Pendidikan merdeka yang digagas oleh Pemerintah Joko Widodo dikaji oleh Maaarif Institute dalam program Maarif House edisi kedua. Apakah pendidikan ini telah memberikan dampak positif bagi peserta didik?
Tagar.co – Sejumlah tokoh pendidikan berkumpul di Kantor Maarif Institute, Kamis (15/8/2024). Ada 13 narasumber yang hadir dari berbagai lembaga. Mereka mewakili trisektor: sektor publik, sektor swasta, dan civil society.
Siang hingga sore itu, mereka duduk di meja semi oval, berdiskusi dalam program Maarif House edisi kedua. Temanya pun unik, “Quo Vadis Pendidikan di Indonesia: Pendidikan Merdeka atau Pendidikan (Punya) Mereka?”
Tema yang mengeksplorasi dan mendiskusikan secara mendalam mengenai arah dan masa depan pendidikan di Indonesia, serta menelaah sejauh mana konsep ‘pendidikan merdeka’ yang digagas oleh Pemerintah telah diimplementasikan dan memberikan dampak positif bagi peserta didik.
Tampak Amich Alhumami (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bapennas), Clara Joewono (dari CSIS Foundation), dan Gogot Suharwoto, (Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek).
Ada pula Ma’mun Murod, (Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta/Sekretaris Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah), M. Adlin Sila (Staf Ahli Mendikbudristek Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat), Romo Odemus Bei Witono (Direktur Perkumpulan Strada), Siti Ruhaini Dzuhayatin (Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) RI), dan masih banyak yang lain.
Baca juga: Izin Tambang bagi Ormas, Maslahat atau Masalah?
Pemerataan Pendidikan
Dalam paparannya, Amich Al-Humami menyatakan untuk mendiskusikan masalah pendidikan, kita harus berangkat dari isu besar yang ada di lingkungan pendidikan, yaitu pemerataan pendidikan dan kualitas pendidikan.
Dia menekankan pentingnya memastikan akses pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, serta menjaga kualitas pendidikan yang dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.
“Problem pendidikan di Indonesia ya soal pelayanan pendidikan. Di Indonesia ada kesenjangan lulusan pendidikan yang ekstrem,” terangnya
Dia pun memberi contoh. Pada level SD/MI/MTs, banyak peserta didik banyak yang lulus sebesar 93 persen. “Namun, yang sangat berat yaitu pendidikan SMA, yakni hanya sekitar 86,7 persen saja yang berhasil lulus,” tutur Amich.
Amich lalu memaparkan tentang masih rendahnya kualitas guru dan belum adanya standar yang jelas dalam perekrutan guru. Menurunya, sekolah atau dinas tidak memiliki standar yang jelas dalam hal melakukan rekrutmen guru.
Peran Guru
Adlin Sila menyoroti pentingnya peran guru dalam dunia pendidikan. Dia menegaskan, guru harus berperan sebagai “coach” (guru penggerak) agar mampu mengembangkan potensi anak didiknya.
“Pusat pendidikan tidak hanya bertumpu pada guru, namun juga harus mempertimbangkan aspek keaktifan dari peserta didik,” tegas Adlin.
Baca juga: Indonesia Bernyawa Menuju Indonesia Raya, Pidato Kebangsaan Haedar Nashir
Dia mengatakan diversifikasi pembelajaran juga tidak kalah penting. Orientasi pendidikan tidak semestinya terpaku pada target-target yang dicanangkan di awal secara kaku. Logika seperti itu adalah penyebab kenapa banyak kelas akselerasi dibubarkan. Karena konsep “drilling” (fokus pada target secara kaku) tidak sejalan dengan konsep “sekolah merdeka”.
Sementara, Syafiq Hasyim menyoroti tentang program internasionalisasi pendidikan negeri yang sampai saat ini hasilnya masih kurang membahagiakan. Dia menekankan perlunya evaluasi dan perbaikan terhadap program-program tersebut agar dapat memberikan dampak yang lebih signifikan bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Ruang bagi Siswa
Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menambahkan sistem pendidikan seperti di Prancis memberikan ruang bagi peserta didik untuk memiliki higher order level of thinking (HOTS). HOTS diajarkan melalui pelajaran filsafat, di mana di tingkat SMA, mata pelajaran Filsafat diujikan di level nasional. Selain Filsafat, dua hal lain yang diajarkan dan diujikan di Prancis adalah Bahasa Prancis dan Matematika.
Bertindak sebagai moderator dalam acara ini, Moh. Shofan, Direktur Program Maarif Institute. Dia mengatakan melaluidiskusi, Maarif Institute berharap dapat menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan, akademisi, praktisi, dan masyarakat luas untuk berdiskusi, bertukar gagasan, dan mencari solusi terbaik bagi permasalahan pendidikan di Indonesia.
“Acara ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru dan rekomendasi konkret untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar merdeka dan berpihak pada kepentingan peserta didik,” ujarnya. (#)
Jurnalis Pripih Utomo Penyunting Mohammad Nurfatoni