Opini

Purnawirawan Mengancam

302
×

Purnawirawan Mengancam

Sebarkan artikel ini
Purnawirawan TNI mengancam menduduki DPR/MPR kalau surat pemakzulan Wapres Gibran tidak direspon.
Ilustrasi

Purnawirawan TNI mengancam menduduki DPR/MPR kalau surat pemakzulan Wapres Gibran tidak direspon.

Oleh Dwi Taufan Hidayat, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bergas, Kabupaten Semarang.

Tagar.co – Pernyataan Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto dan rekan-rekan Forum Purnawirawan TNI yang mengancam menduduki DPR/MPR demi menyelamatkan bangsa memunculkan pertanyaan serius.

Apakah ini murni panggilan jiwa Sapta Marga atau justru manuver politik berkedok nasionalisme. Di tengah demokrasi yang rapuh ancaman kekuatan semacam ini patut dicermati dengan kritis tajam dan rasional.

Forum Purnawirawan TNI yang dipimpin oleh Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto sontak mengguncang publik dengan pernyataannya yang kontroversial akan menduduki DPR/MPR jika usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diabaikan.

Dalih mereka sederhana namun penuh tanda tanya menyelamatkan bangsa dan negara.

Frasa menyelamatkan bangsa dan negara sudah lama menjadi mantra ampuh yang kerap digunakan untuk membenarkan berbagai bentuk intervensi baik militer maupun sipil.

Ironisnya semboyan itu kini kembali dihidupkan oleh sekelompok purnawirawan yang mengaku tak lagi berkepentingan dengan politik kekuasaan

Padahal publik cukup paham bahwa setiap langkah yang melibatkan tekanan terhadap lembaga negara apalagi dengan ancaman menduduki DPR/MPR sejatinya bukan semata-mata tindakan heroik.

Baca Juga:  Ujub: Racun Halus yang Menghapus Cahaya Ibadah

Ini adalah sebuah bentuk tekanan politik sekeras dan setajam apa pun dikemas dengan retorika patriotik

Laksamana Slamet dengan lantang menyatakan bahwa mereka sudah mencoba mendekati dengan cara sopan tapi karena diabaikan nggak ada langkah lagi kecuali kita ambil secara paksa.

Retorika semacam ini memicu memori kolektif bangsa akan trauma masa lalu ketika kekuatan militer kerap menjadi alat legitimasi dan pemaksaan kehendak.

Jika benar tujuannya hanya untuk “menyelamatkan bangsa” mengapa harus ada ultimatum menduduki MPR. Bukankah jalan konstitusional sudah sangat jelas terbuka. Bukankah rakyat Indonesia sudah memberi mandat lewat Pemilu.

Atau justru di sinilah letak kerapuhan demokrasi kita bahwa segelintir elite merasa bisa melampaui konstitusi dengan mengandalkan nostalgia kejayaan masa lalu.

Sementara itu Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan menyoroti perbedaan pendapat di antara para purnawirawan sendiri. “Kita beda sama purnawirawan lain yang menyalah-nyalahkan kita,” katanya.

Pernyataan ini menyiratkan adanya fragmentasi di tubuh purnawirawan TNI yang dulunya diikat oleh doktrin Sapta Marga dan sumpah prajurit.

Kontradiksi yang muncul di antara para purnawirawan justru membuka tabir bahwa politik kenegaraan yang mereka gembar-gemborkan tidak steril dari kepentingan politik praktis.

Marsekal Hanafie dengan santai berkata,”Mana yang takut digusur mana yang mau menggusur.”

Baca Juga:  Della, Potret Perempuan di Ujung Api: Skandal Pinjol Seragam Cokelat

Kalimat sederhana ini sesungguhnya menampar logika publik Jika benar niatnya hanya demi keselamatan negara seharusnya tak ada dikotomi gusur menggusur.

Justru di sinilah tampak jelas ada agenda yang terselubung di balik retorika.

Ketika para purnawirawan mengklaim bahwa mereka bergaris lurus dengan Sapta Marga, kita harus kembali mempertanyakan apakah Sapta Marga mengajarkan untuk menekan lembaga negara dengan ancaman menduduki MPR.

Ataukah Sapta Marga justru menuntut kesetiaan pada konstitusi dan keutuhan NKRI.

Jangan sampai nasionalisme semu ini justru merusak tatanan demokrasi yang selama ini sudah berdarah darah kita perjuangkan.

Masyarakat sipil harus waspada terhadap retorika semacam ini karena sejarah membuktikan bahwa suara penyelamat sering kali berakhir sebagai perampas hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri.

Apalagi dalam konteks hari ini di mana polarisasi politik sudah sangat dalam narasi penyelamatan bangsa yang dibumbui ancaman bisa menjadi bahan bakar tambahan bagi konflik horizontal. Siapa yang diuntungkan dari kekacauan itu. Rakyat jelas bukan.

Harus diakui peran purnawirawan TNI dalam mengawal demokrasi patut diapresiasi. Namun ketika peran itu melenceng menjadi alat tekanan dan ancaman publik berhak bertanya apakah mereka benar benar berjuang demi bangsa atau sekadar memburu panggung politik.

Baca Juga:  Dunia Islam Diam, Iran Langsung Serang

Bangsa ini tidak butuh penyelamat dadakan yang mendadak muncul membawa slogan kosong. Bangsa ini butuh teladan moral keteladanan yang menyejukkan bukan menakut-nakuti. Rakyat sudah cukup lelah melihat elite saling sikut demi kepentingan kelompok sembari memakai baju nasionalisme dan Sapta Marga.

Jika benar-benar cinta tanah air mari duduk dalam kerangka hukum. Mari beradu gagasan bukan adu otot. Mari menjaga keutuhan bangsa lewat jalur konstitusional bukan lewat mobilisasi massa yang mengancam stabilitas negara.

Demokrasi memang tidak sempurna tapi bukan berarti jalan pintas dengan mengancam menduduki parlemen bisa dibenarkan. Sebab jika kita merusak sendi demokrasi hari ini esok kita tak bisa lagi mengeluh ketika kebebasan kita sendiri dirampas.

Dengan demikian masyarakat harus tetap kritis dan cerdas membaca manuver para elit termasuk para purnawirawan.

Jangan pernah terkecoh dengan bumbu retorika manis bertajuk keselamatan bangsa bila di dalamnya berisi nafsu politik yang berbahaya.

Bangsa ini harus dijaga bersama bukan dikuasai oleh segelintir orang yang merasa punya hak moral lebih tinggi daripada rakyat kebanyakan.

Mari rawat demokrasi dengan cara yang bermartabat. (#)

Penyunting Sugeng Purwanto