Baca Juga:  Belajar ke Eropa? Mahasiswa UMM Bisa lewat Erasmus

“Saya mau tidak mau harus belajar bahasa baru agar bisa memahami dan dipahami oleh mereka,” tuturnya, dikutip dari siaran pers Humas UMM yang diterima Tagar.co, Rabu (18/6/25) siang.

Meski bukan hal mudah, Camelia berusaha membangun suasana belajar yang hangat dan menyenangkan. Apalagi sekolah tempatnya bertugas dikelola gratis oleh Muhammadiyah. Setiap pagi, anak-anak mengikuti upacara, senam, kemudian salat Dhuha berjemaah di musala sekolah. Proses belajar mengajar dimulai pukul sembilan pagi, diakhiri dengan makan siang bersama yang juga gratis, dari jenjang PAUD hingga SD.

Keterbatasan fasilitas bukan halangan. Camelia justru belajar bersyukur dan terpacu berinovasi agar murid tetap bersemangat. “Saya harus terus berpikir kreatif,” ucapnya.

Isu Keamanan

Namun, dinamika mengajar di perbatasan juga lekat dengan isu keamanan. Usai salat Isya, anak-anak disarankan tetap di rumah karena wilayah sekitar dijaga ketat oleh pos militer dalam radius satu hingga lima kilometer. Meski demikian, warga lokal dikenal sangat ramah dan hangat. Wajah Camelia bahkan kerap disangka penduduk setempat.

Baca Juga:  CryoSynctive: Harapan Baru Penyembuhan Luka Diabetes dari Kampus Putih

Suasana kelas pun penuh keakraban. Murid-muridnya selalu tampak ceria. Mereka bahkan berinisiatif menjemputnya bila ia sedikit terlambat datang ke kelas. “Interaksi seperti ini bikin saya semakin merasa dekat dengan mereka,” katanya.

Baginya, kesempatan ini menumbuhkan rasa nasionalisme dan tanggung jawab sosial. Ia sadar, menjadi guru berarti membentuk fondasi moral dan intelektual generasi mendatang, bukan sekadar mengajar materi pelajaran.

Usai menuntaskan tugas di Thailand, Camelia ingin menerapkan ilmu dan pengalamannya untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Ia pun berharap terus meningkatkan kemampuan bahasa asing, pola pikir kritis, dan pandangan global agar mampu melihat tantangan pendidikan dari berbagai perspektif.

“Dari pelosok Thailand Selatan saya belajar, meskipun berada di negeri orang, cinta kepada tanah air tidak pernah pudar. Indonesia is home. Betapa pun nyamannya di negeri orang, kerinduan pada tanah kelahiran pasti ada. Maka, seburuk apa pun keadaan di negeri sendiri, sebaik-baiknya manusia adalah yang berusaha memperbaiki,” ujarnya. (*)

Penyunting Mohammad Nurfatoni