
Madinah bukan sekadar kota suci yang jauh di sana. Dalam dua rakaat di Quba, dalam duduk Subuh di masjid kampung, dalam iktikaf penuh niat—kita bisa merasakan keberkahan yang sama. Karena Madinah adalah rasa, arah, dan cahaya yang bisa tinggal dalam jiwa.
Catatan dari Tanah Suci (Seri 35); Oleh Firman Arifin, Dosen PENS, Jemaah Haji 2025 Nurul Hayat Surabaya
Tagar.co – Jika keberkahan itu bisa dilihat dengan mata, maka Madinah adalah wujud nyatanya. Jika keberkahan itu bisa disentuh, maka ia menjelma dalam lembutnya suasana Nabawi, dalam sejuknya angin Quba, dalam syahdunya rakaat Subuh yang terasa lebih ringan, dalam zikir yang mengalir meski lisan diam.
Tidak semua keberkahan itu berbentuk megah atau terdengar meriah. Tapi di Madinah, kita belajar: keberkahan adalah hadirnya makna dalam amal yang sederhana.
Dua Rakaat di Masjid Quba: Seperti Umrah
Salah satu keberkahan yang luar biasa adalah yang disebutkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabda beliau:
“Barang siapa bersuci di rumahnya, kemudian datang ke Masjid Quba dan salat di dalamnya dua rakaat, maka baginya seperti pahala umrah.” (H.R. Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya – sahih)
Subhanallah. Hanya dengan berwudu dari hotel atau rumah, lalu melangkah menuju Masjid Quba dan salat dua rakaat di sana, kita diganjar seperti menjalani satu kali umrah. Ringan secara fisik, tapi berat nilainya di sisi Allah.
Dan saya merasakannya sendiri. Langkah kami bersama jemaah KBIH Nurul Hayat menuju Masjid Quba pagi itu terasa seperti langkah menuju hadiah besar. Panas terik jalanan setelah turun dari bus terasa teduh dalam semangat hati.
Sesampainya di Quba, dua rakaat terasa lebih lama dari biasanya. Bukan karena bacaan, tapi karena hati enggan beranjak dari rasa syukur.
Keberkahan Itu Tidak Tertutup di Madinah
Namun keberkahan Islam tidaklah eksklusif. Rasulullah sangat adil pada umatnya. Tidak semua bisa ke Madinah. Tapi beliau membukakan pintu pahala yang luas dari tempat mana pun umatnya berada.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang pergi ke masjid, tidak ada keinginan lain kecuali untuk belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka dia mendapat pahala seperti pahala haji yang sempurna hajinya.” (H.R. Thabrani dan Al-Bazzar – sahih ligairihi)
Dan dalam riwayat lain: “Barang siapa yang duduk di masjid setelah salat Subuh hingga matahari terbit lalu salat dua rakaat, maka dia mendapatkan pahala seperti haji dan umrah. Sempurna, sempurna, sempurna.” (H.R. Tirmizi – hasan)
Masyaallah. Itulah keluasan keberkahan. Madinah adalah pusatnya, tapi gelombangnya menjangkau seluruh bumi. Allah tidak membatasi kebaikan hanya pada tanah suci. Siapa pun, di mana pun, yang bersungguh-sungguh, bisa merasakan “Madinah” di hatinya. Bisa meraih “umrah” dari masjid-masjid di kampungnya. Bahkan bisa mendekati nuansa Nabawi lewat kesungguhan niat dan amal.
Madinah seperti Wi-Fi Spiritualitas, dan Masjid adalah Antenanya
Dalam dunia modern, kita mengenal istilah pemancar dan penerima sinyal. Madinah ibarat menara pusat. Tapi masjid-masjid di seluruh dunia adalah antena yang bisa menangkap pancaran itu, jika kita hidupkan niat, hidupkan zikir, dan hidupkan cinta kepada Rasul.
Dan semua itu dimulai dari dalam diri. Hati yang tenang, langkah yang ringan ke masjid, dan duduk diam menanti waktu salat pun bisa bernilai luar biasa. Bukan tempat yang menentukan berkah, tapi cara kita hadir di tempat itulah yang mengundang berkah.
Membawa Pulang Madinah dalam Amal
Bagi yang sudah ke Madinah, jangan pulang hanya membawa foto dan oleh-oleh. Bawalah pulang semangat dua rakaat Quba. Bawalah pulang ketenangan Nabawi. Bawalah pulang kerendahan hati yang tumbuh di bawah payung raksasa Nabawi.
Dan bagi yang belum sampai ke Madinah, jangan berkecil hati.
Karena Rasulullah telah memberi jalan, memberi janji: Barang siapa menghidupkan masjid, menuntut ilmu, duduk berzikir, berniat ibadah, maka baginya pahala seperti umrah, seperti haji. Dan itu pun sempurna.
Maka carilah Madinah bukan hanya di peta. Carilah ia di masjid terdekatmu. Carilah dalam rakaat Subuh, dalam duduk menanti waktu salat, dalam ajakan untuk belajar dan mengajar.
Karena Madinah bukan hanya kota. Ia adalah rasa. Ia adalah arah. Ia adalah keberkahan yang bisa kita bawa pulang, jika kita mau menghidupkannya. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni