
Jamarat bukan sekadar melempar kerikil, tapi tentang menundukkan ego dan menghidupkan harapan—bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk sesama.
Oleh Piet Hizbullah Khaidir; Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur
Tagar.co – Sejak memasuki petilasan jamarat Nabi Ibrahim As., lautan manusia menggemakan doa yang sama pada sesi jamarat Akabah pada 10 Zulhijah: kalimat talbiyah.
Dalam perjalanan pulang dari jamarat Akabah, dilanjutkan dengan Jamarat Ula, Wusta, dan Akabah pada 11, 12, dan 13 Zulhijah, lantunan doa berubah menjadi kalimat takbir. Terasa kuat energi suara lautan manusia itu—masuk ke telinga, menghunjam ke hati, menjadi samudra harap.
Baca juga: Mabit di Muzdalifah: Menjalin Keakraban dengan Tuhan dan Sekitar
Tempat jamarat berada di Kota Mina, sebuah kota suci yang menjadi simbol pertarungan hebat antara kebaikan dan keburukan, antara Ibrahim As. dan setan. Mina adalah anugerah, sebagaimana doa penuh harap yang dilantunkan saat memasuki kawasan ini.
Bagaimana seharusnya kita memaknai gema doa dan harapan dalam jamarat yang dilantunkan lautan manusia itu? Bagaimana lautan manusia dengan doa-doanya mampu mengetuk nurani hatinya sendiri, agar doanya tidak sekadar dilantunkan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga mengandung harap bagi sesama manusia?
Jamarat Akabah dan Hari Tasyrik
Jamarat adalah bagian dari rangkaian wajib dalam ibadah haji. Ada beberapa bentuk jamarat, yakni jamarat Aqabah, ula, dan wustha. Dalam praktiknya, jamarat dibagi menjadi dua: Jamarat Akabah; dan Jamarat Ula, Wusta, serta Akabah yang dilakukan pada hari-hari Tasyrik.
Jamarat Akabah merupakan salah satu rangkaian wajib haji, dilakukan pada 10 Zulhijah. Setelah melempar batu sebanyak tujuh kali, jamaah melaksanakan tahalul awal.
Sejak tahalul awal, jamaah haji telah bebas dari larangan berpakaian ihram, kecuali tiga hal: akad nikah, menikahkan, dan berhubungan suami istri. Larangan terakhir itu pun tuntas setelah jemaah menunaikan tawaf ifadah, sa’i, dan tahalul sani.
Adapun jamarat pada hari-hari Tasyrik adalah Jamarat Ula, Wusta, dan Akabah, dilakukan pada tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah. Dalam pelaksanaannya, ada dua pilihan: nafar awal dan nafar sani.
-
Nafar awal dilakukan dengan meninggalkan Mina menuju Makkah setelah melempar jamarat hingga 12 Zulhijah.
-
Nafar sani dilakukan setelah menyelesaikan lempar jamarat hingga 13 Zulhijah.
Yang penting dicatat, saat berangkat ke Jamarat Akabah, jemaah membaca kalimat talbiah. Sedangkan saat kembali dari Jamarat Akabah dan pada hari-hari Tasyrik, baik saat berangkat maupun kembali, kalimat yang dibaca adalah takbir.
Lautan Doa, Lautan Manusia
Sunah jamarat dilaksanakan setelah Zuhur. Di tengah terik musim panas yang mencapai 47 °C pada 2025/1446, kalimat talbiah dan takbir tetap menggema dengan syahdu dan khusyuk. Jemaah haji Indonesia biasanya memilih waktu setelah asar menjelang Magrib, sekitar pukul 16.30 WAS, agar terhindar dari panas terik.
Lautan doa dan manusia ini menyimpan makna yang indah, kuat, dan penuh energi spiritual. Kalimat talbiyah dan takbir adalah puncak tauhid—puncak doa seorang hamba yang sadar akan kehinaan dan kerendahan dirinya di hadapan Tuhan.
Kalimat talbiyah adalah jawaban sopan penuh adab atas panggilan Tuhan: Labbaikallahumma labbaik—”Ya Allah, kami penuhi panggilan-Mu.” Diksi ini sangat kuat. Ketika kita benar-benar mendengar panggilan Tuhan, maka dada ini akan bergemuruh oleh rasa haru dan tunduk.
Dengan kekuatan diksi itu, yang melantunkannya haruslah bersih hati dan memiliki kehendak kuat untuk mendekat kepada Allah Swt. Jika tidak, maka kalimat itu hanya akan berhenti di bibir, tanpa makna dan bekas apa pun.
Kalimat lanjutan Labbaika lasyarika laka labbaik. Innalhamda wanikmata laka walmulk, la syarikalak juga sangat dalam. Ia menyatakan bahwa segala puji, nikmat, dan kekuasaan hanyalah milik Allah. Maka tak layak seorang hamba menyombongkan diri, baik dalam harta, ilmu, jabatan, apalagi ibadah. Semuanya harus dijalani dalam kerendahan dan ketundukan.
Karena itu, jamarat adalah simbol melawan setan—terutama setan yang bersemayam dalam ego diri sendiri. Melawan kesombongan batin yang menghalangi pengakuan bahwa kebesaran hanya milik Allah semata. Maka, takbir yang dilantunkan usai jamarat Aqabah dan sepanjang hari-hari Tasyrik adalah bentuk pengagungan kepada Tuhan.
Samudra Harap Nurani Kemanusiaan
Sebagai pengakuan iman, lautan doa dari lautan manusia dalam ritual jamarat harus beresonansi pada nurani kemanusiaan. Doa akan jauh lebih bermakna bila kesadaran spiritualnya terhubung dengan kepedulian sosial.
Doa adalah samudra harapan dari hati manusia. Bagaimana mungkin doa-doa itu menjadi cermin sikap egoistis, jika yang seharusnya lahir adalah kesalehan individu yang menumbuhkan kesalehan sosial?
Pertanyaan retoris sebagai penutup: bagaimana mungkin orang yang rajin beribadah justru memiliki perangai egois, hanya mementingkan dirinya sendiri—baik dalam laku ibadah, apalagi dalam relasi sosial kemanusiaan? Wallahua’lam.
Mina, 8 Juni 2025
Penyunting Mohammad Nurfatoni