Opini

Idealisme Baldah Tayibah dan Jatuh Bangun Peradaban Islam

344
×

Idealisme Baldah Tayibah dan Jatuh Bangun Peradaban Islam

Sebarkan artikel ini
Idealisme Baldah Tayibah menjadi bahasan di saat Indonesia sedang tidak baik-baik saja, sementara kader Muhammadiyah sedang dipercaya turut mengelola pemerintahan.
Abu Nasir

Idealisme Baldah Tayibah menjadi bahasan di saat Indonesia sedang tidak baik-baik saja, sementara kader Muhammadiyah sedang dipercaya turut mengelola pemerintahan.

Oleh Abu Nasir, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pasuruan

Tagar.co – Kajian Ramadan PWM tanggal 8 Maret 2025 di Lamongan mengusung tema Baldah Tayibah: Refleksi untuk Negeri. Tak perlu penjelasan negeri dimaksud tentu Indonesia.

Tema ini menarik. Menimbulkan banyak tanya sekaligus gugatan. Di tengah kepercayaan Presiden Prabowo kepada kader-kader Muhammadiyah menjadi pembantunya dalam berbagai posisi jabatan strategis merefleksi Indonesia merupakan “keberanian”.

Apalagi jika dikaitkan dengan cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 pada saat sama konon negeri itu sedang gelap gulita.

Saya sempat bertanya kepada Prof. Ahmad Jainuri tentang waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk mencapai Baldah Tayibah berpijak dari situasi kekinian.

Rasanya menggagas idealisme Baldah Tayibah dalam konteks Indonesia sekarang seperti pepatah jauh panggang dari api. Benarkah demikian? Dibutuhkan waktu bertahun tahun, bahkan untuk bisa menggapai negeri impian itu.

Al-Quran memang tidak mendetailkan konsep Baldah Tayibah tersebut dan dalam berbagai literatur pun tidak terdapat model idealnya.

Karena itu Prof Din Syamsuddin berpendapat bahwa negeri ideal dalam surat Saba ayat 15-16 itu bersifat imperatif. Dorongan kuat untuk mewujudkannya.

Bisa jadi relevan meletakkan Indonesia masa kini dalam konteks Baldah Tayibah, kalau tidak ia benar benar hanya akan menjadi impian belaka.

Baca Juga:  Kajian Ramadan PWM Jatim di Umla: Meretas Jalan Baldah Tayibah untuk Kemajuan Negeri

Mufasir klasik Imam Ibnu Katsir menyimpulkan dari sejumlah pendapat pakar tafsir lainnya seperti Asy- Syaukani, At Thabari  dan Ibnu Zaid rahimahumullah bahwa Baldah Tayibah adalah negeri Saba yang dipimpin para raja Yaman Tababi’ah hingga ratu Bilqis, istri Nabi Sulaiman as.

Bangsa ini hidup dalam iklim alam yang baik terbebas dari lalat, nyamuk, atau hama lainnya dengan cuaca alam yang sehat dan baik sehingga kebun-kebun mereka subur menghasilkan tanaman, buah-buahan sebagai rezeki berkelimpahan dan sumber kemakmuran.

Kepada mereka diutus para nabi untuk mengajak bersyukur dan menyembah Tuhan. Sampai beberapa abad mereka hidup dalam kondisi ideal. Namun lama kelamaan mereka lupa dan kufur nikmat sehingga mengundang murka Tuhan. Mereka terhukum dengan datangnya banjir bandang sampai tercerai berai ke banyak negeri (Tafsir Ibnu Katsir, 6/504 ).

Ideal Vs Realitas

Baldatun tayibatun wa rabun gafur secara bahasa diartikan negeri yang baik dengan rabb yang Maha Pengampun mengandung maksud bahwa Baldah Tayibah itu berupa negeri yang penduduknya beriman, penuh syukur menyembah Tuhan, karena hidup mudah berkelimpahan rezeki dari sumber-sumber daya alam sehingga memperoleh ampunanNya.

Dalam realitas sering dijumpai yang sebaliknya. Negeri-negeri tanpa menjadikan agama sebagai pedoman, liberal, dan ateis mereka justru hidup dalam kemakmuran dan keamanan, tenang dan damai dalam harmoni sesama warga.

Baca Juga:  Momen Berkesan di Kajian Ramadan: Ketika Ilmu, Kebersamaan, dan Spiritualitas Menyatu

Sebaliknya negeri-negeri dengan mayoritas penduduk menganut Islam, justru terpuruk dalam sejumlah perpecahan, konflik, dan terpapar kemiskinan terus menerus. Apa sesungguhnya kriteria utama sebuah negeri disebut Baldah Tayibah?

Penduduk Saba hidup berkelimpahan dari rezeki yang sudah given, berada dalam bimbingan rasul dan ampunan Tuhan.

Dengan kondisi ideal semacam itu bagaimana merefleksikannya dalam peradaban Islam dan Indonesia kekinian?

Sebuah Baldah Tayibah, menurut penasihat PWM Jatim Prof Ahmad Jaenuri, butuh good governance, pemimpin negarawan, justice, dan kemakmuran rakyat ditopang oleh faktor geografis yang memiliki sumber daya alam melimpah. Untuk prasyarat terakhir, Indonesia punya potensi besar mewujudkannya.

Pakar peradaban Islam Buya Syafii Ma’arif (Allahummaghfirlahu) dalam berbagai kesempatan dan buku- bukunya menyatakan bahwa peradaban Islam ideal bermula di zaman Nabi Muhammad Saw dan berakhir di zaman Umar bin Khattab.

Setelahnya umat mewarisi tribalisme peradaban dan terpapar konflik. Namun pandangan ini ditolak oleh Hajriyanto Y Thohari, Duta Besar Indonesia untuk Lebanon yang juga menjadi pembicara dalam kajian.

Menurutnya Ketua PP Muhammadiyah periode 2015-2020 ini belakangan telah mengakui bahwa peradaban Islam ideal bisa ditemukan di zaman keemasan Islam era Daulah Bani Abbasiyah dan Turki Utsmani.

Di masa itu bangunan peradaban Islam berdiri di atas nilai keislaman yang mampu menghadirkan produk peradaban berupa kepemimpinan yang kuat, capaian yang tinggi bidang ilmu pengetahuan, filsafat, agama, dan keadilan sosial.

Baca Juga:  Umla Siap Bersaing dengan UMM Jadi Kampus Internasional

Sejatinya Baldah Tayibah tidak mesti digambarkan dalam wajah negara tanpa konflik, perpecahan, dan kesenjangan. Wujud peradaban Islam ideal terbentang panjang dalam historical Islam dalam banyak wajah.

Di dalamnya ada pembunuhan, perang konflik, perpecahan sekaligus kesatuan, damai, keadilan, sejahtera dan tingginya capaian ilmu pengetahuan.

Sejarah kehidupan bangsa tidak bisa lepas dari jatuh bangunnya sendiri. Namun di balik itu semua    kebesaran dan  ketinggian ilmu pengetahuan serta kemakmuran menjadi mercusuar peradaban Islam tersendiri. Tanpa itu semua Islam tidak akan pernah punya peradaban.

Berkaca pada jatuh bangun peradaban Islam, pandangan ini jelas cukup radikal. Di tengah idealisme Baldah Tayibah, konflik dan pertumpahan darah bisa menjadi bumbu tidak sedap bagi dalam proses   menuju cita-cita negeri adil makmur dalam ampunan Tuhan.

Diakui ataupun tidak, diungkapkan ataupun diam-diam, semua paham Indonesia sedang tidak baik-baik saja, justru di saat para kader Muhammadiyah sedang dipercaya turut mengelola pemerintahan di dalamnya dan di tengah keramaian tagar #kaburajadulu, korupsi edan-edanan, pejabat Pertamina terlibat Pertamax oplosan, dan Indonesia gelap gulita.

Pada akhirnya hampir semua sepakat bahwa seburuk apapun kondisi Indonesia saat ini tetap wajib memiliki harapan dan optimisme Indonesia lebih baik di masa datang terutama mewujudkan Indonesia Emas 2045. (#)

Penyunting Sugeng Purwanto