SejarahUtama

Tiga Guru Hebat: Muhammad Kholil, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Ahmad Surkati

×

Tiga Guru Hebat: Muhammad Kholil, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Ahmad Surkati

Sebarkan artikel ini
Tiga guru hebat. Dari kiri: Muhammad Kholil, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Ahmad Surkati

Tiga guru hebat ini menjadi inspirasi bagi para pendidik yang hari ini memperingati Hari Guru Nasional.

Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang

Tagar.co – Guru Hebat? Tentu, banyak kriterianya. Di sini, sekadar menyebut satu kriteria saja yaitu mampu mengantar banyak anak didiknya menjadi ”orang-orang besar”.

Di negeri ini banyak guru hebat. Berikut ini sekadar disebut tiga saja. Disebut, urut berdasar usia.

Pertama, Muhammad Kholil; Ulama Bangkalan yang ”Lahirkan” Banyak Ulama Besar. Kedua, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Pembaharu yang ”Melahirkan” Banyak Ulama Besar. Ketiga, Ahmad Surkati; Pendiri Al-Irsyad dan Guru dari Banyak Tokoh Nasional.

Muhammad Kholil; Guru Banyak Ulama Besar

Muhammad Kholil lahir pada 27/01/1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Bangkalan – Madura. Beliau berasal dari keluarga ulama. Terutama di saat awal, pendidikan dia digembleng langsung oleh ayahnya yang bernama KH Abdul Latif.

Menginjak dewasa Muhammad Kholil belajar di berbagai pesantren. Ketika usianya menjelang tiga puluh, beliau belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan, Tuban. Lalu, ke Pesantren Cangaan, Bangil – Pasuruan. Kemudian ke Pesantren Keboncandi – Pasuruan sekaligus belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri – Pasuruan (7 kilometer dari Keboncandi).

Pada 1859, Muhammad Kholil belajar di Mekkah. Di Mekkah Muhammad Kholil bertemu Syaikh Nawawi Al-Bantani (Guru Para Ulama Indonesia dari Banten) dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (Guru Para Ulama Indonesia dari Minangkabau).

Muhammad Kholil berguru kepada ulama. Misal, kepada Syaikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, dan Syaikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani.

Beberapa sanad Hadits yang musalsal diterima Muhammad Kholil dari Syaikh Nawawi Al-Bantani. Juga, dari Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (dari Bima, Sumbawa).

Sewaktu belajar di Mekkah, Muhammad Kholil bertemu dengan Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Hasbullah, dan Ahmad Dahlan. Di antara mereka, Muhammad Kholil yang dituakan.

Sepulang dari Makkah, Muhammad Kholil terkenal sebagai–antara lain-ulama ahli nahwu dan fiqih. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Muhammad Kholil lalu mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Muhammad Kholil sadar benar bahwa pada zaman itu bangsanya sedang terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama.

Baca Juga:  Novel Sejarah Ini Bikin Pembaca serasa bersama Syekh Ahmad Surkati

Beberapa ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Muhammad Kholil. Di antara sekian banyak murid Muhammad Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Hasyim Asy’ari (pendiri Pesantren Tebuireng Jombang dan pendiri NU), Abdul Wahab Hasbullah (pendiri Pesantren Tambakberas Jombang), Bisri Syansuri (pendiri Pesantren Denanyar Jombang), Ma’shum (pendiri Pesantren di Lasem – Rembang), Bisri Mustofa (pendiri Pesantren di Rembang), dan As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pesantren di Asembagus – Situbondo).

Juga, murid Muhammad Kholil adalah Mas Mansur. Beliau Ketua Umum PP Muhammadiyah 1937-1942. Di samping itu, di pergerakan kemerdekaan, Mas Mansur bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara disebut sebagai Empat Serangkai.

KH Muhammad Kholil wafat pada 14 Mei 1923. Maka, menjadi tugas kita untuk melanjutkan berbagai teladannya, yaitu rajin menuntut ilmu, mengajar murid dengan serius, dan memimpin umat dengan sepenuh pengayoman.

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Guru Banyak Ulama Besar

Ahmad Khatib lahir pada 26 Mei 1860 di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat. Saat kanak-kanak, dia mempelajari dasar-dasar ilmu agama dari sang ayah yaitu Syaikh Abdul Lathif. Lewat sang ayah pula, dia mulai menghafal Al-Qur’an dan berhasil menghafalkan beberapa juz.

Saat berusia 11 tahun, Ahmad Khatib dibawa sang ayah berhaji. Di Makkah, setelah berhaji, Ahmad Khatib belajar. Dia mendalami Islam ke beberapa ulama. Pada usia sekitar 16 tahun dia kembali ke Indonesia untuk beberapa bulan. Lalu, pada 1876 dia kembali ke Makkah untuk lebih mendalami agama. Dia-pun lalu menetap di sana.

Di usia 20 tahun, dia mulai dikenal masyarakat Makkah karena akhlak dan ilmunya. Termasuk karena itu pulalah, Ahmad Khatib diambil menantu oleh salah seorang saudagar di Makkah. Walau Ahmad Khatib mukim di Mekkah, dia tetap termasuk tokoh pembaharu di Indonesia di penghujung abad ke-19 dan di awal abad ke-20.

Pikiran-pikiran Ahmad Khatib tersebar luas di Indonesia dengan cara, pertama, melalui buku-bukunya. Kedua, melalui mereka yang datang ke Mekkah untuk beribadah haji dan sekaligus menyempatkan diri belajar kepada Ahmad Khatib.

Baca Juga:  Islamic Book Fair, Pro-U, dan Kisah ‘Buku Dilawan Buku’

Setelah kembali ke Indonesia, para murid Ahmad Khatib menjadi Ulama Besar. Misal, yang berasal dari Minangkabau antara lain Syaikh Muhammad Jamil Jambek (1860–1947), H. Abdul Karim Amrullah (1879-1945, beliau ayah Hamka), dan H. Abdullah Ahmad (1878–1933). Juga, murid Ahmad Khatib saat di Mekkah adalah Agus Salim (Pahlawan Nasional).

Adapun murid yang berasal dari Jawa di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan (1868-1923, pendiri Muhammadiyah), dan KH Hasyim Asy’ari (1871-1947, pendiri NU). Sementara, banyak ulama besar dari daerah lain juga murid dari Ahmad Khatib.

Ahmad Khatib produktif menulis. Dia menulis 50-an buku, berbahasa Arab atau Melayu. Karya-karya tulis Ahmad Khatib kebanyakan bertema kekinian terutama menjelaskan tentang Islam yang murni dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang berseberangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Sekadar menyebut contoh, berikut ini lima karya Ahmad Khatib yang berbahasa Arab: 1) Hasyiyah An-Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli. 2) Al-Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah. 3) Ad-Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’. 4) Raudhatul Hussab. 5) Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz. Di luar itu, ada juga yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab.

Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat di Mekkah pada 13 Maret 1916 dalam usia 56 tahun. Dia meninggalkan banyak kitab yang berharga. Dia juga banyak meninggalkan kader yang dia didik secara langsung. Kader-kader itu lalu melahirkan juga kader-kader berikutnya, dan seterusnya.

Ahmad Surkati; Pendiri Al-Irsyad dan Guru dari Banyak Tokoh Nasional

Ahmad Surkati lahir di Sudan pada 1875. Dia pernah belajar di Ma’had Sharqi Nawi, pesantren besar di Sudan waktu itu. Dia ingin melanjutkan ke Al-Azhar Mesir, namun situasi tak memungkinkan.

Lalu, dia ke Madinah dan Mekkah, belajar. Di Mekkah pada 1326 H, dari Majelis Ulama Mekkah, dia memperoleh gelar Al-’Allaamah yang prestisius. Ahmad Surkati lalu mengajar di Masjidil Haram.

Di Mekkah, dia rutin berkomunikasi dengan ulama-ulama Al-Azhar. Suatu ketika, datang utusan Jami’at Khair dari Indonesia untuk mencari guru. Ulama Al-Azhar menunjuk Ahmad Surkati.

Baca Juga:  Penguasa Jangan Antikritik

Ahmad Surkati-pun ke Indonesia. Setahun, sekolah-sekolah Jami’at Khair maju pesat. Sayang, Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Khair, karena adanya perbedaan faham yang cukup prinsipil.

Pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H) Ahmad Surkati bersama beberapa sahabatnya dari golongan non-Alawi mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Juga, organisasi untuk menaunginya yaitu Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama menjadi Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).

Ahmad Surkati, kecuali aktif mengajar juga rajin menulis. Inilah sebagian dari judul-judul karya tulisnya: 1) Surat al-Jawab (1915). Risalah ini merupakan jawaban Ahmad Surkati terhadap permintaan pemimpin koran Suluh India yaitu HOS Tjokroaminoto sehubungan dengan makin luasnya pembicaraan tentang kafaah. 2) Risalah Tawjih al-Qur’an ila Adab al-Qur’an (1917). Karya ini lebih menajamkan isi yang terkandung dalam Surat al-Jawab. Intinya antara lain: Kedekatan seseorang pada Muhammad Saw sebagai Rasulullah bukan didasarkan atas keturunan, namun atas dasar ketekunan dan kesungguhan dalam mengikuti jejak dan dakwahnya. 3) Al-Dhakhirah al-Islamiyah (1923). Ini majalah bulanan yang dikelola Ahmad Surkati bersama saudaranya, Muhammad Nur al-Anshari. Melalui majalah ini Ahmad Surkati membongkar praktik-praktik beragama yang keliru, menulis tentang Islam yang cocok untuk segala bangsa dan di segala waktu, dan tentang persatuan umat. 4). Al-Masa’il al-Thalats (1925). Ini berisi pandangan Ahmad Surkati tentang ijtihad dan taqlid, sunnah dan bid’ah serta tentang ziarah kubur dan tawassul.

Murid Ahmad Surkati tak sedikit. Banyak pemuka Islam yang selain merupakan sahabat Ahmad Surkati, juga sempat menimba ilmu darinya. Mereka antara lain Mas Mansur dan Fachrodin (pemuka Muhammadiyah). Begitu pula Abdul Halim pemuka PUI (Persatuan Umat Islam). Juga, Mohammad Rasyidi dan AR Baswedan (keduanya belajar di Al-Irsyad).

Ahmad Surkati juga menjadi ”guru spritual” aktivis Jong Islamieten Bond (JIB). Para aktivis JIB seperti Muhammad Natsir (Bapak NKRI dan pernah menjadi Perdana Menteri) serta Kasman Singodimedjo (Jaksa Agung pertama RI dalam Kabinet Amir Syarifuddin II) sering belajar kepada Ahmad Surkati.

Pada 06/09/1943-tepat 29 tahun setelah mendirikan Al-Irsyad-Ahmad Surkati wafat di Jakarta. Menjadi tugas kita untuk meneruskan perjuangan tokoh dakwah dan pendidikan itu. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni