
Wanita, meski memiliki sifat perasa yang lebih kuat, emosional dalam situasi tertentu, dan tidak sekuat laki-laki dalam hal nalar rasional, namun kepekaan dan kelembutannya adalah penjaga bagi keutuhan keluarga.
Tagar.co – Setiap rumah tangga adalah bahtera yang berlayar di tengah samudera kehidupan. Dalam pelayarannya, tak jarang gelombang cobaan, terpaan ego, serta angin perbedaan bisa mengguncang keseimbangannya. Namun Islam telah membekali kita dengan petunjuk yang sempurna agar bahtera ini tetap berlayar tenang dan selamat hingga ke dermaga akhir: ridha Allah Subhānahu wa Ta‘ālā.
Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya telah menggambarkan sebuah hakikat yang agung tentang penciptaan wanita. Dalam riwayat yang sahih, beliau bersabda:
«اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا»
“Berbuatlah baik kepada wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun jika engkau biarkan, maka ia akan tetap bengkok. Maka berbuatlah baik kepada wanita.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini bukan bermaksud merendahkan perempuan, melainkan menanamkan kepada laki-laki bahwa karakter fitrah wanita berbeda dan perlu dipahami dengan kelembutan. Wanita diciptakan bukan dari kepala untuk dijunjung tinggi melebihi laki-laki, bukan pula dari kaki untuk diinjak dan direndahkan, melainkan dari tulang rusuk—dekat dengan hati untuk dicintai, dan berada di bawah lengan untuk dilindungi.
Sikap kasar dan arogansi dari suami yang menuntut kesempurnaan total dari istrinya, justru bisa menjadi sebab retaknya mahligai rumah tangga. Karena ketika ia berusaha ‘meluruskan’ sifat-sifat yang telah menjadi bagian dari fitrah wanita dengan kekerasan atau paksaan, sesungguhnya ia sedang mematahkan. Maka Rasulullah memberi arahan: “Jika kamu membiarkannya (dalam artian memahaminya dengan bijak), maka dia akan tetap bengkok namun dapat menyempurnakan fungsinya.”
Tulang rusuk memang bengkok, namun memiliki peran besar: melindungi jantung dan paru-paru. Demikian pula wanita, meski memiliki sifat perasa yang lebih kuat, emosional dalam situasi tertentu, dan tidak sekuat laki-laki dalam hal nalar rasional, namun kepekaan dan kelembutannya adalah penjaga bagi keutuhan keluarga. Ia pelipur lelah, penjaga anak-anak, dan ladang cinta di rumah tangga.
Allah Subhānahu wa Ta‘ālā berfirman:
﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً﴾
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rūm: 21)
Sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta yang membara), dan rahmah (kasih sayang) tak lahir dari sikap dominan sepihak. Tapi dari saling memahami, menghargai, dan melengkapi. Bagi seorang suami, memahami bahwa istrinya tak harus menjadi ‘sempurna’ seperti bayangannya adalah kunci mencintai dengan jernih.
Sebaliknya, wanita pun mesti menyadari bahwa rumah tangga bukan hanya tempat menuntut, melainkan medan pengorbanan. Seorang istri yang cerdas akan menggunakan kelenturan fitrahnya untuk meredam amarah, menyemai kehangatan, dan menyulam keharmonisan. Ketika ia menahan diri dari kata-kata menyakitkan, ketika ia menguatkan suami dengan doanya dalam diam, maka di situlah keagungan akhlak bermula.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ»
“Apabila seorang wanita melaksanakan salat lima waktunya, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.'” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Betapa mulia posisi istri dalam Islam. Namun kemuliaan itu tak jatuh begitu saja—ia harus diraih dengan kesabaran dan ketaatan. Begitu pula seorang suami: semakin ia memahami fitrah pasangannya, semakin dekat ia kepada akhlak Nabi.
Kita hidup dalam zaman yang menuntut persamaan dalam segala hal. Namun Islam tak menyeragamkan, melainkan mengharmonikan perbedaan. Lelaki dan perempuan bukan untuk saling mengalahkan, tetapi saling melengkapi. Seorang suami tak harus ‘meluruskan’ sang istri agar seperti dirinya. Justru ia harus mencintainya dalam kebengkokannya. Dan seorang istri, dalam kebengkokannya itu, tetap menjaga integritas dan kesetiaannya.
Semoga setiap rumah tangga senantiasa menjadi tempat tumbuhnya cinta yang tidak buta, kesetiaan yang tidak mengekang, dan pengertian yang tidak habis oleh waktu. Sebab cinta yang dibangun atas dasar keimanan dan pemahaman itulah yang tak akan runtuh oleh badai apa pun.
وَٱللَّهُ أَعْلَمُ
Jurnalis Dwi Taufan Hidayat. Penyunting Ichwan Arif.