Telaah

Mindset dan Takdir: Bangsa Ini Sulit Bangkit jika Pola Pikir Tetap Terbonsai

326
×

Mindset dan Takdir: Bangsa Ini Sulit Bangkit jika Pola Pikir Tetap Terbonsai

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Takdir bukan tentang nasib yang tak bisa diubah. Ia adalah cermin dari isi pikiran dan hati kita. Saat cara berpikir kita sempit, pesimis, dan penuh keluhan, jangan heran jika takdir kita pun jalan di tempat. Sebab Allah baru mengubah keadaan suatu kaum jika mereka mengubah diri—termasuk mindset-nya.

Oleh Muhammad Hidayatulloh Kepala Pesantren Kader Ulama Pondok Pesantren Islamic Center (PPIC) Elkisi Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur; Penulis buku Geprek! Anti Galau Rahasisa Resep Hidup Enjoy

Tagar.co – Ada satu ayat dalam Al-Qur’an yang seharusnya membuat kita berhenti sejenak, menunduk, dan bertanya pada diri sendiri: “Sebenarnya siapa yang membuat jalan hidup kita buntu?”

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)

Ayat ini kerap dikutip, tetapi jarang benar-benar dihayati. Sebab maknanya bukan semata soal bangsa. Bukan sekadar tentang sistem. Tapi soal mindset—pola pikir. Tentang apa yang bersemayam di kepala dan hati kita masing-masing.

Para ulama tafsir, seperti Fakhruddin Ar-Razi dan Sayyid Quthb, menjelaskan bahwa frasa “mā bi-anfusihim” tidak hanya merujuk pada tindakan lahiriah, tetapi menunjuk pada isi batin: pikiran, keyakinan, niat, dan kehendak.

Baca Juga:  Sekali Dicelup: Surga Menghapus Derita, Neraka Menghapus Bahagia

Dengan kata lain: Kalau cara pikir kita masih cetek, kalau hati masih penuh prasangka, kalau niat masih kabur dan lemah—maka jangan pernah bermimpi perubahan akan datang.

Pikiran Kita, Takdir Kita

Dalam tradisi Islam, pikiran bukan sekadar alat berpikir. Ia adalah cermin iman. Bahkan, Allah mengaitkan nasib manusia dengan prasangkanya sendiri.

Ana ‘inda ẓanni ‘abdī bī, falyazunn bī mā syā’a.” “Aku (Allah) sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia kehendaki.” (H.R. Ahmad, Ibnu Hibban)

Artinya? Jika kita berpikir positif—tentang Allah, hidup, dan masa depan—maka pertolongan Allah akan datang sesuai prasangka itu.

Namun jika kita berpikiran negatif, bermental gagal sebelum berjuang, dan lebih suka meratap ketimbang bergerak—maka jangan salahkan siapa-siapa kalau takdir hidup ini tak bergerak.

Optimisme Itu Iman, Bukan Angan

Nabi ﷺ mencintai tafā’ul—optimisme.

Yu‘jibunī al-fa’lu aṣ-ṣāliḥ, al-kalimatu aṭ-ṭayyibah.” “Aku menyukai optimisme yang baik, yaitu kata-kata yang penuh harapan.” (H.R. Bukhari)

Baca Juga:  Mukmin Tak Pernah Kalah: Hidup Mulia, Gugur Syahid

Optimisme bukan sekadar semangat palsu. Ia adalah pantulan dari keyakinan bahwa Allah itu Maha Baik, Maha Penolong, dan Maha Mengubah keadaan. Orang beriman bukan berarti hidupnya bebas dari masalah. Tapi ia selalu yakin: jalan keluar pasti ada—selama pikiran dan hatinya lurus ke langit, bukan tenggelam dalam keputusasaan.

Revolusi Sejati Dimulai dari Diri Sendiri

Kita sering menginginkan dunia berubah: Pemerintah yang lebih adil; ekonomi yang lebih sejahtera; masyarakat yang lebih sehatl dan moral bangsa yang lebih kokoh

Namun, perubahan besar tak pernah dimulai dari pidato atau kebijakan semata.
Perubahan sejati lahir dari kesunyian dalam jiwa—ketika seseorang berbisik dalam dirinya:

“Aku tak bisa terus begini. Cara berpikirku harus berubah. Hatiku harus dibersihkan. Niatku harus diperbarui.”

Karena: Pikiran kita adalah langkah awal; hati kita adalah arah; tindakan kita adalah bukti; dan perubahan kita adalah doa yang dikabulkan.

Bangsa Ini Butuh Revolusi Pola Pikir

Jika kita berbicara soal nasib bangsa, maka yang pertama harus dibenahi adalah cara berpikir rakyatnya.

Baca Juga:  4 Pilar Kebutuhan Manusia: Kunci Hidup Seimbang Dunia Akhirat

Jangan berharap pemimpin yang adil akan turun dari langit, jika rakyatnya masih gemar mencaci dan tenggelam dalam rasa putus asa.
Jangan minta negeri ini berubah, jika kita masih menjadikan keluhan sebagai budaya nasional.

Bangsa yang pola pikirnya kerdil akan tertakdir menjadi penonton sejarah.
Tapi bangsa yang berpikir besar, jujur, dan penuh harapan—akan dimuliakan oleh langit dan dicatat dalam sejarah peradaban.

Negara tidak bangkit karena bantuan asing. Negara bangkit karena rakyatnya berani berpikir ulang, menata niat, dan yakin: Allah akan menolong siapa pun yang bersungguh-sungguh.

Saatnya Bangkit Secara Ekonomi, Iman, dan Pola Pikir

Berpikir positif kepada Allah adalah bentuk tertinggi dari ikhtiar batin.
Ia bukan sekadar sikap—tapi mesin perubahan.

Jika kita ingin takdir bangsa ini berubah, maka jangan tunda mengubah isi pikiran kita hari ini. Jangan tunggu presiden baru. Jangan tunggu momen besar.

Karena perubahan paling dahsyat selalu bermula dari hal yang paling sederhana: Pikiran yang jernih, hati yang yakin, dan langkah yang tidak ragu. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni