Opini

Memerdekakan Potensi: Pelajaran dari Kisah Dewi Agustiningsih si Doktor Tercepat

381
×

Memerdekakan Potensi: Pelajaran dari Kisah Dewi Agustiningsih si Doktor Tercepat

Sebarkan artikel ini
Dewi Agustiningsih (Dok UGM)

Kisah Dewi Agustiningsih menunjukkan bahwa potensi anak bangsa butuh ruang untuk tumbuh. Saatnya membangun sistem pendidikan yang benar-benar memerdekakan potensi, bukan membelenggunya.

Oleh Ulul Albab; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jawa Timur, akademisi Unitomo.

Tagar.co – Dewi Agustiningsih baru berusia 26 tahun ketika dinobatkan sebagai lulusan doktor tercepat dan termuda Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menamatkan studi doktoralnya dalam waktu hanya 2 tahun 6 bulan 13 hari, jauh lebih cepat dibandingkan rata-rata masa studi doktoral UGM, yakni 4 tahun 7 bulan. Kini, ia telah resmi menjadi dosen Program Studi Kimia di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Prestasi Dewi tidak hanya mengesankan dari sisi akademik. Yang membuatnya layak diapresiasi lebih dalam adalah latar belakang kehidupannya. Dewi berasal dari keluarga sederhana dan mengawali kuliahnya di UGM pada tahun 2016 berkat bantuan beasiswa Bidikmisi. Uang saku Rp600.000 per bulan ia kelola untuk hidup, belajar, dan tetap berprestasi.

Setelah lulus sarjana pada 2020, Dewi melanjutkan studi S2 dan S3 sekaligus melalui program PMDSU (Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul), sebuah program percepatan bagi sarjana terbaik di Indonesia.

Baca Juga:  Haji dan Kesadaran Kolektif: Membangun Umat yang Satu

Baca juga: FOMO Emas: Kilau Investasi atau Jebakan Psikologis?

Disertasi doktoralnya membahas sintesis dan pengembangan material katalis berbasis anorganik, khususnya untuk aplikasi reaksi organik seperti cross-coupling. Ia mengembangkan modifikasi material silika dan titania dengan senyawa organosilan dan logam transisi, dengan tujuan menghasilkan katalis heterogen yang lebih aktif, stabil, serta ramah lingkungan.

Kini, sebagai dosen, Dewi terus mengembangkan riset di bidang kimia material dan berencana memperluas kolaborasi lintas disiplin, termasuk dengan bidang teknik lingkungan dan farmasi. Ia ingin menghadirkan sains yang tidak hanya tinggi di menara gading, tetapi juga nyata memberi manfaat bagi masyarakat dan industri.

Dalam sebuah wawancara, Dewi mengatakan, “Motivasi saya sederhana: saya ingin membuktikan bahwa latar belakang ekonomi tidak membatasi impian seseorang.”

Membangun Harapan, Merawat Potensi

Kisah Dewi adalah pengingat bahwa potensi anak bangsa tidak pernah kekurangan; yang sering kurang adalah akses, kesempatan, dan sistem pendukung yang tepat. Dewi adalah contoh nyata dari apa yang bisa terjadi ketika talenta diberi ruang untuk tumbuh. Ketika beasiswa diarahkan kepada mereka yang sungguh-sungguh ingin belajar, bukan sekadar mengejar gelar, maka lahirlah Dewi—dan dewi-dewi potensial lainnya.

Baca Juga:  Mudik Lebaran, Bolehkah Membatalkan Puasa?

Indonesia tidak kekurangan orang cerdas. Namun, kita sering kali lalai merawat mereka. Jika satu Dewi mampu menciptakan harapan sebesar ini, kita perlu melahirkan seribu Dewi lain dari pelosok negeri, dari keluarga biasa, dengan mimpi yang luar biasa.

Menuju Indonesia Emas 2045, kita tidak hanya membutuhkan teknologi dan ekonomi yang kuat. Kita juga memerlukan manusia unggul yang tidak menyerah pada keadaan.

ICMI percaya, kisah seperti Dewi harus terus digaungkan. Karena inspirasi adalah bahan bakar utama bagi bangsa yang ingin besar—tanpa perlu meninggikan suara, berteriak, marah, apalagi dengan huru-hara.

Refleksi untuk Semua: Dari Generasi ke Kebijakan

Kisah Dewi seharusnya tidak berhenti sebagai inspirasi semata, tetapi juga menjadi refleksi kolektif.

Bagi generasi Z, Dewi menyampaikan pesan kuat: bahwa kecepatan bukan hanya milik dunia digital, melainkan juga milik mereka yang memiliki fokus, tekad, dan keberanian untuk melampaui batasan sistemik.

Bagi para orang tua, Dewi mengajarkan bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang mutlak, selama anak-anak diberi dukungan moral dan ruang untuk bertumbuh. Anak-anak dari keluarga biasa, bahkan tanpa privilege apa pun, bisa mencapai puncak—asal ada kepercayaan diri dan kepercayaan dari orang tua.

Baca Juga:  Emas Fisik Vs Emas Digital: Investasi Masa Kini, Pilihan Bijak atau Tren Sesaat?

Bagi para pengambil kebijakan, kisah ini menjadi alarm penting untuk meninjau ulang sistem pendidikan yang selama ini terlalu formalistik dan kaku berjenjang—sistem yang mengukur kualitas dari durasi, bukan dari kapabilitas dan kesiapan individu. Padahal, bakat besar sering kali tidak bisa menunggu jadwal sistem.

Sudah saatnya kita memberikan akses dan ruang lebih luas untuk percepatan individual, bukan hanya bagi anak-anak supercerdas, tetapi juga bagi mereka yang memiliki kecepatan belajar, semangat besar, dan rekam jejak kerja keras.

Dewi membuktikan bahwa, jika diberi jalan, generasi muda Indonesia bisa melaju lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih bermakna.

Yang kita butuhkan bukan hanya sistem yang mengatur, melainkan sistem yang memerdekakan potensi. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni