Cerpen

Panitia yang Tak Pernah Berkurban

409
×

Panitia yang Tak Pernah Berkurban

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Selama bertahun-tahun dia sibuk memimpin panitia Iduladha. Tapi satu hal selalu dia hindari: menyembelih hewan kurbannya sendiri. Tahun ini, semuanya berubah.

Cerpen oleh Dwi Taufan Hidayat

Tagar.co – Langit pagi itu masih abu-abu. Udara menggigit meski mentari mulai mengintip malu di balik pepohonan. Masjid Jamik Al-Furqon sudah riuh, penuh suara panitia kurban yang lalu-lalang membawa pisau, tali, dan ember. Suara kambing mengembik dan sapi meringkik terdengar bercampur sorakan anak-anak yang antusias melihat hewan-hewan besar.

Aku, Suko Hartanto—atau yang di kampung lebih sering dipanggil Pak Suko Dealer—berdiri di tengah keramaian. Aku mengatur ini-itu, memberi aba-aba, menyapa yang datang, dan sesekali tersenyum lebar kalau ada kamera HP warga yang mengarah ke wajahku.

“Pak Suko, sapi dua dari Pak RT sudah datang,” seru Rino, salah satu panitia.

Aku mengangguk. “Bagus. Taruh di pojok, jangan campur sama kambing ya. Biar gampang motongnya nanti.”

Di atas panggung kecil, aku ambil mikrofon. Suaraku lantang, penuh semangat, berbicara tentang keutamaan kurban, semangat berbagi, dan pentingnya keikhlasan. Orang-orang bertepuk tangan, beberapa memuji sambutanku lewat status WhatsApp. Aku tersenyum bangga. Ini sudah tahun kelima aku jadi ketua panitia.

Baca Juga:  Sebelum Kata Terucap, Allah Sudah Tahu

Tapi… entah kenapa, setiap tahun aku selalu merasa ada yang belum tuntas dalam diriku.

Di balik semua semangat memimpin, aku tak pernah benar-benar menyumbang kurban.

Bukan karena tak mampu. Mobil Alphard yang kupakai ke masjid ini bukti jelas. Di rumah, ada tiga motor matic keluaran terbaru, bahkan bulan lalu aku baru DP satu ruko di tepi jalan raya. Tapi soal kurban? Ada semacam bisikan yang berkata, biar orang lain dulu, aku kan sudah cukup berkontribusi jadi panitia.

Aku berdiri di depan papan nama pemilik kurban: Pak Wahid, pegawai kelurahan, ikut satu kambing. Bu Marni, janda dua anak, ikut patungan sapi. Bahkan Mas Ical, tukang ojek online, ikut kambing kecil. Dadaku sesak sesaat.

Ketika aku sibuk mengatur pembagian daging, Rino datang membisik.
“Pak, anaknya Bu Marni nanya. Katanya Pak Suko kurban sapi apa kambing tahun ini?”

Aku tercekat. “Bilang saja panitia tidak boleh kurban di tempat yang sama. Sudah ada aturannya,” kataku pelan.

Rino mengangguk ragu. Aku tahu dia pasti mengerti maksudku—atau pura-pura tidak mengerti.

Baca Juga:  Hantom Manoe: Bayang-Bayang Dendam

Sore harinya, setelah lapangan kembali sepi, hanya sisa kertas plastik, tulang belulang, dan jejak darah mengering yang tersisa. Aku duduk sendirian di pelataran masjid.

Bu Marni mendekat, membawa dua bungkus plastik putih besar. Wajahnya berseri.
“Pak Suko, ini dapat bagian kurban tadi. Alhamdulillah, tahun ini bisa nambahin rendang buat anak-anak.”

Aku mengangguk pelan.

“Tapi, Pak…” lanjutnya dengan suara ragu, “maaf ya, saya kira panitianya juga kurban. Apalagi Pak Suko, kan orang yang selalu bantu kampung…”

Aku hanya tersenyum kaku. “Doakan saja tahun depan, Bu.”

Malam itu aku tak bisa tidur. Kalimat Bu Marni mengiang. Ingatanku melayang jauh, beberapa tahun silam. Saat aku dan sahabatku, Ragil, masih sama-sama berjuang. Saat Iduladha datang, Ragil bersikeras kurban kambing kecil, padahal usaha kami baru jalan. Aku menertawakannya.

“Ngapain, Gil? Duit mending buat nambah modal. Ngapain kurban kalau belum mapan?”
Ragil tersenyum. “Kurang mapan bukan berarti tak ingin dekat dengan Allah.”

Sejak itu, Ragil selalu kurban tiap tahun. Sementara aku? Aku makin kaya. Tapi di dalam hati, ada ruang yang semakin kosong dan dingin.

Baca Juga:  Hantom Manoe: Api di Medan Perang

Keesokan paginya, aku pergi sendiri ke pasar hewan. Langkahku berat, tapi aku terus berjalan. Aku tak mencari kambing terbesar, bukan juga yang termahal. Aku hanya ingin membeli kambing pertama dalam hidupku. Kambing yang harusnya kubeli sejak lama.

Penjualnya menatapku heran. “Pak Suko ya? Wah, baru kali ini beli kambing buat kurban?”

Aku hanya tersenyum kecil. Kubayar lunas, minta dikirim ke masjid.

Tahun itu, untuk pertama kalinya, namaku ada di papan nama kurban. Orang-orang menatapku aneh. Beberapa memuji, beberapa hanya tersenyum. Tapi yang paling menohok adalah saat seorang anak kecil menunjuk papan itu dan berkata, “Eh, Pak Suko akhirnya kurban!”

Aku menunduk. Rasanya seperti ditampar.

Aku menatap langit. Hari itu, aku tahu: Selama ini aku sibuk jadi panitia, sibuk jadi pembicara, sibuk jadi sorotan. Tapi lupa, bahwa yang dinilai Allah bukan siapa yang paling banyak bicara, tapi siapa yang paling ikhlas menyembelih egonya untuk-Nya.

Karena ternyata, membeli kambing bukan soal uang. Tapi soal iman. Dan soal rasa malu… yang akhirnya datang juga, setelah sekian lama. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Cerpen

Ketika dokter bicara prosedur, pengacara bicara aturan, dan…

Cerpen

Kupikir aku sudah sampai—gaji besar, jabatan prestisius, hidup…