
Andra sudah damai dalam sepi—hingga suatu sore, masa lalunya datang lagi… tepat saat kopinya mendadak mengepul sendiri.
Cerpen oleh Dwi Taufan Hidayat
Tagar.co – Sejak Rani pergi, Andra tinggal bersama sunyi yang ia pilih sendiri. Banyak yang mengira ia kesepian, padahal di balik kesendirian itu ia justru menemukan sesuatu yang dulu hilang: ketenangan yang sederhana tapi utuh.
Tak ada lagi suara meninggi karena hal remeh, tak ada tatapan sinis yang membuat dadanya terasa sempit. Ia belajar bahwa diam kadang menjadi doa yang menenangkan.
Setiap pagi, aroma kopi robusta memenuhi ruang tamu yang sederhana. Di teras, ia duduk menghadap kabut yang turun dari bukit. Di balik hening itu, ia merasakan pelukan dunia yang lembut, seolah semesta menyuruhnya bernapas lebih pelan. Tak ada suara keras, tak ada pintu dibanting. Hanya desir angin yang menyapa, membisikkan seakan: “Akhirnya kau bebas.”
Baca juga: Di Balik Jas Putih Dokter
Dulu, rumah bukanlah tempat pulang, melainkan ladang kata-kata yang saling melukai. Rani, perempuan yang dulu dicintainya, punya cara bicara yang indah untuk orang lain, tetapi menjadi pisau untuk suaminya sendiri.
“Kamu ini lelaki nggak berguna,” ucapnya suatu malam saat Andra menaruh uang lembur di meja makan. Padahal, tangan itu sudah lelah seharian di bengkel.
Andra diam, menatap piring yang bergetar oleh nada suara istrinya. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu setiap kata hanya akan menjadi peluru baru untuk disalahkan.
Hari-hari mereka berputar seperti roda yang kehilangan poros. Di awal pernikahan, Rani lembut, penuh mimpi. Namun ketika usahanya berkembang, tutur katanya ikut mengeras. Ia menjadi ambisius, sibuk, dan semakin sering memandang rendah Andra yang hidup sederhana. Barangkali cinta mereka tidak mati—hanya kehabisan tempat untuk tumbuh.
Malam itu, setelah pertengkaran karena piring yang salah tempat, Rani berkata dengan dingin, “Kalau kamu nggak bisa berubah, pergi saja. Rumah ini bukan tempatmu.”
Andra tak menjawab. Ia menatap perempuan yang dulu ia kejar dengan segala keberanian masa muda. Lalu ia melangkah pergi tanpa menoleh.
Di halaman, suara sandal Rani menggemeretak, disusul keheningan panjang yang terasa seperti garis penutup di akhir cerita.
Kini, di rumah peninggalan orang tuanya di pinggir kota, Andra menjalani hidup yang lebih sederhana dan jujur. Ia menanam sayur, memperbaiki pagar, membantu tetangga mengganti genting. Ada rasa ringan setiap kali matahari sore jatuh di wajahnya. Kadang ia menulis di buku catatan kecil di atas meja kayu:
Cinta tanpa penghargaan adalah penjara tanpa jeruji.
Itu kalimat pertama yang lahir dari tangannya setelah berbulan-bulan belajar tenang.
Suatu sore, hampir setahun kemudian, suara mesin mobil memecah hening halaman. Sebuah mobil putih berhenti di depan pagar. Dari dalam, keluar sosok yang pernah menjadi pusat hidupnya.
Rani.
Tubuhnya tampak lebih kurus, wajahnya lelah, dan sorot matanya tidak lagi setajam dulu. Ia berdiri di depan pagar, suaranya pelan, nyaris tak terdengar.
“Andra… boleh aku masuk?”
Andra tak langsung menjawab. Pandangannya tajam namun tenang. “Masuklah, Ran.”
Di teras mereka duduk. Angin sore berhembus membawa aroma tanah basah. Rani menunduk lama sebelum akhirnya berkata, “Aku datang bukan untuk menuntut apa-apa. Aku cuma… ingin minta maaf. Aku terlalu keras. Aku pikir aku hebat, tapi ternyata kosong tanpa kamu.”
Andra menatap jauh ke arah bukit, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Orang yang saling mencintai pun bisa saling melukai, Ran. Kadang tanpa sadar.”
“Aku menyesal, Andra,” suara Rani bergetar. “Aku sekarang sendirian.”
“Sendiri itu tidak selalu buruk,” jawab Andra. “Kadang, sunyi justru mengajari kita cara mendengar.”
Rani menatapnya. “Kamu sudah bahagia, ya?”
“Aku nggak tahu ini namanya bahagia atau bukan,” Andra tersenyum kecil. “Tapi aku damai.”
Rani menarik napas panjang. “Kalau aku minta kesempatan sekali lagi, kamu mau?”
Pertanyaan itu menggantung lama di udara. Andra memejamkan mata; hatinya bergetar pelan antara kenangan dan luka yang sudah kering.
“Kalau kamu datang waktu aku masih berantakan, mungkin jawabanku lain,” ucapnya lirih.
“Sekarang aku sudah terlalu nyaman berdamai dengan sunyi.”
Rani menunduk. Ada air mata jatuh di punggung tangannya. “Aku terlambat, ya?”
Andra menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Tidak. Kamu datang tepat waktu untuk tahu bahwa cinta juga bisa berakhir tanpa kebencian.”
Mereka terdiam cukup lama. Angin sore melewati jendela, menggoyang tirai tipis di ruang tengah. Ketika Rani pamit, langkahnya pelan, seolah takut meninggalkan sesuatu yang tak terlihat. Pintu pagar tertutup. Suara mobilnya perlahan menghilang di kejauhan.
Malam turun bersama hujan kecil. Andra menyalakan lampu minyak di meja makan. Ia membuka buku catatannya dan menulis:
Kadang, kesendirian bukan kehilangan, tapi pemulihan.
Ia menatap kalimat itu lama sebelum tersenyum kecil. Hujan mulai reda, menyisakan bunyi tetes di genting. Ia hendak membuat kopi, tetapi tertegun.
Di meja, sudah ada secangkir kopi hitam yang masih mengepul.
Ia yakin betul ia belum menyeduh apa pun sejak sore.
Andra menatap cangkir itu. Jantungnya berdegup pelan—bukan karena takut, tetapi karena kenangan yang belum sepenuhnya hilang menyentuh pikirannya dengan lembut. Ia duduk perlahan, menatap kursi di seberang meja yang kosong.
“Apa kamu masih di sini, Ran?” bisiknya.
Kopi itu tetap panas. Uapnya naik perlahan, berputar di udara seperti bayangan yang menolak pergi sepenuhnya.
Andra mengangkat cangkir itu, menyesap perlahan. “Kalau ini caramu menghargai, Ran… terima kasih.”
Hujan berhenti. Lampu minyak bergetar pelan, lalu padam. Di dalam gelap, aroma kopi tetap terasa hangat—seperti kehadiran yang tak ingin benar-benar pergi. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni












