Sejarah tawaf ada di dalam buku Makkah Al-Musyarrafah atau Sejarah Makkah yang Dihormati, karya Imam Abi Al-Walid Al-Azraqi. Buku tersebut ada di Perpustakaan Masjidilharam. Ada kisah Malaikat tawaf di Baitul Makmur.
Tagar.co – Untuk berkunjung ke setiap jengkal Masjidilharam tidak akan cukup satu dua hari. Bahkan hampir satu bulan berada di Makkah saya pun belum mampu menggapai semua area masjid ini.
Masjidilharam begitu luas dan megah. Kemegahan itu juga terlihat dalam pemugaran dan perluasan bagian utama. Hanya demi kenyamanan para mutawif, agar saat mengitari Ka’bah tak terhalang oleh pilar-pilar klasik zaman Kerajaan Fahd bin Abdul Aziz—yang banyak mengadopsi arsitek kejayaan Dinasti Utsmaniyah.
Menyederhanakan pilar-pilar yang kokoh dengan pilar yang lebih ringkas namun kuat ini butuh waktu bertahun-tahun. Gagasan cemerlang ini berasal dari adik dari Raja Fahd, Abdullah bin Abdul Aziz.
Dengan bangga negara berbendera kalimat tauhid ini memberikan julukan perluasan tawaf sebagai Al-Ruwwaq As-Saudi atau Serambi Saudi, untuk menggantikan serambi bergaya Dinasti Ottoman.
Baca juga: Misteri Tiang Ummu Hani di Masjidilharam
Tentu dengan teknologi teknik sipil yang supercanggih. Merobohkan pilar dan memugar tembok lama untuk dipasang kembali sebagai cagar budaya. Pemugaran masjid berkapasitas jutaan manusia ini demi kenyamanan mutawif sebagai amalan dari firman Allah di Al-Baqarah 126.
Dari dasar inilah semua ikhtiar kerajaan dalam setiap perluasannya, hingga kini Raja Salman, dan putra mahkotanya: Muhammad bin Salman bin Abdul Aziz.
Begitu pentingnya ayat ini, sehingga Raja Abdullah berani mengubah gunung sekitar masjid menjadi tempat perluasan. Bahkan menggantikan tanah dan rumah penduduk dengan rumah mewah, bukan lagi rumah susun.
Muncul pertanyaan, kapan tawaf itu dimulai? Sejak kapan itu menjadi ritual penting saat haji dan umrah?
Perpustakaan Masjidilharam
Jawabannya saya temukan saat berkunjung ke perpustakaan Masjidilharam. Perpustakaan itu saya ‘temukan’ Ketika melewati pintu nomor 80, lalu menaiki anak tangga hingga sampai pada ruang dengan luas 800 m².
Perpustakaan yang nyaman. Lantai dengan permadani yang hangat di ruang yang sejuk. Lemari dan rak buku yang tersusun rapi. Di tengah-tengah ruangan itu ada meja-meja berjajar saling berhadapan dengan kursi yang nyaman pula.
Baca juga: Khalifah Umar bin Abdul Aziz Akhiri Caci Maki pada Ali di Khotbah Jumat
Buku-buku dari berbagai tema cukup lengkap. Tentu berbahasa Arab. Mulai soal akidah, fikih, hadis, sirah, tafsir, hingga sejarah.
Namun ada beberapa rak di bagian kiri ruangan khusus literasi dari berbagai bahasa dunia. Ada Indonesia, Perancis, Urdu, Hindi, dan Inggris.
Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka pun menjadi koleksi perpustakaan itu. Ini sungguh membanggakan kita sebagai bangsa Indonesia.
Sejarah Makkah yang Dihormati
Saya pun mencari mencari referensi tentang asal-muasal tawaf. Saya menemukan kitab berjudul Tarikh Makkah Al-Musyarrafah atau Sejarah Makkah yang Dihormati, karya Imam Abi Al-Walid Al-Azraqi. Dia seorang sejarawan abad ke-9 Miladiah. Dia juga terkenal dengan buku berjudul Akhbaar Makkah, Laporan Sejarah Makkah.
Tepat di halaman 68 kitab itu, saya mendapat jawaban. Jika saya terjemahkan secara bebas artinya, seseorang dari bangsa Syam, kini Palestina, Syria, dan sekitarnya, menanyakan tentang muasal tawaf kepada Husain bin Ali, cucu dari Nabi Muhammad SAW. Jawabannya: bahwa ketika Allah berfirman, “Saya akan menjadikan di muka bumi ini seorang khalifah.” (Al-Baqarah 30).
Maka Malaikat bersahutan, seraya bertanya. “Wahai Rab, apakah Engkau akan menciptakan khalifah bukan dari kalangan kami yang selalu merusak bumi, saling membunuh, menumpahkan darah dengan kekerasan dan saling iri dan dengki? Wahai Rab jadikanlah khalifah itu dari kalangan kami (Malaikat) yang senantiasa mengagungkan-Mu, memuliakan-Mu, juga selalu patuh dan tunduk pada-Mu.
Maka seketika itu juga Rabb Penguasa Tujuh Langit membalas. “Saya lebih tahu dari pada kalian yang tidak tahu.”
Baca juga: Ibadah Haji sebagai Titik Balik
Jawaban Allah membuat para malaikat tersentak, malaikat menyangka bahwa pertanyaan mereka adalah sebuah ketidak undukan, sehingga mereka menyangka Pemilik Bumi dan Langit marah atas pertanyaannya, dan jawaban Allah SWT seakan menjadi teguran buat mereka.
Detik itu pula mereka tunduk seraya menangis, menyesal, lunglai dan mengacungkan jari seraya berdoa pada Allah di singgasana-Nya. Maka kemudian mulailah mereka mengitari Arsy Allah dan mengelilinginya (tawaf) selama tiga hari lamanya.
Melihat tingkah malaikat yang mengitari singgasana-Nya, Allah kemudian membangun Baitul Makmur meminta para malaikat untuk bertawaf mengitarinya sebagai ganti dari mereka mengelilingi Arsy-Nya dan itu lebih memudahkan mereka.
Dan tegak lurus di bawah Baitul Makmur di alam malakut inilah, kelak menjadi letak Ka’bah yang kita tawaf tujuh kali saat umrah dan haji hingga kini. Maka tidak mustahil ketika kita tawaf di Ka’bah, saat itu pula beribu ribu Malaikat tawaf mengelilingi Baitul Makmur. Wallahu a’lam. (#)
Jurnalis Zaki Abdul Wahid Penyunting Mohammad Nurfatoni