Opini

Membongkar Miskonsepsi PJOK: Dari Lapangan Fisik ke Pendidikan Holistik

397
×

Membongkar Miskonsepsi PJOK: Dari Lapangan Fisik ke Pendidikan Holistik

Sebarkan artikel ini

Ketika PJOK direduksi menjadi sekadar pelajaran fisik, pendidikan kehilangan makna sejatinya. Saatnya mengembalikan PJOK ke jalur pendidikan yang holistik.

Oleh Angga Adi Prasetya, M.Pd.; Guru PJOK; Waka Sarana dan Prasarana SD Muhammadiyah 1 Kota Malang

Tagar.co – Coba tanyakan pada murid atau orang tua, apa itu PJOK? Hampir pasti jawabannya: “pelajaran olahraga biar anak sehat.” Jawaban ini memang benar, tetapi terlalu sederhana.

Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) jauh melampaui sekadar aktivitas fisik. Ia adalah ruang pendidikan yang seharusnya inklusif, membangun karakter, dan menumbuhkan rasa empati.

Setiap orang tentu sepakat bahwa pendidikan adalah pilar utama pembangunan bangsa. Melalui pendidikan, sebuah negara membentuk manusia yang berkualitas, cerdas, berakhlak, dan mandiri. Karena itu, pendidikan selalu menjadi ruang evaluasi yang tak pernah berhenti agar benar-benar mampu mengembangkan potensi sumber daya manusia seutuhnya.

Baca juga: Siswa Mager, Kegagalan Pelajaran PJOK

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar yang aktif. Murid tidak hanya diajak menguasai ilmu, tetapi juga diarahkan untuk mengembangkan spiritualitas, kepribadian, kecerdasan, hingga keterampilan hidup yang berguna bagi dirinya maupun masyarakat.

Secara sederhana, pendidikan dapat dipahami sebagai proses pembelajaran yang mengubah perilaku, sikap, dan etika seseorang menuju kemandirian. Pengajaran yang baik akan melahirkan keterampilan lengkap: mulai dari afektif (sikap dan nilai), psikomotorik (gerak tubuh), hingga kognitif (pengetahuan).

Namun, di antara sekian banyak mata pelajaran di sekolah, ada satu bidang yang masih kerap dipersepsikan secara sempit: Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK).

PJOK: Lebih dari Sekadar Bugar dan Berkeringat

Mayoritas orang memandang PJOK sebatas olahraga agar anak sehat dan bugar. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, tetapi jelas tidak utuh. PJOK bukan sekadar membuat murid berkeringat di lapangan. Ia adalah mata pelajaran strategis yang berperan besar dalam pembentukan karakter, pembiasaan hidup sehat, hingga pengembangan keterampilan motorik.

Baca Juga:  Santri di Era Digital: Antara Kitab, Kamera, dan Cahaya Dakwah

Melalui PJOK, murid belajar disiplin, kerja sama, sportivitas, dan kemampuan sosial—nilai-nilai yang sama pentingnya dengan kebugaran fisik. Sayangnya, kenyataan di sekolah menunjukkan bahwa makna PJOK sering kali direduksi.

Dengan jam pelajaran yang hanya sekali dalam sepekan, mustahil bila tujuan PJOK hanya ditekankan pada kebugaran jasmani. Jika orientasi mulianya dipersempit sebatas “fisik yang kuat”, maka misi pendidikan jasmani akan selalu gagal tercapai, baik secara ilmiah maupun praktis.

Masalah Pertama: PJOK yang Ditafsirkan Sembarangan

Salah satu akar persoalan adalah pemaknaan istilah PJOK yang sering ditafsirkan secara serampangan. Banyak yang beranggapan PJOK hanya identik dengan tubuh, otot, dan stamina. Tidak sedikit guru pun akhirnya terjebak pada pola pengajaran yang semata menekankan aspek teknis.

Ambil contoh pembelajaran renang gaya bebas. Penilaian sering difokuskan pada teknik pernapasan, gerakan kaki, tangan, hingga posisi tubuh. Indikator teknis ini memang penting, tetapi bila pembelajaran hanya berhenti pada soal teknik, maka PJOK lebih mirip pelatihan atlet ketimbang pendidikan untuk semua.

Padahal, hakikat pendidikan adalah membentuk manusia secara menyeluruh, bukan melatih sekelompok orang agar unggul dalam keterampilan tertentu saja.

Masalah Kedua: Tumpang Tindih antara Olahraga dan Pendidikan Jasmani

Persoalan berikutnya adalah kebingungan antara olahraga dan pendidikan jasmani. Banyak masyarakat yang menyebut guru PJOK sebagai “guru olahraga.” Sekilas terdengar wajar, tetapi jika ditelaah lebih dalam, anggapan ini menyesatkan.

Olahraga, dalam arti luas, memang aktivitas fisik yang menyehatkan, menyenangkan, dan bisa berujung pada prestasi. Namun, dalam olahraga prestasi, tujuan utamanya adalah kemenangan. Atlet dilatih untuk juara, bukan semata untuk belajar nilai moral atau membangun karakter.

Sebaliknya, pendidikan jasmani adalah bagian integral dari kurikulum sekolah yang bertujuan mengembangkan aspek jasmani, mental, sosial, dan emosional peserta didik. Jadi, ketika PJOK direduksi sebatas olahraga prestasi, orientasi pendidikannya menjadi kabur.

Baca Juga:  Euforia Olahraga: Sehat tanpa Harus Menyiksa Diri

Akibatnya, tidak sedikit guru PJOK merasa tertekan dengan tuntutan menghasilkan atlet berprestasi. Seorang guru PJOK baru dianggap berhasil bila muridnya juara lomba. Paradigma ini tentu keliru. Tugas utama guru PJOK adalah mendidik semua murid—bukan hanya membina mereka yang berbakat juara.

Masalah Ketiga: Eksklusivitas dalam Pembelajaran PJOK

Masalah lain yang muncul adalah praktik eksklusivitas. Di lapangan, sering kali pembelajaran PJOK hanya memberi ruang lebih bagi murid dengan kemampuan fisik kuat, sementara yang memiliki keterbatasan justru tersisih.

Bandingkan dengan pelatihan olahraga di klub. Di klub, peserta biasanya dikelompokkan sesuai kemampuan fisik dan keterampilan. Sementara di sekolah, murid belajar bersama dalam satu kelas yang heterogen. Namun, ketika pola klub ini dibawa ke sekolah, muncullah diskriminasi. Anak-anak dengan disabilitas atau obesitas kerap dipandang lemah, bahkan dijadikan bahan ejekan.

Fenomena ini menimbulkan persoalan serius. Pertama, murid yang tidak sesuai dengan “standar tubuh ideal” kehilangan kepercayaan diri. Kedua, praktik semacam ini membuka ruang bagi perundungan (bullying). Data WHO menyebut, satu dari tiga murid di dunia pernah mengalami perundungan. Di Indonesia, laporan KPAI juga menegaskan bahwa kasus perundungan di sekolah meningkat setiap tahun.

Dengan kata lain, eksklusivitas dalam PJOK tidak hanya bertentangan dengan nilai pendidikan, tetapi juga melahirkan masalah sosial baru: diskriminasi dan kekerasan.

Mengembalikan PJOK ke Jalurnya

Dari berbagai persoalan di atas, jelas bahwa miskonsepsi PJOK harus segera diluruskan. PJOK bukanlah sekadar aktivitas olahraga, bukan pula sarana untuk melahirkan juara. Ia adalah ruang pendidikan yang menyatukan aspek fisik, mental, sosial, dan moral.

Guru PJOK punya tanggung jawab besar untuk mengubah paradigma ini. Pembelajaran harus diarahkan agar inklusif, memberi kesempatan kepada semua murid tanpa kecuali. Anak berbakat harus diberi ruang berkembang, tetapi anak dengan keterbatasan pun berhak mendapat pengalaman positif.

Baca Juga:  Pemimpin Sekolah di Tengah Pusaran Kompleksitas

PJOK yang ideal adalah pembelajaran yang membuat semua murid merasa dihargai. Lapangan sekolah seharusnya bukan arena persaingan yang menyingkirkan yang lemah, melainkan ruang aman untuk tumbuh bersama.

PJOK, Karakter, dan Masa Depan Bangsa

Kita harus kembali mengingat bahwa pendidikan tidak hanya berorientasi pada pengetahuan akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter. Dalam konteks ini, PJOK memiliki peran vital.

Melalui PJOK, murid belajar arti sportivitas, kejujuran, kerja sama, empati, dan disiplin. Nilai-nilai ini adalah fondasi karakter bangsa. Dengan demikian, jika PJOK dikelola dengan benar, ia akan menjadi kunci melahirkan generasi sehat, kuat, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan zaman.

Kesimpulan: Membongkar Miskonsepsi PJOK

Hari ini kita harus jujur mengakui bahwa masih ada miskonsepsi besar tentang PJOK. Banyak yang menganggapnya hanya sebatas olahraga fisik, soal stamina, atau sekadar “jam olahraga.” Padahal, tujuan PJOK jauh lebih kompleks: mengembangkan keterampilan motorik, membangun kecerdasan sosial, menanamkan nilai moral, serta membentuk pola hidup sehat.

Kesalahan memahami PJOK telah menimbulkan banyak masalah: dari eksklusivitas pembelajaran, tekanan prestasi bagi guru, hingga diskriminasi di lapangan sekolah. Sudah saatnya paradigma ini diubah.

PJOK harus dipandang sebagai pendidikan yang inklusif, humanis, dan berorientasi pada perkembangan holistik peserta didik. Guru PJOK perlu menjadi agen perubahan, memastikan bahwa setiap anak—apa pun kondisi fisiknya—berhak tumbuh dan berkembang melalui olahraga yang mendidik.

Jika hal ini terwujud, maka PJOK tidak lagi identik hanya dengan keringat dan stamina. Ia akan tampil sebagai pelajaran yang membentuk generasi sehat, berkarakter, dan berdaya saing. Sebuah fondasi penting bagi masa depan bangsa Indonesia. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni