Cara Meraih Nol Musuh
Cara Meraih Nol Musuh; oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku inspiratif
Tagar.co – Menolak kejahatan dengan kebaikan? Membalas kejelekan dengan kebaikan? Bukan tak mungkin, itulah respons bernada keberatan yang mungkin akan muncul jika kepadanya diseru agar “Menolak Kejahatan dengan Kebaikan” sesuai dengan perintah Allah dan teladan Rasul-Nya.
Pesona Akhlak
Di keseharian, menjaga diri agar selalu di posisi sebagai orang baik dan aktif mengajak ke kebaikan, bukanlah aktivitas yang mulus jalannya. Dalam pelaksanaannya pasti akan ditemui banyak rintangan dan penolakan, mulai dari sekadar bantahan, pelecehan, bahkan sampai ke ancaman fisik.
Untuk menjawab masalah seperti di atas, ikutilah ajaran “Menolak Kejahatan dengan Kebaikan” yang berdasarkan kepada ayat ini: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat 34).
Sungguh, lakukanlah ajaran itu, insyaallah yang awalnya musuh bisa menjadi teman yang sangat setia.
Mari lihat fragmen berikut ini. Bahwa, setelah sepuluh tahun Nabi hijrah dan tinggal di Madinah, keadaan banyak yang berubah. Islam berkembang pesat termasuk dalam hal kekuatan tentaranya. Sementara, di Makkah, di barisan kaum kafir hanya tinggal Abu Sufyan–salah satu musuh besar umat Islam–yang paling senior.
Singkat kisah, terjadilah Fathul Makkah (Pembebasan Makkah), yaitu masuknya pasukan Islam ke Makkah. Maka, lihatlah hasil dari “Sebuah kejahatan yang dibalas dengan kebaikan”.
Sebelum pasukan Islam masuk ke Makkah, Abu Sufyan “menyongsong”-nya di luar kota. Niat dia hendak memata-matai, seberapa besar pasukan Islam. Dia kemudian takjub kepada pasukan Islam yang besar jumlahnya dan agung performanya. Ini “Tak mungkin dilawan oleh kaum kami di Makkah,” simpul Abu Sufyan.
Selanjutnya, dalam misi mata-mata itu, Abu Sufyan tertangkap dan menjadi tawanan. Setelah melewati serangkaian dialog dengan Abbas (paman Nabi ) dan juga dengan Nabi sendiri, Abu Sufyan lalu memberikan persaksian: “Kalau sudah demikian halnya, apalagi yang harus aku lakukan? Tentu aku mulai sekarang mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad Rasulullah.”
Abu Sufyan berubah karena sikap Nabi yang bukan pendendam. Sebaliknya, Nabi justru membalas kejelekan orang dengan kebaikan.
“Kita akan masuk ke Makkah. Kita harap jangan ada orang yang melawan di Makkah. Barangsiapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram, amanlah dia. Barangsiapa tinggal di rumahnya sendiri, amanlah dia,” kata Nabi sesaat sebelum masuk Makkah.
Abu Sufyan–kini posisinya tak lagi sebagai musuh Islam, tapi sudah ada di barisan orang beriman–yang mendengar jaminan bahwa rumahnya oleh Nabi dianggap sama amannya dengan Masjidilharam, sangat puas. Dia pun turut dalam iring-iringan pasukan kaum Muslimin yang masuk Makkah sebagai pemenang, sebuah iring-iringan yang terlihat penuh kebesaran dan keagungan.
Demi melihat sang suami telah berganti iman, Hindun–istri Abu Sufyan–marah. Sementara, rata-rata penduduk Makkah, yang sebagian berdiri di pinggir jalan melihat masuknya iring-iringan pasukan Islam yang datang dengan damai, bertanya-tanya.
“Apakah yang akan engkau perbuat kepada kami, wahai Saudara kami yang mulia,” demikian tanya mereka kepada Nabi.
“Tidak ada lagi tuntutan aku kepadamu, wahai Saudara-Saudaraku sekalian. Kamu semua dibebaskan dari tawanan,” seru Nabi.
Pernyataan Nabi itu keluar tanpa beban. Benar, keluar tanpa beban, seolah-olah Nabi dan umat Islam di masa-masa sebelumnya tak pernah mengalami berbagai penderitaan akibat beragam intimidasi dan bahkan anacaman pembunuhan.
Mari, buka lagi fragmen yang lain. Suatu saat, Rasulullah berdakwah ke Thaif. Jika berhasil, maka dengan penduduk Thaif yang banyak Rasulullah berharap kedudukan umat Islam akan makin kuat di Mekkah dan bisa menghilangkan gangguan dari kafir Quraisy. Namun, sambutan yang diterima Rasulullah sangat menyakitkan. Tak satu-pun dari mereka yang menerima ajaran Rasulullah. Bahkan, mereka mengejek dan melempari Rasulullah dengan batu hingga berdarah.
“Ya Muhammad, jika engkau mau aku akan benturkan kedua gunung di samping kota ini, sehingga siapapun yang tinggal di antara keduanya akan mati terimpit. Jika tidak, apapun hukuman yang engkau perintahkan, aku siap melaksanakannya,” kata Malaikat penjaga gunung.
“Aku berharap mudah-mudahan Allah nanti mengeluarkan dari tulang rusuk mereka (maksudnya, nanti ada anak keturunan penduduk Thaif) yang menyembah Allah yang Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun,” jawab Nabi. Sebuah jawaban yang isinya justru berupa doa kebaikan.
Mari lihat fragmen yang lain lagi. Alkisah, di setiap kali Nabi berjalan di depan rumah seorang wanita tua, Nabi Saw selalu diludahi oleh dia. Suatu hari, saat Nabi Saw melewati rumah wanita tua itu dan tidak menjumpainya, beliau lalu bertanya kepada seseorang.
Setelah mendapatkan jawaban bahwa wanita tua itu sedang sakit, Nabi langsung menjenguknya. Tentu saja, wanita tua itu tidak menyangka jika Nabi berkenan menjenguknya mengingat akan kelakuan jelek dirinya selama ini. Dia menangis di dalam hatinya.
“Wahai Muhammad, mengapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu,” tanya wanita tua itu.
“Aku yakin engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau telah mengetahuinya, aku yakin engkau tidak akan melakukannya,” jawab Nabi.
“Wahai Muhammad, mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu,” kata wanita tua itu dan lalu mengikrarkan dua kalimat syahadat: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Nol Musuh
“Menolak Kejahatan dengan Kebaikan” adalah mulia. Terkait ini, Nabi telah memberi contoh. Maka, jalankanlah perintah Allah dan ikutilah teladan Nabi. Untuk apa? Pertama, agar musuh Islam bisa menjadi teman yang sangat setia. Kedua, supaya bisa menjadi salah satu jalan bagi kita dan keluarga kita menuju Jannah seperti yang telah disebutkan di Ar-Ra’d 18-23. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni