Opini

Apoteker Bukan Pedagang Obat: Catatan Kritis soal Apotek Desa

1247
×

Apoteker Bukan Pedagang Obat: Catatan Kritis soal Apotek Desa

Sebarkan artikel ini
Dr. apt. Abdul Rahem, M.Kes

Tanpa peran apoteker, Apotek Desa yang digagas Presiden Prabowo Subianto bisa berubah fungsi: dari pelayanan kesehatan menjadi tempat jual beli obat biasa. Ini bisa membahayakan pasien dan merusak marwah profesi.

Oleh Dr. apt. Abdul Rahem, M.Kes.; Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia

Tagar.co – Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk 80 ribu koperasi yang akan disebar di setiap desa. Tiap desa akan memiliki apotek dengan obat-obatan yang terjangkau oleh rakyat. “Jadi nanti obat-obat itu, obat istilahnya generik. Obat mungkin kotaknya tidak terlalu berwarna-warni, tapi obatnya sama, yang bisa terjangkau oleh rakyat dalam harga yang mungkin bisa sepertiga, bahkan bisa 10 persen dari harga yang ada di kota-kota,” tutur Prabowo (Kumparan, 7 April 2025).

Gagasan ini pada dasarnya sangat positif, karena mencerminkan komitmen untuk pemerataan layanan kesehatan hingga ke pelosok. Rencana tersebut sangat strategis dan tentu perlu didukung oleh semua pihak—jika apotek yang dimaksud adalah model apotek sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini, yaitu: “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker.”

Baca juga: In Memoriam Soesanto Prijosepoetro: PR III Unair di Masa Transisi Kemahasiswaan

Dengan konsep apotek yang sebenarnya, maka Apotek Desa merupakan upaya meningkatkan akses pelayanan kesehatan masyarakat hingga ke pelosok negeri. Program ini adalah bagian dari strategi besar pemerataan pelayanan kesehatan yang adil, terjangkau, dan berkualitas, khususnya bagi masyarakat pedesaan yang selama ini masih menghadapi keterbatasan dalam memperoleh obat-obatan dan layanan kefarmasian.

Apotek Desa harus dirancang sebagai unit pelayanan kefarmasian yang berada langsung di desa atau wilayah terpencil, dan dikelola oleh tenaga kefarmasian yang kompeten—yaitu apoteker, sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang dimiliki. Fungsinya tidak hanya sebagai tempat penjualan obat, tetapi juga sebagai pusat edukasi kesehatan masyarakat, termasuk pemahaman penggunaan obat yang rasional dan upaya pencegahan penyakit.

Baca Juga:  Sertifikasi Halal: Antara Kebutuhan Umat dan Kepentingan Dagang

Melalui pendirian Apotek Desa, kita berharap dapat mengatasi masalah distribusi obat, meminimalkan praktik penjualan obat ilegal, serta mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pengobatan tradisional yang belum teruji kemanjuran dan keamanannya secara ilmiah.

Keberadaan apotek ini juga harus bersinergi dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas, sehingga membentuk ekosistem pelayanan kesehatan yang holistik dan berkelanjutan. Dengan adanya Apotek Desa, diharapkan kualitas hidup masyarakat desa meningkat, sekaligus memperkuat fondasi sistem kesehatan nasional yang inklusif dan merata.

Perlu Regulasi Komprehensif

Namun sampai saat ini, pemerintah belum secara resmi mengeluarkan konsep atau aturan teknis mengenai Apotek Desa. Karena itu, kita berharap pemerintah segera merumuskan regulasi secara komprehensif—mulai dari aspek legal, standar pelayanan, pembiayaan, hingga integrasi dengan layanan kesehatan primer seperti puskesmas. Dengan begitu, pemerataan layanan kefarmasian bisa lebih terjamin, dan kesehatan masyarakat desa semakin meningkat.

Karena belum adanya regulasi resmi yang mengatur implementasi Apotek Desa, wacana ini pun memunculkan berbagai interpretasi di tengah masyarakat. Sejumlah pihak, termasuk pelaku usaha di bidang kefarmasian, mulai berspekulasi tentang bentuk, skema operasional, hingga peran pihak-pihak yang terlibat. Ketidakjelasan ini tak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga berpotensi melahirkan asumsi dan ekspektasi yang menyimpang dari arah kebijakan yang sebenarnya.

Baca Juga:  Integritas Penyelia Halal sebagai Jaminan Konsistensi Kehalalan Produk

Selain spekulasi teknis, berkembang pula persepsi keliru bahwa apotek semata-mata adalah unit bisnis. Dalam konteks Apotek Desa, persepsi ini mengarah pada pemahaman bahwa keberadaan apotek bisa menjadi sumber pendapatan desa, tanpa memperhatikan aspek fundamental praktik kefarmasian.

Beberapa skema yang beredar pun menimbulkan kekhawatiran. Misalnya, dugaan akan diterapkannya model satu apotek inti dengan beberapa apotek plasma, serta kemungkinan bahwa Apotek Desa akan dijalankan hanya oleh tenaga teknis kefarmasian. Jika Apotek Desa tidak sepenuhnya dikelola oleh apoteker, maka pendekatan ini patut ditinjau ulang.

Menurut regulasi dan standar profesi, apotek adalah fasilitas pelayanan kesehatan tempat praktik kefarmasian dilakukan oleh apoteker. Kehadiran apoteker bukan sekadar administratif, tetapi merupakan komponen esensial dalam memastikan keamanan, ketepatan, dan rasionalitas penggunaan obat.

Jika keberadaan apoteker tidak bisa dijamin di setiap Apotek Desa, maka pemerintah sebaiknya mempertimbangkan layanan yang lebih realistis dan sesuai peraturan, seperti pendirian Toko Obat Desa yang bisa dikelola oleh tenaga teknis kefarmasian (dulu disebut asisten apoteker).

Model satu apoteker membawahi beberapa apotek secara administratif demi efisiensi juga perlu dikaji secara serius. Berdasarkan regulasi dan etika profesi, seorang apoteker hanya boleh bertanggung jawab penuh atas pelayanan farmasi di satu apotek dengan satu Surat Izin Apotek (SIA). Gagasan pembagian tanggung jawab ke beberapa titik layanan menimbulkan pertanyaan serius soal pengawasan mutu, akuntabilitas profesional, serta pemenuhan standar pelayanan kefarmasian.

Spekulasi bahwa Apotek Desa akan dijalankan sepenuhnya oleh tenaga teknis tanpa pendampingan apoteker juga bertentangan dengan kerangka hukum yang berlaku. Sesuai peraturan perundang-undangan, praktik pelayanan kefarmasian adalah kewenangan apoteker. Tenaga teknis hanya dapat bertugas di bawah pengawasan apoteker.

Baca Juga:  Membangun Ekosistem Halal dari Akar Rumput: Peran Masyarakat dalam Industri Halal Nasional

Apotek bukan sekadar tempat menjual obat. Ia adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh tenaga profesional, dengan standar etik, hukum, dan tanggung jawab yang diatur ketat oleh regulasi. Fungsi apotek mencakup edukasi penggunaan obat yang rasional, pemantauan efek samping, hingga pencegahan penyalahgunaan obat.

Jika Apotek Desa hanya diposisikan sebagai instrumen ekonomi, maka profesi telah direduksi menjadi perdagangan. Ini berisiko menurunkan mutu layanan kefarmasian, mengancam keselamatan pasien, dan mencederai integritas profesi apoteker. Lebih dari itu, situasi ini dapat membuka celah penyalahgunaan, pemalsuan obat, dan pelanggaran etika lainnya yang merugikan masyarakat desa.

Karena itu, dalam menyusun kebijakan Apotek Desa, penting untuk menegaskan kembali bahwa pelayanan profesional harus menjadi fondasi utama. Pendekatan ekonomi tetap dimungkinkan, tetapi tidak boleh mengabaikan standar profesi dan hak masyarakat atas pelayanan kesehatan yang bermutu.

Semua spekulasi ini menegaskan pentingnya pemerintah untuk segera mengeluarkan regulasi teknis yang jelas dan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi. Tanpa kejelasan, ruang spekulasi akan terus meluas, yang bukan hanya membingungkan publik, tetapi juga melemahkan fondasi profesionalisme dalam pelayanan kefarmasian.

Sambil menunggu regulasi resmi, diperlukan komunikasi terbuka dan koordinasi lintas sektor. Harapannya, wacana penguatan layanan kefarmasian di desa benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat—tanpa mengabaikan standar, etika profesi, dan hukum yang berlaku