Cerpen

Seragam Putih yang Menyimpan Air Mata

162
×

Seragam Putih yang Menyimpan Air Mata

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Mohammad Nurfatoni/AI

Di balik seragam lusuh dan tas plastik jahit ulang, Rini menyimpan mimpi besar. Ia anak pemulung yang diejek teman-temannya, tapi dari karung dan keringat ibunya, ia belajar arti harga diri dan kekuatan hati.

Cerpen oleh Dwi Taufan Hidayat

Tagar.co – Pagi itu, udara di Desa Karangjati terasa dingin. Kabut masih menggantung rendah, menutupi atap rumah-rumah yang mulai berasap karena tungku kayu yang dinyalakan.

Di antara langkah-langkah kecil menuju sekolah dasar, ada satu anak perempuan yang berjalan paling belakang. Seragam putihnya tampak lusuh, tasnya hanya plastik besar yang dijahit ulang oleh ibunya, dan sepatu kanvasnya sudah kehilangan warna. Namanya Rini.

Baca juga: Seoul di Ujung Kaki Telanjang

Setiap langkahnya pelan, seperti menahan sesuatu yang berat di dada. Suara tawa teman-teman sekolahnya di depan terdengar riang, tapi baginya, suara itu justru seperti bayangan yang ingin dihindari.

Rini anak pemulung. Setiap sore, setelah pulang sekolah, ia dan ibunya berkeliling kampung menenteng karung bekas tepung, mengumpulkan botol plastik, kaleng, dan kertas kardus. Kadang, teman-temannya melihat dari kejauhan dan di situlah ejekan sering bermula.

“Ih, anak sampah!”

“Kalau dekat Rini nanti baju kita bau!”

“Makanya belajar yang rajin, biar gak kayak dia!”

Awalnya Rini hanya diam, pura-pura tidak dengar. Tapi lama-lama, kata-kata itu seperti duri kecil yang menancap dalam hatinya—duri yang tidak bisa dicabut, hanya bisa disembunyikan di balik senyum tipis.

Hari itu, di kelas 5A, Bu Sinta, guru kelas mereka, meminta setiap murid menceritakan cita-cita.

“Siapa yang mau duluan?” tanya Bu Sinta ceria.

Baca Juga:  Kerendahan Hati, Jalan Menuju Kemuliaan

Beberapa tangan langsung terangkat.

“Aku mau jadi dokter!”

“Aku mau jadi guru!”

“Aku mau jadi polisi!”

Giliran Rini, kelas tiba-tiba hening. Semua mata tertuju padanya.

“Ayo, Rini,” ujar Bu Sinta lembut. “Cita-citamu apa, Nak?”

Rini menunduk. Jemarinya memainkan ujung seragam yang sudah mulai robek.

“Saya… saya mau jadi guru, Bu,” jawabnya lirih.

Seketika beberapa teman tertawa kecil.

“Guru? Tapi kamu kan anak pemulung!”

“Guru itu harus bersih, harus wangi!”

Rini menggigit bibirnya. Ia tidak menangis—tidak di depan mereka. Tapi matanya basah. Ia menatap papan tulis kosong di depan, seolah di sanalah tempat semua impiannya bersembunyi.

#

Sepulang sekolah, Rini langsung melepas sepatu dan mengganti bajunya dengan daster lusuh. Ia memeluk karung putih yang digantung di belakang pintu, lalu bergegas keluar bersama ibunya.

“Rini, kamu gak usah ikut hari ini, capek ya dari sekolah,” kata ibunya.

“Gak apa-apa, Bu. Kalau saya gak bantu, nanti gak cukup buat beli beras.”

Mereka berjalan menyusuri gang, menunduk setiap kali menemukan botol kosong atau kertas bekas.

Di satu titik, Rini menemukan buku bergambar di tempat sampah dekat rumah mewah. Sampulnya masih bagus, hanya sedikit basah. Ia bersihkan dengan ujung bajunya, lalu tersenyum.

“Bu, ini buku tulisnya masih bisa dipakai,” ujarnya riang.

Ibunya mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Kamu memang anak kuat, Rini.”

##

Keesokan harinya, Rini kembali ke sekolah. Tapi suasananya berbeda. Saat ia masuk kelas, beberapa anak berbisik dan menutup hidung. Ada yang menaruh bungkus plastik di mejanya dengan tulisan:

“Hadiah buat anak pemulung.”

Baca Juga:  Doa Mustajab dalam Bepergian

Rini menatapnya lama. Dadanya sesak. Ia tidak tahu harus marah atau menangis. Akhirnya ia hanya duduk diam dan menatap keluar jendela. Langit tampak biru, tapi hatinya gelap.

Bu Sinta yang baru masuk kelas memperhatikan. Ia berjalan mendekat, melihat tulisan di meja Rini, lalu diam beberapa detik.

“Anak-anak,” katanya pelan tapi tegas, “kalian tahu siapa yang paling mulia di antara kita?”

Tak ada yang menjawab.

“Bukan yang bajunya paling bersih, bukan yang rumahnya paling besar. Tapi yang paling punya hati.”

Kelas sunyi. Bu Sinta lalu menatap Rini dengan senyum lembut.

“Rini, kamu hebat. Ibu tahu kamu bantu ibumu bekerja sepulang sekolah. Kamu tidak malu bekerja jujur, kan?”

Rini menggeleng. “Enggak, Bu. Ibu saya bilang, rezeki dari keringat sendiri itu yang paling halal.”

Bu Sinta menepuk pundaknya. “Ibu bangga padamu.”

###

Sejak hari itu, perlakuan teman-temannya perlahan berubah. Ada yang mulai menyapa, ada yang mulai duduk di sebelahnya. Tapi tidak semuanya. Masih ada beberapa yang tetap menjauh, yang belum tahu bagaimana rasanya hidup dalam keterbatasan.

Suatu siang, sekolah mengadakan lomba menulis dengan tema “Pahlawan dalam Hidupku.”

Rini menulis dengan sepenuh hati. Ia menulis tentang ibunya—perempuan yang tak pernah mengeluh meski tangannya luka karena terlalu sering mengikat karung, perempuan yang selalu tersenyum meski perutnya lapar. Ia menulis dengan air mata yang menetes di kertas, tapi juga dengan cinta yang dalam.

Sepekan kemudian, hasil lomba diumumkan.

“Juara pertama,” kata Bu Sinta sambil tersenyum, “Rini.”

Kelas terdiam. Rini memandang tak percaya.

Baca Juga:  Geng Solo dan Operasi Senyap

“Boleh kamu bacakan di depan kelas, Nak?”

Rini berdiri. Suaranya bergetar, tapi setiap kata terasa menembus hati. Dia berkiasah:

“Ibu saya tidak punya seragam bagus, tapi dia selalu tersenyum.
Ibu saya tidak bisa membaca, tapi dia mengajarkan arti sabar.

Ibu saya tidak punya banyak uang, tapi ia membuat saya merasa kaya dengan kasih sayangnya.

Saya ingin jadi guru agar bisa membuat anak-anak seperti saya percaya bahwa kemiskinan bukan aib, bahwa hati yang kuat lebih berharga dari sepatu baru.”

####

Ketika ia selesai membaca, ruang kelas hening. Beberapa anak menunduk, beberapa menangis—termasuk mereka yang dulu mengejeknya.

Sejak hari itu, Rini tak lagi berjalan sendirian ke sekolah. Satu demi satu teman mulai menemaninya. Kadang mereka bahkan ikut membantu mengumpulkan botol bekas sepulang sekolah. Mereka tertawa bersama tanpa ejekan.

Waktu berlalu. Rini tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Beasiswanya mengantarnya ke perguruan tinggi. Bertahun-tahun kemudian, ketika kembali ke desanya sebagai guru, anak-anak kecil menyambutnya dengan gembira. Ia berdiri di depan kelas, menatap wajah-wajah polos itu, dan berkata:

“Kalian tahu, dulu Ibu juga pernah duduk di bangku ini. Ibu juga pernah menangis karena diejek. Tapi Ibu belajar bahwa kita tidak ditentukan oleh apa yang kita pakai, melainkan oleh apa yang kita lakukan.”

Ia tersenyum, menatap papan tulis yang dulu jadi saksi air matanya.

“Dan hari ini,” katanya sambil menatap jauh keluar jendela, “Ibu sudah membuktikan, bahwa mimpi anak pemulung pun bisa sampai di depan kelas.” (#)

Penyunitng Mohammad Nurfatoni