Telaah

Harta yang Berkurang

248
×

Harta yang Berkurang

Sebarkan artikel ini
Harta menjadi buruan manusia. Dikumpulkan supaya hidup bahagia dan berkuasa. Tapi bisa juga mendatangkan bencana.
Ilustrasi harta

Rasulullah punya ilmu hitung ilahiyah. Harta yang dibagi-bagi ternyata jumlahnya tak berkurang. Malah bertambah seperti halnya kita tanam modal. Dapat pembagian keuntungan.

Tagar.co – Harta menjadi buruan manusia. Dikumpulkan supaya hidup bahagia dan berkuasa. Tapi bisa juga mendatangkan bencana.

Dalam hadis Bukhari diceritakan, ketika Aisyah ra menghidangkan makanan kesukaan Rasulullah yaitu paha domba, lalu Rasulullah bertanya, ”Ya Aisyah, apakah sudah engkau berikan kepada Abu Hurairah tetangga kita?”

Aisyah menjawab, ”Sudah, ya Rasulullah.”

Rasulullah bertanya lagi, ”Bagaimana dengan Ummu Ayman?”

Aisyah kembali menjawab, “Sudah, ya Rasulullah.”

Kemudian Rasulullah bertanya lagi tentang tetangga-tetangganya yang lain, apakah sudah diberi masakan tersebut. Sampai Aisyah merasa penat menjawab pertanyaan-pertanyaan Rasulullah.

Lantas Aisyah menjawab, “Sudah habis kubagikan, ya Rasulullah, yang tinggal apa yang ada di depan kita ini.”

Rasulullah tersenyum. Lalu dengan lembut menjawab, ”Kamu salah Aisyah, yang habis adalah apa yang kita makan ini dan yang kekal adalah apa yang kita sedekahkan.”

Penjelasan Rasulullah dalam hadis itu menyadarkan kesalahpahaman kita soal ilmu berhitung. Orang awam memandang kehidupan ini hanya soal materi.

Baca Juga:  Nabi Tadarus Al-Quran Bersama Jibril di Malam Ramadan

Masakan gule kambing satu ekor jika dibagi-bagi kepada semua tetangga pasti habis. Kita kecewa kalau hanya tersisa semangkok. Sebab tak bisa nambah lagi.

Tapi ilmu berhitung Rasulullah perspektifnya di atas materi. Ilmu hitung ilahiyah. Justru makanan yang dibagikan kepada tetangga itu kekal. Makin bertambah banyak. Bisa kita nikmati kembali berupa pahala sedekah yang nikmatnya bisa jadi lebih luar biasa. Hanya makanan yang kita makan itu saja yang habis.

Seperti dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 261.

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍۢ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍۢ ۗ وَٱللَّهُ يُضَـٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٢٦١

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.

Rasulullah sebelum menjadi Nabi adalah keluarga kaya raya. Hidup mapan sebagai pedagang. Bahagia bersama anak istri. Begitu terpilih sebagai Nabi, seluruh hartanya diberikan untuk perjuangan dakwah Islam.

Baca Juga:  Menyembunyikan Sedekah: Keutamaan dan Hikmahnya

Sebagai pemimpin negara Madinah, Rasulullah mendapat bagian seperlima tiap ganimah. Dengan harta itu sebenarnya Rasulullah bisa hidup kaya sebagai kepala negara. Namun tiap kali dapat setoran ganimah langsung dia letakkan di masjid. Lalu diumumkan siapa saja orang miskin silakan mengambilnya.

Walhasil Rasulullah tak punya harta yang disimpan di rumah. Nabi juga tak menganggarkan biaya operasional untuk urusan rumah tangganya.

Kas negara tak banyak isinya. Karena itu Rasulullah tak mengangkat staf khusus  menteri  yang banyak jumlahnya.

Istri-istrinya hanya diberi nafkah yang pas-pasan. Mereka pun hidup di rumah petak yang menempel di samping masjid. Bukan di istana.

Bahkan saat putrinya ingin minta budak untuk membantu kerja di rumah ditolak. Hanya diberi kalimat zikir sebelum tidur yang kemudian dikenal sebagai zikir Fatimah.

Seandainya semua manusia mau mengamalkan ilmu hitung ala Nabi maka tak ada keserakahan. Andai saja semua pemimpin bisa meniru kesederhanaan Nabi maka tak ada pencitraan dan ambisi berebut jabatan.

Alangkah bahagianya dunia seperti itu. Wallahu a’lam bishowab. (#)

Baca Juga:  Istigfar Solusi Segala Masalah

Penyunting Sugeng Purwanto