Nek Tarmi, mantan dokter desa membeku dalam kesunyian. Kesibukan masa muda mengakibatkan dia lupa mengurus anak-anaknya. Di ruang sepi, rumah tua, sekarang dia menunggu kedatangan mereka.
Cerpen oleh Risha Iffatur Rahmah, tenaga pendidik di SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo
Tagar.co – Pintu tua yang terbuka lebar dan menebar segala kerinduan. Suasana malam itu begitu sunyi terlebih tetangga tak satu pun berani keluar.
Pintu ditutup seperti tergopoh-gopoh mengakhiri kerinduan. Nek Tarmi segera mengunci pintu kayu yang juga menua bersamanya.
Di rumah tua itu hanya ada satu orang diliputi kesedihan mendalam. Semua orang tahu hidup sebatang kara tidak akan mau apabila sudah menua. Nek Tarmi dulunya orang yang disegani dan memiliki banyak anak, tapi semakin tua dia ditinggalkan demi kesibukan pekerjaan. Kata mereka dengan berat hati tanpa merasa terbebani.
Malam semakin larut tanpa ada suara bising, bahkan jangkrik malu-malu berbicara. Hanya hembusan angin menerobos celah dinding kamarnya. Semakin dingin rupanya sampai-sampai dibuat menggigil dengan ribuan nyamuk berpesta-pora menyeruput Nek Tarmi.
Sudah pukul 12 malam, dia merasa gelisah tiada anak yang datang. Baginya, sudah tahunan mereka tak pulang. Ingatannya tahu betul rupa cucunya yang merasa asing dengan dirinya. Pikiran nenek semakin melayang kemudian dikuasai kantuk yang tak tertahan.
Baca juga: Ikhlas di Tepian Harapan
Ketika pagi yang lelah disambut dengan salat subuh lalu mengaji. Sebagian warga kembali keaktivitas normal. Mereka keluar dari rumahnya. Sesekali melihat rumah Nek Tarmi. Mungkin saja mereka punya rasa khawatir. Ada yang membawakan ikan dan tempe atau sekadar memberikan telur.
Pak Suroso menjadi orang yang sangat peduli dengan nenek itu. Setiap sore menjelang malam, dia menyempatkan diri singgah di rumahnya. Hanya untuk membawa buah tangan selepas bekerja menjadi seorang perawat.
Ada ikan panggang dan tumis sayur, warga juga sesekali melirik Pak Suroso yang menyuapi dengan sabar dan penuh kasih sayang.
Senyum nenek mengembang. Dia merasa tidak sendiri. Namun selepas sore itu, suara azan berkumandang, Pak Suroso pun pulang. Pintu itu kembali terbuka dengan kerinduannya, lalu tertutup dalam kesunyian kabut malam.
Baca juga: Membunuh si Sembilan Nyama
Mata nenek sayup-sayup bersamaan dengan lafal Allah. Bibirnya mengatup. Jarinya semakin goyah mengunci pintu. Nek Tarmi hanya berharap melihat anaknya pulang dan mengingat tubuh rentah ini.
Kesibukan telah membutakan mata hati dan jiwanya. Nenek hanya bisa bersabar dan menangisi hatinya sendiri. Bahkan suaminya begitu tega berpulang tanpa pamit. Pikirannya melayang semakin jauh, menerka marahnya sendiri.
Dia tak ingat jika disinggung masalah warisannya saja yang tampak mata rumah reot dan usang. Lurah sempat segan jika merelokasi ke rumah susun terdekat, karena dia tahu bagaimana kerinduan Nek Tarmi kepada anak-anaknya.
Sayang, semakin tua ingatannya semakin kabur. ketika lurah bertanya rupa anaknya saja, dia tak ingat. Warga sekitar memang memakluminya, sebab dia di masa lalunya banyak berkumpul dengan masyarakat, namun jarang dengan anaknya sendiri.
Zaman dulu, yang mengasuh dan merawat anak Nek Tarmi adalah suaminya. Sedangkan dia selalu pulang larut malam dan pagi harinya mengurus posyandu dan keliling desa ke desa. Menyuntik lansia yang sakit dan membantu perawatan. Dia begitu disegani. Lurah saja kalah pamor.
Baca juga: Pemuja Komunis
Tiga belas tahun mengabdi tanpa perhatian dari pemerintah pun dijalani. Kabarnya, gaji Nek Tarmi sering disunat lurah. Kata masyarakat, itu biasa dan dianggap sebagai pengabdian. Toh sama saja dengan pajak.
Namun, masyarakat tidak tinggal diam. Kebaikan Nek Tarmi mengubah segalanya. Kini mereka langsung membayar atau memberikan barang kepada keluarga Nek Tarmi. Di sanalah mereka bertahan hidup.
Hal itu menjadikan Dokter Tarmi muda semakin bersemangat, namun kasih sayang terhadap anaknya terabaikan begitu saja. Terkadang suaminya bekerja paruh waktu dan pulang larut malam.
Mirisnya, anak-anak mereka dibesarkan dan disekolahkan oleh keluarga Pak Hutomo. Dia memang memiliki yayasan yang tamasyur dari TK sampai SMA, terdapat kelas reguler sampai eksklusif.
Seingat warga, kelas reguler itu gratis karena uang pangkalnya diambil dari kelas eksklusif. Delapan anak Nek Tarmi lulus lalu berkuliah dengan beasiswa, bekerja, dan menikah. Nah, begitulah waktu yang nampak kejam memberikan jarak dan rasa tidak peduli.
Baca juga: Hidung Wakil Rakyat
Nek Tarmi sekarang sendiri, sebatang kara. Menangis dalam kerinduan dan lupa wajah anaknya. Sesekali dia mencoba mengingat wajah mereka dengan membuka pintu lebar-lebar, mengharap kedatangan mereka. Bertahun-tahun lamanya, kemelut itu tiada henti menjadi rindu berkepanjangan.
Pagi hari berikutnya, seperti biasa warga menengok dan mengobrol di depan pintu nenek. Sesekali mengajaknya memasak bersama atau menyuapi bahkan ada yang rela memandikan. Di rumah tua hanya tersisa ranjang dan meja. Sudah usang dibalut dengan kain bekas sumbangan warga.
Nenek itu tampak terbiasa sambil tersenyum. Ingatanya kembali saat warga ramai mendatangi rumahnya. Senyum yang merekah di gincu merahnya dan mengambang di pipi berselimut bedak tebal membuat dia kembali muda.
Warga senang nenek sehat, tapi mereka memiliki maksud untuk mengajaknya pindah. Akan tetapi nenek bersikeras menolak. Alasannya, karena anak-anaknya akan datang nanti. Wajah yang semula bisa tersenyum sekarang memudar menjadi kesedihan.
Warga yang datang hanya bisa mengajak ngobrol dan mengalihkan perhatiannya. Sisanya sibuk membersihkan rumah nenek.
“Hari Sabtu yang melelahkan!” ujar salah satu warga.
“Ingat, ibumu dulu ditolong dan bisa hidup menghidupimu!” sahut warga lainnya.
“Memang anak muda sekarang gampang capek tapi jangan lupa Nek Tarmi telah berkorban banyak demi kesehatan dan keselamatan warga kita dulu.”
Baca juga: Biduan
Pak Suroso dengan lembut menasihati para pemuda itu. Sudah tiga jam lamanya mereka bekerja. Rumah tua kembali bersih dan nyaman meskipun dinding masih ada yang bolong setidaknya Nek Tarmi bisa tidur dengan nyaman.
Nek Tarmi kembali melemparkan senyuman sambil melambaikan tangan kepada warga. Pak Yoso menjabat tangan renta dengan lembut mengucap salam. Tiba-tiba nenek mengucap anakku.
Pak Yoso dan Suroso menangis begitu juga tetangga merasa terharu.
“Nek Tarmi kembali ingat anaknya!” seru warga.
Kedua anaknya masih jejaka, mungkin itu penyebab Nek Tarmi lupa karena yang diharapkan adalah cucunya. Hanya mereka yang bertahan memantau kehidupan ibunya yang asing dengan anaknya sendiri.
Sore itu, pintu nenek tertutup. Di dalam rumah ada Pak Yoso dan Suroso. Sepertinya akan lama tinggal di sana. Masa tua yang dirindukan kini kembali.
Begitulah kabut kesunyian malam semakin menghilang di depan pintu sang mantan dokter desa. Suara jangkrik yang malu-malu tergantikan dengan riangnya tawa mereka bertiga. (#)
Penyunting Ichwan Arif