Opini

Menjaga Rantai Halal: Potensi Kontaminasi Silang di Penggilingan Daging

620
×

Menjaga Rantai Halal: Potensi Kontaminasi Silang di Penggilingan Daging

Sebarkan artikel ini
Penggilingan daging (Foto freepik.com premium)

Kontaminasi silang di penggilingan daging bisa membatalkan kehalalan produk. Artikel ini mengupas titik kritis, tantangan sertifikasi, dan pentingnya sistem penggilingan yang terintegrasi dan bersertifikat halal.

Oleh: Abdul Rahem, Dosen Fakultas Farmasi dan Ketua Pusat Halal Universitas Airlangga

Tagar.co – Potensi ditemukannya pentol bakso yang positif mengandung DNA babi sangat besar, dan hal ini dapat terjadi pula pada produk lain, terutama yang berbasis daging giling. Meskipun tidak ditemukan unsur babi secara fisik, uji laboratorium dapat menunjukkan adanya jejak DNA babi. Dugaan kuat mengarah pada terjadinya kontaminasi silang di tahap penggilingan daging.

Penggilingan daging merupakan salah satu titik kritis dalam rantai produksi yang kerap luput dari perhatian. Dalam banyak kasus, alat penggilingan digunakan bergantian untuk menggiling berbagai jenis daging tanpa prosedur pembersihan yang memadai.

Jika sebelumnya alat tersebut digunakan untuk menggiling daging babi, lalu digunakan kembali untuk menggiling daging sapi tanpa sterilisasi dan penyucian menyeluruh, maka sisa-sisa mikro dari daging babi berpotensi mencemari produk berikutnya.

Baca juga: Remaja Putri dan Kosmetik Halal: Antara Tren dan Tanggung Jawab Syariat

Dampak dari kontaminasi silang ini sangat serius, khususnya dalam konteks konsumsi masyarakat Muslim yang menjadikan kehalalan sebagai prinsip utama. Ini bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap pelaku usaha makanan, khususnya produsen bakso yang selama ini menjadi salah satu produk olahan daging paling populer di Indonesia.

Oleh karena itu, agar kasus seperti ini tidak terjadi, diperlukan pengawasan ketat terhadap tempat penggilingan daging, terutama yang melayani berbagai jenis pelanggan dengan ragam daging. Penggilingan yang tidak memiliki sistem pemisahan jelas serta tidak memenuhi standar higienitas dan prosedur halal dapat menjadi sumber risiko besar.

Penting pula adanya edukasi dan regulasi yang mendorong pelaku usaha bakso untuk memastikan bahwa daging yang digunakan digiling di tempat yang telah bersertifikat halal atau memiliki jaminan bebas kontaminasi silang. Dengan demikian, keamanan dan kehalalan produk dapat lebih terjaga.

Baca Juga:  Unair Raih Predikat Zona KHAS, Perkuat Citra Kampus Halal Nasional

Tanggung Jawab Komisi Fatwa MUI dalam Menetapkan Kehalalan Produk

Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa, memegang amanah besar sebagai institusi berwenang dalam menetapkan kehalalan produk di Indonesia. Penetapan halal bukan sekadar keputusan administratif atau teknis, melainkan tanggung jawab luhur kepada masyarakat, dan yang lebih utama, kepada Allah Swt.

Setiap keputusan fatwa halal membawa beban moral dan spiritual yang besar. Produk yang dinyatakan halal akan dikonsumsi oleh jutaan umat Islam yang menggantungkan keyakinan pada lembaga ini. Maka, setiap keputusan harus berdasarkan kajian mendalam, prinsip syariah yang kuat, dan kehati-hatian tinggi agar tidak membuka celah sedikit pun terhadap unsur haram atau syubhat.

Kehalalan bukan sekadar label, tetapi jaminan kepatuhan terhadap hukum Allah dalam setiap tahap, mulai dari bahan baku, proses produksi, alat, distribusi, hingga penyajian akhir. Konsistensi menjaga standar kehalalan merupakan bentuk integritas dan komitmen Komisi Fatwa terhadap amanah umat.

Komisi Fatwa MUI menyadari bahwa satu keputusan keliru dapat berdampak besar: tidak hanya terhadap kepercayaan publik, tetapi juga terhadap ibadah umat Islam yang berkaitan langsung dengan konsumsi. Oleh sebab itu, setiap produk yang diberi status halal telah melalui proses verifikasi dan sidang fatwa yang menjunjung kehati-hatian (ihtiyath), transparansi, dan tanggung jawab penuh.

Dalam era industri dan perdagangan yang kompleks saat ini, tanggung jawab Komisi Fatwa semakin besar. Namun, komitmen menjaga kehalalan produk secara konsisten dan berkelanjutan merupakan bentuk khidmat kepada umat dan ketakwaan kepada Allah.

Syarat Sertifikasi Halal untuk Penggilingan Daging

Dalam proses sertifikasi halal, setiap titik dalam rantai produksi daging harus diperhatikan serius. Salah satu titik krusial namun sering terabaikan adalah penggilingan daging. Penggilingan bukan sekadar proses teknis, tetapi berperan penting dalam menjamin kehalalan produk daging olahan yang akan dikonsumsi masyarakat.

Komisi Fatwa MUI menetapkan beberapa syarat utama untuk sertifikasi halal usaha penggilingan daging, di antaranya: jaminan bahwa daging yang digiling hanya berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) bersertifikat halal. Ini memastikan daging berasal dari hewan yang disembelih sesuai syariat Islam dan telah diawasi serta terverifikasi.

Baca Juga:  Dosen Muda Unair Raih Rekor Muri dengan 68 Publikasi Scopus selama Studi Doktoral di Belanda

Namun, jaminan asal daging saja belum cukup. Syarat penting lainnya adalah kebersihan, khususnya dalam konteks kehalalan. Komisi Fatwa MUI mensyaratkan bahwa alat penggilingan, tempat, dan seluruh proses harus bebas dari najis, terutama najis mughallazhah (najis berat) seperti najis dari babi dan anjing. Kontaminasi dari jenis najis ini membatalkan kehalalan produk, sekalipun daging berasal dari sumber halal.

Setiap pemilik usaha penggilingan harus menerapkan prosedur pembersihan (thaharah) sesuai kaidah fikih jika alat pernah digunakan untuk menggiling daging nonhalal, terutama yang mengandung najis mughallazhah. Tanpa pemenuhan aspek ini, sertifikasi halal tidak dapat diberikan karena tidak terpenuhi standar syariah secara menyeluruh. Oleh karena itu, sejak awal penggilingan perlu selektif terhadap daging yang akan digiling.

Tantangan Sertifikasi Halal pada Penggilingan Daging

Sertifikasi halal bukan hanya soal standar teknis, tetapi juga soal menjaga amanah dan memastikan rantai pasok halal tetap utuh dari hulu ke hilir. Salah satu titik krusialnya adalah penggilingan daging.

Mendapatkan sertifikasi halal untuk penggilingan daging bukan hal mudah. Komisi Fatwa mewajibkan jaminan bahwa seluruh daging yang digiling berasal dari RPH bersertifikat halal. Secara prinsip, aturan ini sangat tepat, tetapi dalam praktiknya, pelaku usaha menghadapi kendala besar.

Sebagian besar pengusaha penggilingan daging tidak memiliki mekanisme memadai untuk memverifikasi asal-usul daging yang dibawa pelanggan. Sertifikat atau label sering kali tidak menyertai potongan daging yang dibawa individu atau pedagang kecil. Di sisi lain, menolak pelanggan tanpa bukti otentik bisa menimbulkan konflik sosial dan kerugian ekonomi.

Dilema ini menimbulkan ruang abu-abu. Pemilik penggilingan berada di antara tuntutan kepatuhan terhadap standar halal dan keterbatasan verifikasi di lapangan. Tanpa sistem pendukung, seperti pelacakan digital, edukasi pelanggan, atau regulasi verifikasi, proses sertifikasi akan tetap menjadi tantangan.

Diperlukan sinergi antara pemerintah, otoritas halal, dan pelaku usaha untuk menciptakan solusi aplikatif. Sertifikasi halal seharusnya menjadi sistem yang membantu pelaku usaha menjaga amanah, bukan sekadar beban administratif.

Baca Juga:  Think Health, Think Pharmacist: Saat Kesehatan Dimulai dari Apoteker

Pentingnya Penggilingan Daging di RPH Bersertifikat Halal

Dalam menjamin kehalalan produk daging di masyarakat, keberadaan RPH bersertifikat halal adalah fondasi utama. Namun, untuk menjaga integritas halal hingga ke tangan konsumen, fasilitas penggilingan daging di dalam RPH sangat penting dan seharusnya menjadi standar.

Penggilingan daging adalah titik rawan kontaminasi silang. Menyediakan penggilingan terintegrasi dalam RPH halal memungkinkan seluruh proses—pemotongan hingga pengolahan—berada dalam satu sistem kehalalan yang terjamin.

Dengan penggilingan di RPH halal, produsen tidak perlu mengirim daging ke tempat lain yang belum tentu bersertifikat halal. Ini memperkuat sistem jaminan produk halal nasional, memperpendek rantai distribusi, dan meningkatkan efisiensi.

Sudah saatnya RPH halal menjadi pusat pengolahan daging halal yang modern, higienis, dan terintegrasi penuh. Ini langkah strategis menuju kemandirian industri halal nasional yang kuat dan terpercaya.

Pentingnya Integrasi Penjual Daging Halal dengan Penggilingan Terkendali

Dalam menjaga kehalalan daging olahan, setiap titik distribusi dan produksi harus bebas dari risiko kontaminasi silang, terutama pada penggilingan. Potensi pencampuran sering terjadi jika penggilingan menerima daging dari berbagai sumber tanpa seleksi ketat.

Karena itu, sangat disarankan—bahkan idealnya menjadi standar—agar penjual daging dari RPH halal memiliki kemitraan dengan penggilingan yang hanya melayani mereka. Sistem ini dapat menghilangkan risiko kontaminasi silang.

Dengan pendekatan ini, kejelasan asal-usul daging terjaga, dan penggilingan tidak dibebani tanggung jawab verifikasi pelanggan individu. Mereka hanya melayani mitra yang sudah jelas kehalalannya.

Model integrasi ini memperkuat rantai halal, menumbuhkan kepercayaan publik, dan menjadi bagian penting dari sistem jaminan produk halal nasional. Ini bukan sekadar label, melainkan praktik yang konsisten, transparan, dan bertanggung jawab.

Saatnya industri daging halal di Indonesia melangkah ke sistem yang tertata, terintegrasi, dan berorientasi pada perlindungan konsumen. Kemitraan antara penjual daging dari RPH halal dan penggilingan eksklusif adalah bentuk nyata dari komitmen tersebut. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni