
Pendidikan anak tak cukup hanya kasih ibu atau kepemimpinan ayah saja. Rumah jadi madrasah pertama ketika keduanya hadir, bekerja sama, dan memberi teladan yang hidup bagi jiwa-jiwa kecil mereka.
Oleh Dwi Taufan Hidayat, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Tagar.co – Kita kerap mendengar ungkapan yang mengakar kuat dalam tradisi pendidikan Islam: “Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.” Kalimat ini bukan sekadar pujian bagi peran seorang ibu, tetapi juga penegasan bahwa pendidikan anak tidak bisa dimulai dari luar rumah. Ia dimulai dari pangkuan, pelukan, dan tutur lembut seorang ibu. Namun, banyak yang lupa menyambung kalimat itu dengan pilar penting lainnya: sang ayah. Sebab, jika ibu adalah madrasah, maka ayah adalah kepala sekolahnya.
Baca juga: Hukum Kebaikan: Tak Pernah Sia-Sia, Akan Selalu Menemukan Jalannya
Artinya, pendidikan anak tidak akan berjalan dengan benar jika hanya mengandalkan satu sisi. Butuh kolaborasi yang seimbang antara kasih sayang dan ketegasan, antara kelembutan yang menghangatkan dan kepemimpinan yang mengarahkan. Dalam Al-Qur’an, Allah menyampaikan bahwa anak adalah amanah, bukan sekadar titipan yang boleh dirawat sesuka hati.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Ayah dan ibu diperintahkan Allah bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan fisik anak-anaknya, tetapi juga menjaga mereka dari kobaran api neraka. Dan menjaga dari neraka tentu bukan hanya lewat larangan dan hukuman, tetapi melalui pembiasaan, keteladanan, serta limpahan kasih yang membentuk karakter. Anak bukan robot yang bisa diprogram, bukan pula kertas kosong yang bebas dicoret sembarangan. Ia adalah jiwa yang tumbuh, meniru, merekam, dan mencontoh.
Betapa dalam sabda Nabi ﷺ berikut:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Perhatikan, bukan lingkungan, bukan sekolah, bukan guru, tetapi orang tua lah yang pertama membentuk arah hidup anak. Maka bagaimana mungkin seorang ayah merasa cukup hanya dengan membayar sekolah terbaik, sementara ia sendiri jarang pulang, tidak terlibat dalam percakapan anak, dan tidak hadir dalam emosi serta batin mereka?
Pendidikan anak bukan sekadar tanggung jawab ibu. Ayah bukan hanya penyandang dana, tetapi juga penunjuk arah. Dalam keluarga, ayah memegang peran qiwāmah (kepemimpinan), yang berarti bukan dominasi, tetapi tanggung jawab. Allah ﷻ berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (\\An-Nisa’: 34)
Kepemimpinan ini harus dibangun dengan ilmu, cinta, dan contoh yang hidup. Ayah tidak cukup hanya menyuruh anak salat, tetapi harus terlihat bersujud bersama. Tidak cukup hanya berkata, “Hafalkan Al-Qur’an,” tetapi harus memperlihatkan semangatnya mengaji. Anak adalah peniru ulung. Mereka belajar bukan dari perintah, tetapi dari kebiasaan.
Kita sering keliru: mengira bahwa tegas itu harus galak, bahwa mendidik harus dengan mendelik, bahwa mengajar itu identik dengan menghajar. Padahal Rasulullah ﷺ, sang pendidik agung, tidak pernah menampar, memukul, apalagi menghardik anak-anak. Bahkan dalam hadis disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Didiklah tanpa membentak. Bimbinglah tanpa melukai. Jadilah orang tua yang hadir, bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin. Anak-anak tidak hanya butuh biaya, tetapi juga butuh perhatian. Mereka tidak hanya butuh arahan, tetapi juga pelukan. Sebab, rumah yang penuh cinta akan jauh lebih kuat daripada sekolah yang megah.
Ibu dan ayah, dua peran yang tidak bisa dipisahkan. Jika salah satunya hilang arah, maka anak akan kehilangan keseimbangan. Maka bekerjasamalah dalam mendidik, bukan saling lempar peran. Jadikan rumah sebagai madrasah pertama yang ditopang oleh ilmu, doa, dan akhlak. Karena dari rumah yang kokoh itu akan lahir generasi yang tangguh.
Dan pada akhirnya, mendidik anak adalah mendidik diri sendiri. Karena anak bukan hanya cerminan masa depan, tetapi juga cermin dari siapa kita hari ini. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni