
Dengan memahami berbagai metode ini, diharapkan masyarakat dapat lebih menghargai perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk terus mempererat ukhuwah Islamiah.
Hisab, Rukyat, KHGT, hingga Kearifan Lokal: Memahami Penetapan Ramadan dan Idul Fitri di Indonesial Oleh Dwi Taufan Hidayat, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas PCM Bergas Kabupaten Semarang
Tagar.co – Indonesia, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, memiliki tradisi yang kuat dalam menyambut bulan suci Ramadan serta merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Penetapan awal Ramadan dan kedua hari raya tersebut menjadi momen penting karena berkaitan langsung dengan pelaksanaan ibadah. Namun, Indonesia dengan keragaman budaya dan tradisinya, juga memiliki pendekatan yang bervariasi dalam menentukan awal bulan-bulan Hijriah ini.
Perbedaan ini tidak terlepas dari pandangan dan metode yang digunakan oleh organisasi keagamaan, komunitas lokal, dan individu. Artikel ini akan mengulas beragam metode tersebut, yang masing-masing memiliki dasar yang kuat, baik secara ilmiah maupun tradisional.
1. Hisab: Perhitungan Astronomis untuk Menentukan Posisi Hilal
Hisab adalah metode perhitungan posisi bulan berdasarkan ilmu astronomi (falakiah). Dengan teknologi modern dan data yang akurat, metode ini dapat menentukan posisi hilal (bulan sabit muda) dengan presisi tinggi. Ada dua pendekatan utama dalam hisab:
- Hisab Wujudul Hilal: Menganggap awal bulan baru dimulai ketika hilal sudah berada di atas ufuk, meskipun sangat tipis dan tidak mungkin terlihat. Kriteria yang digunakan adalah: (1) telah terjadi ijtimak (konjungsi), (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.
- Hisab Imkanur Rukyat (Kemungkinan Terlihatnya Hilal): Menggunakan kriteria visibilitas hilal, yang awalnya mensyaratkan tinggi hilal minimal 2 derajat, elongasi (jarak sudut antara bulan dan matahari) minimal 3 derajat, dan umur bulan minimal 8 jam, yang kini menggunakan kriteria baru, yaitu tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat, mengacu pada hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
2. Rukyat: Pengamatan Langsung terhadap Hilal
Rukyat adalah metode tradisional yang melibatkan pengamatan langsung terhadap hilal di ufuk barat setelah matahari terbenam. Proses ini dilakukan oleh tim yang terlatih dan tersumpah di berbagai lokasi strategis di Indonesia.
Baca juga: Hukum Membaca Al-Qur’an dari Mushaf saat Salat Sunah
Jika hilal berhasil terlihat (rukyat berhasil), maka awal bulan baru diumumkan. Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, menggunakan metode rukyat dengan mempertimbangkan hisab sebagai data pendukung. Perlu ditegaskan bahwa NU tidak hanya mengandalkan rukyat, tetapi juga menggunakan hisab sebagai alat bantu.
3. Kombinasi Hisab dan Rukyat: Mekanisme Sidang Isbat
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama menggabungkan metode hisab dan rukyat dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Data hisab dari berbagai ormas Islam dan lembaga terkait, kemudian diverifikasi melalui pengamatan rukyat di berbagai titik di Indonesia.
Hasil rukyat dan data hisab kemudian dibahas dalam sidang isbat. Sidang ini dihadiri oleh perwakilan ormas-ormas Islam, ahli astronomi, dan instansi pemerintah terkait. Keputusan penetapan awal bulan diambil berdasarkan musyawarah dengan mempertimbangkan data hisab dan laporan rukyat. Pemerintah berperan sebagai fasilitator, dan keputusan Sidang Isbat diharapkan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
4. Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT): Upaya Penyatuan Kalender Islam
Beberapa komunitas, termasuk Muhammadiyah, kini menggunakan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). KHGT adalah sistem kalender Islam yang disusun berdasarkan perhitungan astronomis yang berlaku secara global.
Kalender ini disusun berdasarkan perhitungan astronomis yang berlaku secara global dan diharapkan dapat menyatukan umat Islam di seluruh dunia dalam hal penetapan awal bulan Hijriah. KHGT menggunakan kriteria awal bulan: (1) Terjadinya konjungsi sebelum matahari terbenam di mana pun di seluruh dunia, (2) Bulan terbenam setelah matahari terbenam di titik-titik referensi di seluruh dunia, (3) Kriteria KHGT ini memungkinkan untuk menyusun kalender tahunan yang berlaku secara global.
Namun, KHGT juga menuai kontroversi karena dianggap mengabaikan aspek lokalitas dan visibilitas hilal di berbagai wilayah. Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, kini menggunakan KHGT sebagai dasar penetapan awal Ramadan dan Hari Raya, dengan tetap membuka ruang dialog dengan pihak yang memiliki pandangan berbeda.
5. Metode Tradisional dan Lokal: Kearifan Lokal dalam Menentukan Awal Bulan
Selain metode-metode di atas, beberapa komunitas di Indonesia masih mempraktikkan cara tradisional yang diwariskan turun-temurun. Misalnya, masyarakat Tengger menggunakan metode Pranatamangsa yang mengamati tanda-tanda alam, posisi rasi bintang, dan perilaku hewan, sementara di beberapa daerah di Jawa terdapat tradisi Nujuh Likur yang menandai 17 hari sebelum lebaran, dengan melakukan ziarah kubur yang biasanya dikaitkan dengan perkiraan awal Ramadan yang ditentukan secara lokal dengan mengamati tanda-tanda alam.
Ada pula masyarakat Baduy yang memiliki cara tersendiri dalam menentukan awal bulan, seringkali dipadukan juga dengan hisab atau rukyat. Metode-metode ini menunjukkan kearifan lokal dan tetap dijalankan di beberapa daerah, khususnya di pedesaan.
6. Fatwa atau Petunjuk Ulama: Kepatuhan kepada Otoritas Keagamaan
Bagi sebagian masyarakat, panduan dari tokoh agama atau ulama setempat menjadi rujukan utama. Mereka mempercayakan keputusan sepenuhnya kepada pemimpin agama tanpa mengikuti detail teknis hisab maupun rukyat.
Fatwa ulama atau organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sering menjadi dasar penetapan awal bulan bagi sebagian umat Islam di Indonesia. Hal ini lebih kepada kepatuhan kepada otoritas keagamaan yang dianggap memiliki ilmu dan kebijaksanaan.
Sejarah Singkat Perbedaan Metode di Indonesia
Perbedaan metode penetapan awal bulan Hijriah di Indonesia sudah ada sejak lama. Pada masa kolonial Belanda, pemerintah saat itu berusaha menyeragamkan penanggalan dengan menggunakan hisab. Namun, hal ini mendapat tentangan dari sebagian ulama yang berpegang teguh pada rukyat. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama mulai menggunakan kombinasi hisab dan rukyat, dan menggelar sidang isbat untuk menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah.
Harmoni di Tengah Perbedaan: Menghargai Ikhtilaf, Memperkuat Ukhuwah
Beragamnya metode penetapan awal Ramadan dan Hari Raya sering kali menghasilkan perbedaan hari perayaan. Namun, perbedaan ini adalah sesuatu yang wajar dalam tradisi Islam (dikenal dengan istilah ikhtilaf) dan bukanlah sumber perpecahan. Justru hal ini memperkaya khazanah keilmuan Islam.
Pemerintah Indonesia melalui Sidang Isbat berupaya menjadi jembatan bagi berbagai pandangan, dengan harapan menciptakan keputusan yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak contoh di mana masyarakat Indonesia menyikapi perbedaan ini dengan bijak, tetap saling menghormati, dan menjalankan ibadah dengan khusyuk.
Pada akhirnya, apapun metode yang digunakan, semua umat Islam memiliki tujuan yang sama, yaitu menjalankan ibadah dengan penuh keimanan dan ketakwaan. Perbedaan metode justru mencerminkan kekayaan tradisi Islam yang mampu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan tanpa melupakan akar budaya dan kepercayaan lokal.
Dengan memahami berbagai metode ini, diharapkan masyarakat dapat lebih menghargai perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk terus mempererat ukhuwah Islamiah. Mari kita terus belajar dan memperdalam ilmu agama, khususnya mengenai falakiah (ilmu astronomi Islam), agar dapat memahami perbedaan ini dengan lebih baik. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni