Telaah

Sebelum Kata Terucap, Allah Sudah Tahu

269
×

Sebelum Kata Terucap, Allah Sudah Tahu

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Tak semua luka bisa diceritakan. Tapi Allah tidak butuh penjelasan panjang. Ia tahu, bahkan sebelum air mata jatuh. Dalam keheningan, itulah saat terbaik untuk mengetuk pintu-Nya.

Oleh Dwi Taufan Hidayat, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Tagar.co – Ada orang yang berjalan tenang, padahal hatinya sedang sekarat. Ia tertawa bersama orang-orang, tetapi sejatinya sedang menggenggam duka dalam diam. Ia menyemangati orang lain tanpa tahu bagaimana menyemangati dirinya sendiri.

Ia terlihat kuat, padahal rapuhnya telah menjalar hingga ke sumsum. Namun, ia tetap diam—bukan karena tidak ingin didengar, melainkan karena tak tahu kepada siapa luka itu dapat dibuka tanpa takut dihakimi, diremehkan, atau ditinggalkan.

Baca juga: Ayah Ibu, Dua Sayap Pendidikan Anak

Fenomena ini nyata. Mungkin kita pernah berada di posisi itu, atau sedang mengalaminya saat ini. Kita belajar menjadi kuat karena tak ada pilihan selain bertahan. Kita belajar menyembunyikan tangis karena air mata kerap dianggap kelemahan. Kita lelah, tapi tetap diam. Kita ingin bicara, tapi lidah kelu. Kita ingin menangis, tapi dunia terlalu bising untuk mendengar.

Namun, di balik semua keheningan itu, ada yang selalu tahu. Dialah Allah.

Sungguh, sebelum lidah ini sempat merangkai kata, sebelum hati ini sempat mengurai keluh, Dia sudah lebih dulu mengerti. Karena Dia-lah Rab yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi di dalam dada. Allah tidak menunggu kita berbicara untuk memahami. Dia telah lebih dulu paham, bahkan ketika kita sendiri tak memahami apa yang sedang kita rasakan.

Baca Juga:  Janji Mundur sang Menteri

Allah berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaf: 16)

Renungkanlah, ayat ini bukan sekadar penghibur. Ia menegaskan bahwa jarak antara Allah dan diri kita lebih dekat dari yang kita bayangkan. Bahkan sebelum luka itu sempat kita sadari, Allah sudah melihatnya. Bahkan sebelum air mata sempat jatuh, Allah telah mengetahui rasanya.

Ketika kita berusaha menyembunyikan duka dari sesama manusia, Allah tidak menunggu pengakuan untuk tahu bahwa kita sedang menderita. Dia tahu. Dia paham. Dan Dia tidak menuntut penjelasan panjang. Cukup dengan kembali kepada-Nya. Bahkan diam kita pun bisa menjadi doa, jika hati ini sungguh bersandar kepada-Nya.

Dalam sebuah hadis kudsi, Allah berfirman:

أَنَا عِندَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي

“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku.” (H.R. Bukhari No. 7405, Muslim No. 2675)

Baca Juga:  Hidup Terlalu Singkat untuk Membenci

Persangkaan kita kepada Allah sangat menentukan ketenangan hati. Jika kita yakin bahwa Allah Maha Mengerti, maka luka yang kita bawa terasa lebih ringan. Jika kita yakin bahwa Allah Maha Mendengar, maka tangisan dalam sujud terasa cukup. Jika kita yakin bahwa Allah Maha Menolong, maka kita tak lagi panik ketika dunia tak mengerti kita.

Sebab hidup bukan tentang dipahami oleh semua orang, melainkan tentang meyakini bahwa Allah selalu mengerti, meski tak seorang pun menanyakan kabar kita.

Allah ﷻ juga berfirman:

قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ ۖ فَإِنَّهُمْ لَا يُكَذِّبُونَكَ وَلَٰكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّـهِ يَجْحَدُونَ

“Sungguh Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu. Maka sesungguhnya mereka bukan mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Al-An’am: 33)

Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ saat beliau merasa sedih karena penolakan kaumnya. Lihatlah, bahkan Rasulullah ﷺ pun pernah bersedih, pernah merasa tak dimengerti, dan itu sangat manusiawi. Namun, Allah langsung memberikan penghiburan. Itulah bukti cinta-Nya.

Seburuk apa pun perasaan yang kita alami, seberat apa pun beban yang kita tanggung, jangan pernah merasa sendiri. Karena Allah tak pernah meninggalkan kita, bahkan saat semua orang menjauh.

Baca Juga:  Rendah Hati, Jalan para Kekasih Allah

Allah berfirman:

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ۝ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 5–6)

Perhatikan, kata al-‘usr (kesulitan) disebut satu kali dalam bentuk makrifat (dengan alif lam), sedangkan yusr (kemudahan) disebut dua kali tanpa alif lam. Ini menunjukkan bahwa satu kesulitan akan disertai lebih dari satu kemudahan. Ini janji, bukan sekadar harapan.

Maka, jangan terlalu berharap semua orang bisa memahami luka yang kita simpan. Bahkan terkadang, orang yang kita kira akan menguatkan, justru yang paling melukai. Tapi Allah berbeda. Dia tidak pernah menghakimi air mata kita. Dia tidak pernah lelah mendengar rintihan hati yang tak sempat terucap. Karena Dia tahu, bahkan sebelum kata itu lahir.

Dalam sunyi, dalam tangis yang tertahan, dalam hati yang letih karena terus berpura-pura kuat—di situlah tempat kita mendekat kepada-Nya. Karena terkadang, Allah menutup semua pintu agar kita hanya mengetuk pintu-Nya.

Dan percayalah, pintu Allah tidak pernah tertutup bagi hamba yang ingin kembali. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni