
Kita sering bekerja keras bukan karena Allah, melainkan demi dunia. Padahal, ketika dunia menjadi “tuhan kecil” dalam hidup, hati perlahan kehilangan arah menuju ketenangan sejati.
Oleh Muhammad Hidayatulloh Kepala Pesantren Kader Ulama Pondok Pesantren Islamic Center (PPIC) Elkisi Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur; Penulis buku Geprek! Anti Galau Rahasisa Resep Hidup Enjoy
Tagar.co – Ada saat ketika kita bangun pagi bukan karena rasa syukur, melainkan karena alarm dunia.
Notifikasi pekerjaan, tenggat waktu, angka, target, dan ambisi terus berputar tanpa ujung. Seolah dunia menjadi orbit utama yang menarik seluruh energi, perhatian, bahkan doa kita.
Baca juga: Ketika Aku Bukan Siapa-Siapa: Refleksi tentang Jasa, Adab, dan Keikhlasan
Namun Rasulullah Saw. sudah menegur dengan kata-kata yang melintasi waktu dan menembus generasi:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ، فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ
“Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya, Allah akan menjadikan urusannya berantakan, kefakiran selalu di depan matanya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (Tirmizi, hasan sahih)
Dalam riwayat lain yang disebutkan oleh At-Tabrani—meski sanadnya lemah namun maknanya dalam—disebutkan:
مَنْ أَصْبَحَ وَالدُّنْيَا أَكْبَرُ هَمِّهِ، جَعَلَ اللَّهُ أَرْبَعَ خِصَالٍ فِي قَلْبِهِ: هَمًّا لَا يَنْقَطِعُ، وَشُغْلًا لَا يَنْتَهِي، وَفَقْرًا لَا يَتَنَاهَى، وَأَمَلًا لَا يَبْلُغُهُ
“Barangsiapa yang bangun di pagi hari dan dunia menjadi tujuan utamanya, maka Allah tanamkan empat hal dalam hatinya: kebingungan yang tiada akhir, kesibukan yang tak berujung, kebutuhan yang tak pernah terpenuhi, dan angan-angan yang tak berkesudahan.”
Kata-kata ini seperti cermin yang memantulkan wajah peradaban modern:
banyak bergerak tapi tak tahu arah, sibuk namun tak tenang, penuh pencapaian namun kosong di dalam.
Kita sering lupa bahwa dunia bukan musuh—ia hanyalah ujian. Yang berbahaya bukanlah hartanya, melainkan ketika hati menggantungkan diri padanya.
Allah tidak melarang kita untuk bekerja, berjuang, atau bercita-cita tinggi. Yang Dia larang adalah ketika dunia menjadi ilah kedua yang menyingkirkan hak-Nya di hati kita.
Saat itulah hidup menjadi paradoks: kaya tapi gelisah, terkenal tapi kesepian, sibuk tapi tak pernah merasa selesai.
Ibnul Qayyim rahimahullah pernah menulis dengan indah:
مَنْ أَرَادَ السَّعَادَةَ الأَبَدِيَّةَ فَلْيَلْزَمْ عَتَبَةَ الْعُبُودِيَّةِ
“Barangsiapa menginginkan kebahagiaan abadi, hendaklah ia menetap di pintu penghambaan (kepada Allah).”
Dan benar, sebab di sanalah ketenangan sejati lahir. Bukan dari jumlah harta, pengikut, atau validasi, melainkan dari kemampuan untuk berkata:
“Aku bekerja bukan karena dunia, tapi karena Allah yang menatap hatiku.”
Renungkan. Mungkin kita perlu sesekali berhenti, menarik napas dalam, dan bertanya lirih dalam diam:
“Apakah aku hidup untuk dunia yang sementara, atau untuk Tuhan yang kekal?”
Karena pada akhirnya, setiap kesibukan akan berhenti, setiap mimpi akan sirna,
dan yang tersisa hanyalah sejauh mana kita membawa Allah dalam setiap langkah hidup kita.
“Ketika dunia menjadi pusat hidupmu, hatimu akan terus berputar tanpa arah.
Tapi ketika Allah menjadi pusatnya, dunia akan berputar mengelilingimu.” (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni