
Insiden runtuhnya bangunan pesantren di Buduran, Sidoarjo. Jawa Timur, bukan sekadar musibah lokal. Ia mencerminkan rapuhnya perhatian negara terhadap keselamatan ribuan santri di seluruh Indonesia.
Oleh Prof. Triyo Supriyatno Wakil Rektor III UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Tagar.co – Fenomena runtuhnya bangunan salah satu pesantren di Sidoarjo beberapa waktu lalu bukan sekadar tragedi fisik, melainkan juga angin topan bagi kesadaran kolektif.
Insiden yang menelan korban luka bahkan nyawa ini mengingatkan kita bahwa di balik harum nama pesantren sebagai pusat pendidikan dan dakwah, masih ada problem serius terkait aspek keselamatan, tata kelola, dan perhatian negara.
Pesantren: Antara Spirit dan Realitas Infrastruktur
Pesantren di Indonesia tumbuh dari semangat kemandirian. Banyak pesantren didirikan dengan gotong royong masyarakat, sumbangan jemaah, dan keikhlasan para kiai. Itulah yang menjadikan pesantren punya akar kuat di hati umat. Namun, pola swadaya ini sering kali membuat aspek teknis pembangunan—seperti kualitas material, perencanaan arsitektur, hingga standar keselamatan bangunan—terabaikan.
Baca juga: Musibah, Sabar, dan Ikhtiar: Pelajaran dari Robohnya Musala Al-Khoziny
Runtuhnya bangunan di Sidoarjo adalah contoh nyata betapa rapuhnya fondasi fisik sebagian pesantren. Di balik kesungguhan niat membangun fasilitas untuk ribuan santri, ada persoalan klasik: keterbatasan anggaran, lemahnya pengawasan teknis, dan absennya regulasi ketat yang mengatur standar bangunan pesantren.
Negara dan Tanggung Jawab Regulasi
Harus diakui, kehadiran Undang-Undang Pesantren (UU No. 18/2019) memberi angin segar bagi pengakuan resmi negara terhadap pesantren. Namun, perhatian negara sering kali berhenti pada aspek pengakuan kurikulum dan peran pesantren sebagai lembaga pendidikan. Dimensi infrastruktur—yang justru menjadi penopang keselamatan santri—masih sering luput dari sorotan.
Padahal, ratusan ribu santri tinggal dan beraktivitas di pesantren setiap hari. Mereka tidur, belajar, dan beribadah dalam satu kompleks. Jika aspek keselamatan tidak dipastikan, maka risiko bencana runtuh, kebakaran, atau insiden lain akan selalu mengintai.
Negara tidak bisa lagi sekadar memposisikan pesantren sebagai lembaga swadaya penuh. Regulasi teknis pembangunan gedung pesantren, standar keamanan, dan sistem audit berkala adalah hal yang mendesak. Runtuhnya bangunan di Sidoarjo harus menjadi alarm untuk memperkuat fungsi pengawasan ini.
Kiai dan Santri: Korban Sekaligus Saksi Peradaban
Yang paling menyedihkan, korban dari runtuhnya bangunan adalah santri—generasi muda yang seharusnya belajar dalam suasana aman. Mereka adalah penerus bangsa yang sedang ditempa dalam lingkungan penuh kesederhanaan. Tragis bila kehidupan mereka harus dipertaruhkan hanya karena kelalaian infrastruktur.
Kiai dan pengasuh pesantren pun sering berada dalam dilema. Di satu sisi, mereka dituntut menyediakan fasilitas representatif. Di sisi lain, keterbatasan dana membuat mereka memilih jalan cepat: membangun seadanya dengan kualitas material yang minim. Akhirnya, pesantren yang seharusnya menjadi rumah aman justru berubah menjadi ruang berisiko.
Momentum Perubahan: Dari Simbol ke Sistem
Tragedi di Sidoarjo seharusnya menjadi momentum perubahan. Ada tiga agenda penting yang harus dijalankan:
-
Audit Bangunan Pesantren. Pemerintah daerah bersama organisasi masyarakat Islam perlu melakukan audit menyeluruh terhadap bangunan pesantren, khususnya asrama santri dan ruang kelas.
-
Skema Pendanaan Khusus. Perlu dibentuk dana abadi pesantren yang tidak hanya mendukung kurikulum, tetapi juga infrastruktur. Pesantren yang jumlahnya lebih dari 30 ribu di seluruh Indonesia tidak mungkin dibiarkan membangun sendiri tanpa standar bantuan.
-
Budaya Keselamatan. Pesantren harus menumbuhkan kesadaran bahwa keselamatan fisik sama pentingnya dengan keselamatan spiritual. Menjaga nyawa santri adalah bagian dari ibadah, dan memastikan kualitas bangunan adalah bentuk nyata hifdzun nafs (menjaga jiwa), salah satu maqasid syariah.
Antara Idealisme Pesantren dan Realitas Infrastruktur
Runtuhnya bangunan pesantren di Sidoarjo bukan sekadar berita duka, tetapi sinyal keras bagi kita semua. Ia adalah cermin bahwa masih ada ketimpangan antara idealisme pesantren dan realitas infrastruktur.
Jika negara sungguh menempatkan pesantren sebagai pilar pendidikan Islam dan peradaban bangsa, maka keselamatan santri tidak boleh ditawar. Pesantren harus berdiri kokoh bukan hanya karena doa dan semangat, tetapi juga karena fondasi yang kuat, dinding yang aman, dan pengelolaan yang profesional.
Menyelamatkan pesantren berarti menyelamatkan masa depan. Dan menyelamatkan santri berarti menyelamatkan Indonesia masa depan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni