
Dua hari lagi aku meninggalkan Makkah. Kutulis kenangan terakhir: tawaf Subuh, Zamzam untuk anak-anakku, makanan hangat, dan doa-doa yang kupanjatkan tepat di hadapan Ka’bah.
My Journey on Hajj 2025 (Seri 18); Oleh Anandyah RC, S.Psi, Jemaah Haji KBIH Nurul Hayat Surabaya
Tagar.co – Dua hari lagi aku akan meninggalkan Tanah Suci Makkah Al-Mukarramah. Hati bergemuruh, rasa sedih semakin menguasai seluruh relung jiwa. Terasa seperti baru kemarin aku menginjakkan kaki di Bumi Haram ini, kini aku harus menata batin untuk melangkah pergi, meninggalkan berjuta pengalaman dan kenangan indah selama di sini.
Namun, aku tidak sendirian merasakan kesedihan ini. Teman-temanku, semua jemaah pun dirundung perasaan yang sama. Saat hati ini mulai terpaut pada Makkah dan merasakan kenyamanan tinggal di sini, perpisahan itu tak terhindarkan.
Baca juga: Di Tanah Suci, Tempe Mendoan Terasa Nikmat Sekali
Kusadari, di dunia ini tiada yang abadi. Keindahan, kesenangan, kenyamanan, bahkan kemewahan—semuanya memiliki batas waktu. Kini saatnya kembali pada kehidupan nyata, hidup dalam masyarakat sosial, menebar kebaikan dan kebermanfaatan.
Tak ingin menyia-nyiakan sisa waktu di Makkah, jemaah Nurul Hayat sejak Sabtu lalu berinisiatif melakukan program umrah tambahan. Biayanya ditanggung sendiri, 20 riyal per orang, karena program umrah resmi dari KBIH telah dituntaskan hingga lima kali.
Namun, KBIH tetap memfasilitasi dengan menyediakan bus dan mutawif. Masyaallah, antusiasme tinggi—sebanyak 94 orang berangkat dengan dua bus selepas salat Subuh menuju mikat Tan’im. Tabarakallah, semoga makbulan umratan. Amin.
Aku dan suami memilih tidak ikut program tambahan ini. Umrah untuk diri sendiri maupun badal umrah sudah khalas. Di sisi lain, suamiku juga butuh waktu istirahat untuk pemulihan dari flu yang dideritanya.
Hari Sabtu kami manfaatkan untuk ibadah mandiri dan bersiap-siap mengemas koper. Mencuci pakaian agar bersih saat berpindah ke Madinah. Kami juga mulai packing barang bawaan dan oleh-oleh ke dalam koper besar dan kecil. Alhamdulillah, semua muat, termasuk barang tambahan hasil “berburu” di Pasar Khakiyah, Misfalah, dan Tower Zamzam.
Selepas Magrib, suamiku sudah merasa lebih baik. Kami jalan-jalan keluar hotel, menyusuri pertokoan di sekitar Distrik Misfalah Sektor 8 dan 9. Beberapa hotel dan toko sudah tutup, baru kami tahu dari para mukimin bahwa tempat-tempat itu hanya buka saat musim haji.
Sebelum kembali ke hotel, kami mampir ke toko makanan Indonesia di Sektor 8 untuk membeli camilan, karena toko serupa di sektor kami sudah tutup. Kami juga singgah ke resto Hotel 1019 yang dikelola oleh mukimin asal Sampang, Madura. Taretan dhibi ternyata. Resto ini buka dari pukul 06.00 pagi hingga 23.00 malam.
Malam itu, kami ingin menikmati makanan hangat dan berkuah. Kami sepakat membeli mi instan cup. Setelah turun satu lantai dari front office, alhamdulillah masih tersedia. Aku juga melihat bubur kacang hijau dalam gelas plastik besar. Karena suamiku penggemar bubur itu, aku membelinya seharga 7 riyal. Kami menikmatinya berdua—hangat, nikmat, dan cocok di lidah Madura, kata suamiku.
Setelah Isya, kami menyantap mi cup dengan tempe tepung dan sedikit nasi sisa makan malam. Lalu beristirahat, karena kami berencana berangkat ke Masjidilaaram sebelum Subuh.
Pukul 3 pagi kami berangkat. Suamiku mengenakan pakaian ihram agar bisa salat tepat di depan Ka’bah. Untuk perempuan, cukup pakaian yang menutup aurat. Kami masuk melalui pintu utama King Abdul Aziz dengan lancar. Turun melalui eskalator, kami sampai di area tawaf.
Jam menunjukkan 03.30. Kami mencari tempat salat Tahajud. Alhamdulillah aku bisa masuk ke area salat perempuan di depan Ka’bah. Suamiku salat di dekat Makam Ibrahim.
Azan Subuh berkumandang. Seluruh persendianku merinding. Salat di depan Ka’bah adalah dambaan setiap hamba. Lantunan imam menggema syahdu, menyentuh kalbu.
Setelah salat Subuh dan salat jenazah, aku segera menuju wadah-wadah air Zamzam di belakang. Kupilih yang not cold untuk meredakan dahaga dan mengisi empat botol yang sudah kusiapkan. Botol ini akan kubawa tawaf, karena pembimbing haji menyampaikan bahwa Zamzam yang dibawa tawaf dan disertai doa memiliki keberkahan khusus. Air ini akan kuhadiahkan untuk anak-anakku tercinta.
Menunggu waktu Syuruk adalah momen yang nyaman untuk tawaf. Udara masih sejuk. Kami memulai tawaf dari lampu hijau. Zikir, doa, dan takbir kulantunkan pelan sembari melangkah. Tawaf hari ini cukup lengang. Putaran kedua, aku mulai mendekat ke arah Ka’bah. Hingga putaran keenam, kami tetap berada dekat Ka’bah. Di putaran ketujuh, kami perlahan menjauh ke jalur terluar.
Kami menepi di arah menuju area sai. Ka’bah hanya 200 meter dari tempatku. Kuturunkan sajadah, lalu kami salat sunah tawaf bersama. Aku bersimpuh, berdoa penuh harap:
“Ya Rabb, Engkau begitu dekat, ampunilah aku. Kabulkan doa-doaku, doa orang-orang yang menitipkan harapan padaku. Berkahilah hidupku. Jauhkan aku dari neraka-Mu. Wafatkan aku dalam husnul khatimah. Jadikan aku penghuni surga-Mu. Amin.”
Tak ingin beranjak, aku duduk berlama-lama. Pukul 06.00, masuk waktu Duha. Aku berdiri menunaikannya, mengulang kembali setiap harapan.
Masih belum ingin beranjak, aku menghubungi anak-anakku lewat video call. Kuharap mereka melihat Ka’bah dan mengaminkan setiap doa. Suamiku juga video call dengan ibunda di Tanah air. Tetes air mata, doa-doa tulus dari keluarga mengalir di hadapan Ka’bah. Semoga semuanya dikabulkan. Amin.
Pukul 07.00 lewat, kami meninggalkan Ka’bah melalui pintu dekat sai. Menuju terminal Ajyad, kami berhenti sebentar di WC 3. Suamiku berganti pakaian ihram. Sambil menunggu, aku duduk di kursi lipat yang kutemukan di pelataran. Menikmati roti sambil menatap burung merpati yang bersuka cita—burung penyelamat Rasulullah Saw. dan Abu Bakar saat bersembunyi di Gua Sur.
Sepuluh menit kemudian, suamiku memberi kabar sudah menunggu. Kami berjalan ke arah terminal. Di sana, seorang petugas menyapa. Ternyata mukimin Sampang. Ia bercerita tentang aturan haji yang makin ketat.
Tiba-tiba sopir Bus Selawat No. 25 datang dan setelah berbicara dengan petugas, kami diizinkan ikut karena searah. Kami minta diturunkan di depan Hotel 1021, dan alhamdulillah diturunkan tepat di seberang jalan hotel. Syukran, Pak Sopir.
Tiba di hotel, kami sarapan dan beristirahat. Salat Zuhur dan Asar berjemaah di masjid hotel. Sore hari kembali ke Masjidilharam. Suamiku berihram lagi untuk tawaf setelah Magrib.
Masjid mulai padat menjelang Magrib. Aku salat di area perempuan berkarpet hijau. Bertemu beberapa teman jemaah satu hotel. Karena sendiri, aku lebih mudah mendapatkan tempat.
Usai salat Magrib, kami tawaf hingga menjelang Isya. Siang tadi pagar pembatas Ka’bah dibuka, membuat area menjadi sangat padat. Banyak jemaah yang ingin menyentuh Ka’bah. Setelah dua putaran, karena kondisi makin sesak, kami memilih menjauh. Suamiku berkata, “Bukan sesuatu yang wajib. Lebih baik kita beribadah dengan aman.”
Tawaf selesai pukul 20.00. Askar mulai mengatur kembali pagar dan jemaah. Suamiku memperbarui wudu sekaligus mengganti pakaian. Aku menunggu di area perempuan dekat pintu keluar sai. Bertemu jemaah dari Cirebon dan Embarkasi Solo. Kami saling bertukar kontak.
Salat Isya malam itu begitu damai. Kami tak segera beranjak. Menikmati malam terbuka di Makkah Al-Mukarramah, kududuk sambil menyantap biskuit Marie. Kutatap dinding masjid yang menjulang tinggi, kulihat para jemaah sai di lantai dua. Dalam hati, aku berdoa:
“Ya Rabb, sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini. Panggil aku kembali bersama keluargaku. Amin.”
Makkah, 29 Juni 2025
Penyunting Mohammad Nurfatoni












