
Kurban bukan sekadar menyembelih hewan. Ia adalah ibadah penuh makna yang menuntut kehalalan dan kelayakan daging sampai ke tangan penerima.
Oleh: Abdul Rahem, Dosen Fakultas Farmasi dan Ketua Pusat Halal Universitas Airlangga
Tagar.co – Tak terasa, takbir sebentar lagi akan kembali menggema. Dalam hitungan hari, umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Iduladha. Setiap tahun, umat Islam memperingati Iduladha dengan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt. dan penghormatan atas keteladanan Nabi Ibrahim As.
Namun, di tengah gemerlap rutinitas modern, makna kurban kadang tereduksi menjadi sekadar ritual tahunan, bukan refleksi spiritual. Padahal, menyembelih hewan kurban merupakan simbol konkret tentang pengorbanan, empati, keikhlasan, dan kepedulian, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim As. dan putranya, Nabi Ismail As.
Baca juga: Menjaga Rantai Halal: Potensi Kontaminasi Silang di Penggilingan Daging
Ada suara-suara yang mempertanyakan: bukankah lebih baik uangnya disumbangkan saja? Bukankah menyembelih hewan di zaman sekarang terasa “tidak relevan”? Justru di sinilah letak urgensinya.
Dalam dunia yang makin individualistik, penyembelihan hewan kurban mengingatkan kita untuk berbagi, untuk hadir bagi mereka yang mungkin setahun penuh belum mencicipi daging, dan untuk tunduk pada ketentuan Allah Swt.
Lebih dari sekadar daging, kurban adalah pelajaran moral. Ia menuntun kita memotong kelekatan terhadap harta, membunuh ego yang mempertuhankan logika pribadi, dan menggantinya dengan ketundukan total pada kehendak Ilahi. Kurban juga mengikat kembali simpul solidaritas sosial, membagi rasa dan rezeki dengan sesama tanpa memandang status maupun latar belakang.
Kurban Bukan Sekadar Niat, tetapi Harus sesuai Waktu yang Ditetapkan
Ibadah kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi juga tentang ketaatan pada waktu yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Islam menetapkan bahwa pelaksanaan kurban hanya sah dilakukan pada 10 Zulhijah (Hari Raya Iduladha) dan tiga hari sesudahnya, yang dikenal sebagai hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah). Di luar rentang waktu ini, penyembelihan tidak lagi dianggap sebagai ibadah kurban, melainkan sembelihan biasa.
Sayangnya, sebagian masyarakat belum memahami pentingnya batasan waktu ini. Ada yang tergesa-gesa menyembelih sebelum salat Id, ada pula yang menunda terlalu lama hingga lewat dari hari tasyrik, dengan anggapan yang penting hewannya disembelih. Padahal, ketepatan waktu adalah bagian dari sahnya ibadah kurban.
Pelaksanaan kurban pada hari-hari tertentu mengajarkan kita taat pada aturan, menahan diri, dan menyelaraskan ibadah pribadi dengan momen kebersamaan umat. Kurban bukan hanya urusan individu, tetapi juga bagian dari syiar Islam yang dilakukan secara berjemaah oleh umat Muslim di seluruh dunia.
Hari tasyrik pun bukan hari sembarangan. Ia adalah hari yang dilarang untuk berpuasa, dianjurkan memperbanyak takbir, dan dibolehkan menyembelih bagi yang belum sempat pada hari pertama. Ini adalah bentuk kelonggaran dari Allah, memberi waktu cukup bagi umat Islam menyempurnakan ibadah kurban mereka.
Daging Kurban Bukan Sekadar Halal, tetapi Juga Tayib
Menyembelih hewan adalah bentuk ketaatan kepada Allah Swt., tetapi ada prinsip penting dalam Islam yang sering terlupakan: makanan yang dikonsumsi umat Muslim tidak cukup hanya halal, tetapi juga harus tayib, yakni baik, bersih, dan sehat.
Karena itu, hewan kurban tidak boleh sembarangan. Ia harus sehat, tidak cacat, cukup umur, dan dipelihara dengan baik sebelum disembelih. Memilih hewan yang sakit, lemah, atau berpenyakit bukan hanya merusak nilai ibadah kurban itu sendiri, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat yang menerima dan mengonsumsi daging tersebut (tidak tayib).
Dalam konteks kesehatan masyarakat, kurban memuat tanggung jawab sosial. Ketika daging dibagikan kepada kaum dhuafa, kita memberikan sesuatu yang sangat berharga: sumber protein yang jarang mereka nikmati. Maka, sudah semestinya kita memastikan daging yang diberikan benar-benar tayib, layak konsumsi, tidak terkontaminasi, dan berasal dari hewan yang sesuai standar kesehatan serta syariat.
Pemeriksaan sebelum dan setelah penyembelihan oleh petugas kesehatan hewan bukanlah formalitas belaka, tetapi bagian penting menjaga kesucian dan keberkahan ibadah kurban. Kita tidak hanya menyembelih hewan, tetapi juga membangun kesadaran bahwa ibadah dalam Islam selalu berorientasi pada kemaslahatan.
Menjaga Kehalalan Kurban, Dimulai dari Salat Penyembelih
Ibadah kurban penuh makna, dari niat tulus hingga proses penyembelihan sesuai syariat. Salah satu aspek penting yang sering luput adalah siapa yang menyembelih. Dalam Islam, penyembelih hewan kurban harus juru sembelih halal (juleha), yaitu seorang Muslim yang berakal, memahami cara penyembelihan, dan yang tidak kalah penting: menjaga salat wajib lima waktu.
Ketika dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Juleha ditetapkan bahwa penyembelih harus orang yang melaksanakan salat lima waktu, itu bukan bentuk diskriminasi atau syarat administratif belaka. Itu adalah penguatan nilai spiritual sekaligus jaminan kehalalan sembelihan. Salat lima waktu adalah indikator paling dasar dari ketaatan seorang Muslim. Bila seseorang mampu menjaga salatnya, besar kemungkinan ia juga akan menjaga tanggung jawab penyembelihan sesuai aturan agama.
Menyembelih hewan kurban bukan sekadar tindakan teknis. Ia adalah ibadah yang mensyaratkan niat, pemahaman syariat, dan kehadiran ruhani. Orang yang tidak menjaga salat lima waktu berisiko kurang memiliki kedekatan spiritual yang cukup untuk melaksanakan penyembelihan dengan khusyuk, penuh adab, dan sesuai tuntunan Nabi Muhammad Saw.
Kehadiran SKKNI Juleha seharusnya tidak hanya menstandarkan keterampilan teknis, tetapi juga menjaga kualitas spiritual penyembelih sebagai bagian dari kesempurnaan ibadah kurban. Sebab, daging yang disembelih bukan sekadar makanan, tetapi simbol ketaatan, amal ibadah, dan amanah dari yang berkurban kepada penerima.
Kurban Tak Berakhir di Pisau: Menjaga Kehalalan Daging Pascapenyembelihan
Hewan kurban disembelih sebagai wujud ketaatan kepada Allah, dan dagingnya dibagikan kepada penerima. Namun satu hal penting sering terlupakan: proses penanganan daging pascapenyembelihan, yang menentukan apakah daging itu benar-benar sampai ke tangan penerima dalam kondisi halal, suci, dan layak konsumsi.
Syariat Islam menegaskan, tidak boleh tergesa-gesa menangani hewan yang baru disembelih. Proses menguliti, memotong, atau menyeret hewan kurban hanya boleh dilakukan setelah hewan benar-benar mati dan darahnya telah tiris. Ini adalah prinsip dasar dalam fikih penyembelihan yang tidak hanya menjamin kehalalan daging, tetapi juga menunjukkan nilai kasih sayang terhadap makhluk hidup.
Sayangnya, dalam praktik di lapangan, terutama saat volume penyembelihan tinggi, tidak jarang kita melihat hewan langsung dikuliti atau dipotong saat masih menunjukkan gerakan refleks. Padahal, tindakan ini berpotensi menimbulkan siksa yang tidak perlu, bahkan dapat membatalkan kehalalan daging.
Dalam Islam, halal tidak hanya soal bagaimana hewan disembelih, tetapi juga bagaimana daging diproses, ditangani, disimpan, dan didistribusikan. Meskipun hewan telah disembelih sesuai syariat, jika penanganan pascapenyembelihan dilakukan sembarangan—misalnya mencampur daging dengan najis, menggunakan peralatan kotor, atau menyimpan di tempat tidak higienis—maka nilai halal dan keberkahannya bisa hilang.
Di lapangan, terutama di wilayah padat penduduk atau daerah urban, sering kali daging kurban ditangani dalam kondisi minim sanitasi: ditaruh di lantai tanpa alas, diangkut menggunakan wadah kotor, atau dibungkus dengan plastik bekas. Ini bukan hanya masalah kebersihan, tetapi juga menyangkut kesucian ibadah.
Proses pengemasan juga harus diperhatikan. Daging tidak boleh bercampur dengan jeroan atau bagian yang belum dibersihkan. Panitia harus memastikan distribusi dilakukan rapi, tidak tercampur antara bagian yang wajib dibagikan dan yang menjadi hak pekurban. Bahkan suhu penyimpanan harus diperhatikan agar daging tidak rusak atau basi sebelum sampai ke penerima.
Inilah saatnya kita memperluas makna ibadah kurban. Menjaga kehalalan daging bukan hanya tanggung jawab jagal, tetapi seluruh panitia dan masyarakat yang terlibat. Edukasi, pelatihan penanganan higienis, serta kerja sama dengan dinas kesehatan atau lembaga sertifikasi halal menjadi penting untuk menjamin bahwa daging kurban benar-benar sampai dalam keadaan halal dan tayib: halal secara syariat, baik secara kesehatan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni












