Opini

Tobat Nasuha yang Sesungguhnya: Reshuffle Kabinet dan Tegas pada Perusak Lingkungan

90
×

Tobat Nasuha yang Sesungguhnya: Reshuffle Kabinet dan Tegas pada Perusak Lingkungan

Sebarkan artikel ini
Qosdus Sabil

Seruan tobat nasuha tak cukup berhenti sebagai imbauan moral. Negara harus menunjukkan pertobatan lewat aksi nyata: mengganti menteri yang tak cakap, menindak perusahaan nakal, dan hadir cepat dalam penanggulangan bencana.

Oleh Qosdus Sabil; Ketua Bidang Pengawasan Sumberdaya dan Lingkungan LPLH MUI, 2020-2025.

Tagar.co – Pernyataan Menko Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar yang menyerukan tobat nasuha di tengah suasana duka publik akibat bencana yang melanda sejumlah wilayah memunculkan pertanyaan yang layak diajukan: untuk siapa sebenarnya seruan itu ditujukan?

Ajakan moral tentu bukan sesuatu yang keliru. Namun penyampaiannya dalam konteks publik yang sedang kehilangan keluarga, rumah, dan masa depan terdengar kurang etis. Seruan pertobatan di hadapan korban seolah memindahkan beban kesalahan kepada mereka yang sedang menderita.

Baca juga: Komisi Etik Muhammadiyah: Saatnya Mengoreksi Diri Sendiri

Padahal, jika kata tobat ingin dimaknai sebagai refleksi kebijakan, maka ia seharusnya diarahkan kepada pemerintah, pembuat keputusan, dan pihak-pihak yang selama ini mengelola sumber daya alam dengan buruk.

Baca Juga:  Cahaya dari Senyum Abah

Tobat—jika memang serius—harus dilihat dalam tindakan. Pemerintah perlu mengisi kabinet dengan orang-orang yang tepat, bukan sekadar kompromi politik. Kita sudah terlalu sering melihat posisi strategis diberikan kepada mereka yang tidak memiliki kompetensi memadai.

Di sektor lingkungan, energi, dan tata ruang, kesalahan penunjukan pejabat sering berujung pada bencana—baik ekologis maupun sosial. Maka benarlah sebuah hadis Nabi yang menyatakan, “Jika sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”

Oleh karena itu, Presiden Prabowo perlu mengambil langkah korektif. Menteri-menteri yang tidak menunjukkan kapasitas, rekam jejak, atau komitmen terhadap kepentingan publik sudah selayaknya diganti.

Bukan semata demi stabilitas pemerintahan, tetapi untuk memastikan bahwa negara dijalankan oleh tangan-tangan yang paham akan tanggung jawabnya.

Selain itu, pemerintah perlu bertindak tegas terhadap perusahaan yang terbukti merusak lingkungan—baik pada sektor kehutanan, pertambangan, maupun ekspansi perkebunan sawit. Penegakan hukum yang setengah hati hanya akan memperpanjang daftar bencana yang seharusnya dapat dicegah.

Dalam situasi seperti ini, tugas utama pemerintah sudah jelas: fokus pada penanggulangan bencana secara cepat, terukur, dan efektif. Negara hadir bukan hanya untuk menyampaikan empati, tetapi memastikan warga yang terdampak memperoleh perlindungan dan kepastian masa depan.

Baca Juga:  Bencana dan Riba Politik: Jejak Panjang Kolonialisme

Jika tobat nasuha benar-benar dimaksudkan sebagai titik balik pengelolaan negara, maka kalimat itu harus dikonversi menjadi kebijakan. Dan kebijakan itu harus berpihak kepada rakyat, lingkungan hidup, dan kepentingan jangka panjang bangsa.

Tanpa itu semua, tobat hanya akan berhenti sebagai frasa politis yang mudah diucapkan—dan cepat dilupakan.

Masyarakat pada umumnya juga perlu segera bertobat—untuk tidak lagi memilih pemimpin dan wakil rakyat hanya karena selembar uang merah. Dosa kolektif masyarakat pada akhirnya akan menghasilkan pemimpin yang bodoh dan serakah. Akibatnya, kita semuanya akan menderita.

Ciputat, 13 Jumadilakhir 1447/3 Desember 2025

Penyunitng Mohammad Nurfatoni

Bencana merupakan hasil kombinasi kerusakan ekologis, kebijakan tata ruang yang longgar, dan praktik pemanfaatan lahan yang tidak sesuai prinsip mitigasi risiko.
Opini

Bencana merupakan hasil kombinasi kerusakan ekologis, kebijakan tata…