Opini

Euforia Olahraga: Sehat tanpa Harus Menyiksa Diri

179
×

Euforia Olahraga: Sehat tanpa Harus Menyiksa Diri

Sebarkan artikel ini
Foto freepik.com premium

Sehat itu penting, tapi memaksa tubuh melampaui batas justru berisiko. Saatnya berolahraga dengan bijak, terukur, dan penuh cinta pada diri sendiri. Jangan hanya karena euforia.

Oleh Angga Adi Prasetya, M.Pd.; Guru PJOK  SD Muhammadiyah 1 Kota Malang

Tagar.co – Di era media sosial yang penuh cahaya dan semangat hidup aktif, olahraga menjelma menjadi simbol gaya hidup baru.

Kita melihat unggahan lari pagi dengan langit jingga, foto sepeda berjejer di taman kota, tubuh berkeringat di pusat kebugaran, dan pose yoga di bawah senja.
Semua tampak begitu sehat, begitu bugar, begitu… sempurna.

Baca juga: Membongkar Miskonsepsi PJOK: Dari Lapangan Fisik ke Pendidikan Holistik

Namun, di balik napas yang terengah demi kebugaran, ada kisah lain yang jarang disorot:

Tubuh-tubuh yang kelelahan karena terlalu memaksa. Sendi yang nyeri, hati yang letih, bahkan semangat yang padam.

Niat sehat kadang justru berbalik menjadi sakit.

Sehat yang Terlalu Dikejar

Olahraga memang obat mujarab, tetapi sebagaimana obat, dosisnya harus tepat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, orang dewasa cukup beraktivitas sedang 150–300 menit per pekan, atau aktivitas berat 75–150 menit, disertai dua kali latihan kekuatan otot. Lebih dari itu, tidak selalu lebih baik.

Baca Juga:  Olahraga dalam Gaya Hidup Gen Z

Tubuh bukan mesin, ia punya ritme dan bahasa sendiri. Bila dipaksa tanpa istirahat, olahraga bisa berubah menjadi racun.

Penelitian Bohrpub Journal (2023) menyebut, latihan berlebihan dapat memicu kelelahan kronis, gangguan hormon, bahkan cedera otot.

Sementara Journal of Science and Cycling (2022) menegaskan, kurangnya pemulihan dapat melemahkan sistem imun—tubuh menjadi rapuh, mudah terserang flu, dan kehilangan semangat.

Mengapa tubuh bisa drop?

Karena semangat yang meledak sering lupa memberi jeda.
Bagi mereka yang baru mulai, tubuh belum terbiasa menghadapi tekanan fisik.
Otot, jantung, dan metabolisme butuh waktu untuk belajar, bukan dipaksa untuk berlari seketika.

Kadang, kita tidak sedang mengejar kesehatan, tetapi mengejar hasil instan:
ingin langsing dalam sebulan, berotot dalam seminggu, viral dalam sehari.
Lupa bahwa kesehatan bukan pencapaian, melainkan perjalanan.

Bijak Bergerak, Seimbang Bertumbuh

Agar olahraga menjadi berkah, bukan bencana, mari menapak perlahan:

  • Mulailah dengan rendah hati. Jalan kaki 20 menit tiga kali seminggu lebih berarti daripada memaksakan maraton mendadak.
  • Ragamkan gerak. Kardio, kekuatan, fleksibilitas, dan keseimbangan—semuanya penting untuk harmoni tubuh.
  • Rawat istirahat.T idur cukup dan makan bergizi adalah bagian dari latihan yang tak kalah penting.
  • Dengarkan tubuh. Nyeri, lesu, dan sulit tidur adalah bisikan tubuh yang minta jeda, bukan untuk diabaikan.
  • Nikmati prosesnya. Olahraga bukan perlombaan menuju tubuh ideal, melainkan perjalanan mencintai diri sendiri.
Baca Juga:  Menata Lingkungan Pendidikan agar Bebas dari Fitnah dan Ancaman

Menjaga Ritme, Merawat Hidup

Olahraga adalah investasi kesehatan paling murah dan paling jujur—tak butuh alat mahal, hanya kesadaran dan niat yang tulus.

Namun seperti menanam pohon, kita tak bisa memaksa biji tumbuh seketika.
Yang kita butuhkan hanyalah konsistensi, bukan kecepatan.

Karena sejatinya, sehat bukan tentang siapa yang paling cepat berubah,
melainkan siapa yang paling setia menjaga keseimbangan tubuh dan jiwa. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni