Opini

Hari Ibu Sepanjang Masa

226
×

Hari Ibu Sepanjang Masa

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember hanyalah sebuah momen. Pada hakikatnya, hari ibu adalah sepanjang hari, sepanjang masa.

Oleh Mohamad Isa, Dokter Spesialis Paru alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Tutup Banner untuk melanjutkan baca

Tagar.co – Setiap manusia dilahirkan oleh seorang ibu. Seorang ibu pun, dahulu, dilahirkan oleh seorang ibu. Proses melahirkan adalah momen yang mendebarkan, pertaruhan nyawa antara hidup dan mati.

Bayangkan, untuk persalinan normal saja, seorang ibu harus melewati kontraksi yang begitu menyakitkan. Rasa sakit saat kontraksi, atau yang disebut “his”, melebihi rasa sakit yang biasa kita alami.

Proses persalinan bisa berlangsung normal, namun terkadang bisa juga memanjang. Kemacetan persalinan bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti ukuran bayi, kondisi jalan lahir, dan kekuatan ibu untuk mengejan. Jika terjadi kemacetan, operasi caesar menjadi jalan alternatif.

Resiko perdarahan selalu mengintai, baik sebelum, selama, maupun setelah persalinan. Namun, tim medis selalu siap siaga untuk menghadapi dan menangani setiap kemungkinan. Begitulah perjuangan seorang ibu, menegangkan dan penuh pengorbanan.

Kasih Ibu Sepanjang Jalan

Setelah melahirkan, tugas seorang ibu belum selesai. Ia masih harus menyusui, merawat, dan mendidik anaknya. Tugas mulia ini tak akan pernah usai hingga akhir hayatnya. Setiap hari adalah Hari Ibu.

Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember hanyalah sebuah momen. Pada hakikatnya, hari ibu adalah sepanjang hari, sepanjang masa.

Seorang ibu memberi kasih sayang pada anak-anaknya dengan tulus, tanpa pamrih, tanpa mengharap balasan. “Hanya memberi, tak harap kembali, bagaikan sang surya menyinari dunia.” Kasih ibu sepanjang jalan, tak pernah putus, tak pernah usai.

Refleksi Bakti Seorang Anak

Sebagai seorang dokter, saya pernah merawat seorang ibu berusia 70 tahun yang menderita gangguan paru-paru. Ia dirawat di ruang VIP sebuah rumah sakit besar, kondisinya lemah dan sesak napas. Selama dirawat, ia ditemani oleh seorang wanita yang disewa untuk menjaganya.

Hari pertama, kedua, ketiga, hingga kelima, kondisi pasien tidak kunjung membaik. Setiap kali saya periksa, raut wajahnya selalu tampak sedih. Ia bercerita memiliki lima orang anak, empat laki-laki dan satu perempuan, namun belum ada satupun yang datang menjenguk.

Anak-anaknya tinggal di berbagai kota, Medan, Makassar, Surabaya, Jakarta, dan Balikpapan. Mereka semua memiliki pekerjaan dan kondisi ekonomi yang berkecukupan.

Mendengar cerita ibu itu, saya tergerak untuk berbicara dengan perawat yang menemaninya. Saya meminta perawat tersebut untuk menghubungi anak-anak pasien, dan menyampaikan pesan bahwa saya ingin bertemu dengan mereka semua keesokan harinya. “Ada yang ingin saya sampaikan. Penting.”

Keesokan harinya, saat saya mengunjungi pasien, terlihat raut wajahnya yang berbeda. Ia tampak gembira karena semua anak dan menantunya datang. Suasana hatinya yang riang membuat kondisinya pun tampak lebih baik. Sebagai ungkapan kegembiraan, kami berfoto bersama di atas tempat tidur perawatan.

Dua hari kemudian, kondisi pasien sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Sepekan berselang, saya menerima telepon dari salah satu anaknya, mengabarkan bahwa ibunya telah meninggal dunia di rumah. Saya pun datang melayat ke rumah duka. Di sana, saya melihat foto kami terpampang di dinding.

“Terima kasih, Dokter, sudah merawat Ibu saya,” ucap salah satu anaknya. “Berkat bantuan Dokter, kami bisa berkumpul bersama Ibu saat di rumah sakit.”

Seorang ibu, dalam keadaan lemah sekalipun, tetap membutuhkan dukungan dari anak-anaknya, dukungan pikiran dan perhatian. Terkadang, seorang ibu harus “meminta” waktu dan perhatian anaknya melalui pihak lain, seperti dokter.

Saya juga teringat kisah lain, tentang seorang pasien laki-laki berusia 45 tahun yang menderita radang paru-paru berat. Ia dirawat di ruang perawatan biasa dengan kondisi lemah dan sesak napas. Selama sakit, ia didampingi oleh ibunya yang sudah berusia 75 tahun. Wajah sang ibu tampak tua dan dipenuhi kecemasan.

Ibu itu selalu berdoa dan setia mendampingi anaknya yang sedang sakit, tanpa lelah, tanpa mengeluh. Alhamdulillah, sang anak akhirnya sembuh. Saya bahkan sempat bertemu dengan mereka di Tanah Suci saat menunaikan ibadah umroh.

Ibu itu merawat anaknya tanpa bantuan orang lain. “Seorang ibu bisa merawat sepuluh anak, tapi sepuluh anak belum tentu bisa merawat satu ibu.”

Masing-masing anak tentu bisa mengukur tingkat baktinya kepada ibunya. “Anak lahir seperti kertas putih, tergantung apa tulisan yang diukirnya.”

Penutup

Selamat Hari Ibu. Budi baik Ibu tak akan kami lupakan. Doa selalu mengiringi langkah Ibu, setiap harinya.

Allahumma firlii waliwa lidhayya warhamhuma kamarabbayani shaghira. Artinya: “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku (ibu dan bapakku), sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil.”

Banjarmasin, 22 Desember 2024

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Baca Juga:  Lagu Kebangsaan: Cerminan Harga Diri Bangsa di Lapangan Hijau
Opini

Presiden Prabowo mengucapkan “ndasmu” tiga kali dalam orasi…