
Perjalanan dua guru SD Muhammadiyah 1 Kebomas dari ruang kelas di Gresik menuju forum nasional di Jakarta memperlihatkan bagaimana semangat belajar mampu membuka jalan bagi inovasi pembelajaran digital yang lebih hidup dan inklusif.
Tagar.co – Ballroom Luminor Hotel Jakarta tampak lebih hidup sejak Senin pagi (1/12/25) hingga Rabnu (3/12/25). Suara percakapan para guru dari berbagai daerah, deretan laptop yang dibuka, serta obrolan tentang ide-ide pembelajaran membuat ruangan itu menyerupai ruang kreatif besar.
Saya dan rekan saya, Bellah Iasyah Meylindah, dari SD Muhammadiyah 1 Kebomas Gresik, Jawa Timur, menjadi bagian dari gerak dinamis itu—datang bukan sekadar sebagai peserta, tetapi sebagai pembelajar yang ingin melompat lebih jauh.
Baca juga: Staf Khusus Kemendikdasmen Dorong Guru PAUD Jadi ‘Penyihir Digital’ di Kelas
Untuk sampai di forum ini, karya kami lebih dulu melewati proses kurasi berlapis yang dilakukan tim kementerian. Dari 660 konten pembelajaran digital yang masuk, hanya 150 yang dipilih sebagai karya terbaik dan diundang mengikuti workshop serta apresiasi di Jakarta.
Mendapat tempat di antara ratusan inovasi lain memberi saya dorongan besar bahwa upaya kecil di sekolah daerah pun memiliki peluang bersuara di panggung nasional.
Perjalanan saya dan Bellah dimulai dari Gresik pada waktu Subuh. Ransel kami berisi laptop, catatan, dan semangat yang sulit digambarkan. Setelah menempuh perjalanan darat menuju Bandara Internasional Juanda, kami tiba di Jakarta—kota dengan ritme cepat yang langsung menghadirkan energi baru. Bagi saya, setiap sudut kota seperti memberi pesan: “Belajar hari ini akan membuka jalan untuk masa depan murid-muridmu.”
Workshop Media Pembelajaran Interaktif yang digelar Direktorat PAUD, Dikdas, dan Dikmen selama tiga hari benar-benar menjadi ruang eksplorasi. Mulai dari sesi teknis, pendampingan revisi konten, hingga presentasi karya, semuanya membuka cara pandang baru tentang bagaimana pembelajaran digital seharusnya dihadirkan.

Di sela kegiatan, saya sibuk memperbaiki alur konten—menguji interaktivitas, mengganti elemen visual, lalu mencobanya lagi. Proses berulang itu justru membuat saya merasakan kembali semangat merancang pembelajaran yang benar-benar hidup.
Bellah pun tak kalah antusias. Dengan ketelitiannya, ia memoles detail demi detail, berdiskusi dengan narasumber, dan mencoba pendekatan yang sebelumnya belum pernah ia gunakan.
Suasana workshop, yang berlangsung hingga malam, dipenuhi pertukaran pengalaman antarguru. Ada tawa ketika mencoba fitur yang belum familiar, ada kekaguman saat melihat karya guru lain, dan ada rasa ingin tahu yang tak pernah padam.
Pada hari terakhir, kami bergiliran mempresentasikan karya. Ketika tiba giliran saya, ada rasa deg-degan yang cepat berubah menjadi keyakinan. Saya menyampaikan bahwa produk digital yang saya kembangkan bukan hanya kumpulan visual dan tombol interaksi, tetapi bagian dari ikhtiar untuk menghadirkan pembelajaran yang relevan bagi siswa-siswa saya di Gresik.
Bellah juga tampil percaya diri, memperlihatkan bahwa guru daerah pun mampu melahirkan inovasi yang kompetitif.
Kepulangan kami dari Jakarta membawa banyak hal: ilmu baru, pengalaman berharga, dan dorongan untuk terus berbenah. Saya merasa seperti membawa pulang energi besar yang siap dibagikan kepada rekan guru dan ditanamkan dalam kelas-kelas tempat masa depan bangsa tumbuh.
Di tengah derasnya arus digitalisasi pendidikan, perjalanan ini mengingatkan saya bahwa perubahan besar selalu berawal dari kemauan untuk belajar. Dan saya percaya, selama guru terus bergerak, masa depan pembelajaran Indonesia akan menemukan bentuk terbaiknya. (#)
Jurnalis Abdul Rokhim Ashari Penyunting Mohammad Nurfatoni












