
Perpres Pelindungan Jaksa dinilai penting, tapi kehadiran TNI dan sumber dana “tidak mengikat” menimbulkan tanya: ini penguatan hukum atau konsolidasi kekuasaan lewat jalur hukum?
Oleh Ulul Albab; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jawa Timur, Akademisi Unitomo
Tagar.co – Ada yang menarik dalam pekan-pekan ini. Yaitu terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan. Ya, jaksa kini tak lagi hanya bergantung pada institusinya sendiri. Lewat Perpres ini, mereka resmi mendapat pelindungan dari Polri, bahkan juga TNI.
Baca juga: Ilmu, Tafsir, dan Mikrofon: Syaiful Karim dan Tafsir yang Terlalu Jauh
Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga keluarganya. Bahkan bisa mencakup tempat tinggal baru, rumah aman, pelindungan harta, hingga kerahasiaan identitas. Pertanyaannya: apa yang sedang dibangun oleh presiden kita lewat Perpres ini? Sistem hukum yang kuat? Ataukah sistem kekuasaan yang kian menggurita?
Negara yang Menjaga, atau yang Mengendalikan?
Ketika bicara penegak hukum, kita bicara soal risiko. Menjadi jaksa hari ini bukanlah pekerjaan yang steril. Ancaman bisa datang dari mafia perkara, koruptor yang belum tersentuh, atau pihak-pihak yang terganggu oleh penegakan hukum yang serius. Maka, pelindungan terhadap jaksa adalah hal yang memang perlu.
Namun dalam konteks Indonesia—dengan sejarah panjang relasi sipil dan militer—kita tak bisa menutup mata. Mengapa TNI kini ikut masuk dalam skema pelindungan jaksa?
Pasal 9 Perpres ini menyebut bahwa pelindungan oleh TNI dapat dilakukan dalam bentuk pengawalan dan dukungan terhadap institusi kejaksaan, bahkan dalam hal-hal yang bersifat strategis. Jika tidak dibaca secara kritis, kata “strategis” bisa menjadi karpet merah bagi tafsir yang sangat luas.
Apakah ini bagian dari penguatan sistem hukum? Atau justru sinyal bahwa kekuasaan hukum akan lebih terkonsolidasi, bukan hanya oleh hukum, tapi juga oleh kekuatan?
Tugas Suci Tak Selalu Butuh Tameng Besi
Kita tentu ingin para jaksa dapat bekerja dengan tenang. Tapi kita juga ingin sistem hukum bekerja dalam kendali sipil yang transparan. Kita tak ingin hukum dijalankan dalam bayang-bayang kekuatan bersenjata.
Perpres ini menunjukkan niat baik. Tapi niat baik saja tidak cukup. Dalam tata kelola publik, niat baik tanpa sistem kontrol hanya akan melahirkan konsekuensi tak terbayangkan.
Terlebih, dalam Perpres ini disebutkan bahwa pendanaan pelindungan dapat bersumber dari “pihak lain yang sah dan tidak mengikat.” Lho, apakah ini berarti bisa berasal dari sponsor? Donatur? Institusi swasta? Ini membuka ruang gelap yang tak kalah berbahaya.
Kejaksaan, BIN, dan BAIS TNI
Perpres ini juga membuka ruang kerja sama antara Kejaksaan, BIN, dan BAIS TNI dalam hal pelatihan serta pertukaran data. Ini langkah penting, sebab penegakan hukum memang tak bisa lagi mengandalkan kekuatan reaktif semata. Diperlukan informasi dini, akurasi data, dan kesiapan respons.
Namun tetap, semua itu harus dibingkai dalam etika kerja intelijen yang tidak menyentuh ranah penghakiman. Jangan sampai kerja sama ini justru mengganggu independensi hukum yang sedang dibangun.
Negara Miskin Kepercayaan?
Mungkin inilah ironi zaman ini. Kita hidup dalam negara yang makin canggih secara regulasi, makin kuat secara struktur, tapi makin tipis kepercayaan publiknya. Bahkan jaksa pun kini merasa perlu pelindungan luar biasa dari institusi seperti TNI dan Polri.
Maka jangan salahkan bila publik bertanya: ada apa dengan penegakan hukum kita? Apakah sistemnya benar-benar rapuh? Ataukah justru yang rapuh adalah rasa aman politik dari para pelaksana hukum itu sendiri?
Negara Harus Kuat, tapi Tetap Harus Diawasi
Kita tidak boleh alergi terhadap penguatan institusi hukum. Namun kita juga tak boleh menutup mata terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Pelindungan negara adalah hak setiap aparat, tetapi jangan sampai berubah menjadi alat konsolidasi kekuasaan yang justru menakutkan rakyat.
Perpres ini mungkin akan menumbuhkan keberanian para jaksa. Tapi keberanian terbesar tidak datang dari kawalan TNI, melainkan dari keteladanan, integritas, dan dukungan rakyat. Sebab negara yang kuat bukanlah yang melindungi kekuasaan dengan tameng, melainkan yang membuka keadilan bagi semua, meski tanpa senjata. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni