
Ketika cucu pulang, sunyi kembali menyelimuti rumah. Namun, dalam diam yang tertinggal, seorang kakek menemukan cinta, penyesalan, dan kesempatan kedua yang datang tanpa suara.
Cerpen oleh Dwi Taufan Hidayat
Tagar.co – Malam ini aku membuka mushaf kecil dan berbisik dalam hati: semoga keselamatan dan rahmat Allah selalu menyertai langkah-langkah yang tersisa ini.
Duniaku kembali sepi. Sunyi terasa lebih nyaring dari biasanya, sejak cucu pertamaku kembali ke Aceh. Dua minggu ia bersamaku, mengisi rumah ini dengan suara tawa dan pertanyaan-pertanyaan khas anak usia sembilan tahun yang tak pernah kehabisan rasa ingin tahu.
Kini, rumah ini hanya menyisakan detak jam dan suara sendal jepitku yang berlalu-lalang di lantai semen. Tak ada lagi yang memelukku tiba-tiba dari belakang, atau menanyakan kenapa ayam-ayam di kandang tak bisa diajak bicara seperti di kartun.
Tapi di balik sepinya rumah, aku mendapat hikmah.
Aku menyadari… aku sudah tua. Bukan hanya karena rambutku memutih dan dahi berkerut, tapi karena sekarang tubuh ini mudah sekali lelah. Kadang, saat bangun dari tidur siang, nyeri di paha dan lutut datang tanpa aba-aba. Pernahkah kalian merasakannya juga?
Baca juga cerpan: Perjalanan ke Barat Mencari Koin
Kalau belum, mungkin kalian masih muda. Masih bisa tertawa keras tanpa batuk setelahnya. Masih bisa tidur pulas tanpa khawatir pinggang terasa patah saat bangun. Tapi bagiku, setiap pagi kini adalah pengingat bahwa waktu tidak sedang menungguku.
Hidupku kini diisi rutinitas yang sederhana. Memberi makan ayam. Menata tanaman kecil di pot-pot plastik bekas cat tembok. Sesekali membaca ulang firman-Nya. Ayat yang selalu menampar hatiku adalah ini:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1–3)
Dulu ayat itu hanya terasa seperti petuah usang. Tapi sekarang aku mengerti: waktu memang mencuri, pelan-pelan dan diam-diam.
Dan kerugian itu baru benar-benar terasa… ketika tak ada yang bisa diajak duduk dan berbincang, walau hanya untuk mengeluh soal tanaman yang layu.
Namanya Raziq. Cucuku. Anaknya anak bungsuku.
Ia datang sendirian dari Aceh, dengan pesawat, membawa ransel yang lebih besar dari tubuhnya. Katanya, “Ummi izinkan aku menemani Abah musim liburan ini.”
Awalnya aku takut. Takut kerepotan mengurus anak seusia itu. Tapi ternyata, Raziq bukan sekadar bocah ceria. Ia datang dengan sesuatu yang tidak kukira.
Suatu sore, setelah kami menanam cabai di belakang rumah, ia duduk di sampingku dan bertanya, “Abah, Bapak dulu suka main sama Abah?”
Aku diam. Pertanyaan itu menghantam seperti bola kasti yang datang dari jarak dekat.
“Kenapa nanya gitu?” tanyaku, mengulur waktu.
“Cuma penasaran,” katanya. “Soalnya Bapak jarang cerita tentang Abah.”
Aku menarik napas. Anak bungsuku, ayah dari Raziq, memang jarang pulang. Terakhir kali kami benar-benar berbicara lama mungkin lima tahun lalu. Lalu… ia wafat dua tahun kemudian karena serangan jantung. Usianya baru empat puluh.
Aku tak sempat minta maaf. Tak sempat berkata bahwa aku bangga padanya, walaupun ia memilih jalan hidup yang tak kusetujui dulu: menjadi guru SD dan bukan insinyur seperti yang kuharapkan.
Raziq tak tahu, bahwa semasa hidupnya, ayahnya diam-diam mengirimkan foto-fotonya saat mengajar di kelas, mengisi seminar, dan bahkan saat membetulkan genteng sekolah.
Tapi aku terlalu keras waktu itu. “Gaji guru itu kecil,” kataku padanya. “Kau akan menyesal.”
Tapi ternyata aku yang menyesal. Karena ternyata yang kecil bukan gajinya—tapi hatiku.
Dua minggu Raziq bersamaku seperti potongan hidup yang utuh. Ia memperkenalkanku pada dunia baru: video call, aplikasi membaca Quran digital, dan cara menyiram tanaman dengan botol bekas air mineral agar lebih hemat. Kadang, malam-malam, ia duduk membaca buku sambil bersenandung kecil. Persis seperti ayahnya waktu kecil.
Ketika waktunya kembali ke Aceh, rumah ini seperti kehilangan napas. Tapi sebelum naik ke pesawat, Raziq memberiku surat kecil. Ia menulis dengan tinta biru di kertas bergaris:
“Abah, makasih ya udah ngajarin aku banyak hal. Abah baik banget. Ternyata Bapak itu juga mirip Abah. Sama-sama suka diem, tapi sebenarnya sayang banget. Ummi bilang Bapak sering cerita tentang Abah, tapi nggak pernah berani balik. Tapi sebelum meninggal, Bapak titip pesan ke Ummi: kalau aku sudah cukup besar, aku harus ketemu Abah. Mungkin ini caranya. Makasih ya, Bah.”
Mataku panas. Bukan karena angin. Tapi karena ternyata aku tidak ditinggalkan. Aku dijemput—dalam cara yang tidak biasa.
Aku masih duduk di teras. Tapi tak lagi sepi.
Ada tangis yang tak ingin kering. Ada luka yang tak sempat sembuh. Tapi ada juga rasa syukur—bahwa sebelum semuanya berakhir, ia sempat kembali. Dalam cara yang tak kusangka. Dalam wujud yang kukira lain.
“Demi masa…” aku mengulang ayat itu dalam hati. Dan untuk pertama kalinya, aku memahaminya benar-benar. Manusia memang selalu dalam kerugian… kecuali mereka yang sempat kembali, walau dalam cara yang paling diam.
Malam itu, aku tak bisa tidur.
Aku membuka kembali album-album lama. Foto anak-anakku saat masih kecil, saat aku belum sadar bahwa kehadiran tak bisa digantikan oleh uang belanja atau bangku sekolah mahal. Di sudut lemari, kutemukan secarik kertas gambar. Masih ada coretan crayon warna merah: gambar dua orang berdiri di bawah matahari, satu lebih tinggi, satu lebih kecil, dan di bawahnya tertulis miring: Aku dan Abah.
Itu dari anak bungsuku. Ia menggambar itu saat usia lima tahun, kata almarhumah Mariyam dulu. Aku lupa kapan terakhir kali melihatnya.
Kini kertas itu terasa seperti surat permohonan yang tak pernah terkirim. Mungkin ia hanya ingin waktu. Hanya ingin aku duduk bersamanya lima belas menit di sore hari. Atau membaca satu halaman buku cerita sebelum tidur. Tapi aku terlalu sibuk mengejar kehidupan, sampai lupa bahwa hidup tak selalu menunggu kita kembali.
Pagi mulai menyingsing. Cahaya jingga masuk lewat jendela ruang tamu. Aku berdiri pelan, lututku berderak. Tapi kali ini aku biarkan saja. Nyeri itu, entah kenapa, justru terasa menguatkan.
Di dekat rak buku, aku ambil satu map kosong. Aku mulai menulis balasan untuk Raziq.
“Assalamu’alaikum Raziq sayang,
Terima kasih sudah mengirimkan surat yang sangat berarti untuk Abah. Abah membacanya berkali-kali. Mata Abah basah, tapi hati Abah hangat.
Terima kasih juga karena telah berbagi kisah tentang Bapakmu, anak Abah yang luar biasa. Kau tahu, Nak? Ia pernah menjadi anak kecil yang menggambar ‘Aku dan Abah’ dengan crayon merah. Tapi Abah terlalu sibuk hingga lupa menyimpan gambar itu dalam hati.
Sekarang Abah menyimpannya baik-baik, bersama kenangan dua minggu paling sunyi tapi paling dalam. Abah tak tahu apakah Bapakmu benar-benar tahu bahwa Abah sadar—bahwa ia kembali untuk berpamitan, dengan cara yang begitu indah.
Kau mirip Bapakmu, Raziq. Tapi jangan ulangi kesalahan kami. Dengarkan orang tuamu, dan ajak mereka bicara, walau kadang kalian saling diam.
Salam untuk Ummi. Katakan bahwa Abah berterima kasih karena telah mencintai anakku, suaminya, dengan sebaik-baiknya cinta.
Dan terima kasih juga telah mengizinkannya pulang—walau hanya sebentar, dan dalam wujud yang tak kusadari…”
Surat itu takkan pernah kukirim.
Biar tetap di map ini, disimpan dalam laci tempat aku menyimpan napas terakhir seorang ayah yang baru saja belajar menjadi ‘Ayah’.
Dan di atas laci itu, kini kutaruh mushaf kecil.
Ayat yang sama akan kubaca setiap pagi:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali…”
Ya, kecuali mereka yang masih bisa mencintai. Dalam sunyi. Dalam penyesalan. Dalam sepi yang tertinggal. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni