Ribuan warga Surabaya turun ke jalan bukan dengan amarah, tapi dengan doa dan empati untuk Gaza. Aksi damai ini menggugah nurani: kemanusiaan tak boleh dibungkam, tak boleh diam.
Tagar.co — Ribuan warga berduyun-duyun memadati Jalan Gubernur Suryo di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Sabtu (19/4/25) pagi. Baju putih, bendera Palestina, dan poster-poster dukungan memenuhi jalan protokol kota. Mereka tak berteriak penuh amarah, tapi hadir dengan satu suara: kemanusiaan tidak boleh dibungkam.
Aksi Damai Bela Palestina ini diprakarsai oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Surabaya bersama 84 elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bela Palestina. Dalam aksi ini, mereka tak membawa senjata atau caci maki, melainkan doa, kepedulian, dan harapan—untuk rakyat Gaza yang hingga kini terus menjadi korban kebiadaban.
“Lebih dari 50.846 nyawa rakyat Palestina telah melayang hingga 10 April 2025, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan perempuan—kelompok paling rentan dalam konflik,” kata Musa Abdullah, Bendahara PDM Surabaya. “Kami ingin masyarakat Muslim, khususnya di Surabaya, memiliki empati yang tinggi terhadap saudara-saudara kita di Palestina.”

Aksi Simbolik, Suara Nyata
Di antara lautan manusia itu, tampak Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Simokerto, H. Sudarusman. Ia menyebut kehadirannya bukan semata-mata bentuk solidaritas simbolik, melainkan suara nyata dari hati nurani.
“Aksi ini adalah panggilan dari hati. Kita tidak boleh diam. Dunia harus tahu, dan media sosial adalah salah satu jembatan kita untuk menyuarakan kebenaran,” ujarnya lantang. Baginya, penyebaran informasi seharusnya menampilkan sisi kemanusiaan—bukan hanya angka, bukan hanya kehancuran, tapi juga kisah perjuangan dan harapan.
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak turut hadir menemui massa aksi. Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa perjuangan untuk Palestina bukan hanya milik umat Islam, melainkan perjuangan seluruh umat manusia.
“Peradilan internasional sudah bersuara. Ini bukan perjuangan satu agama, tapi perjuangan keadilan yang harus diperjuangkan bersama-sama,” katanya disambut sorak dan gemuruh tepuk tangan.

Jeritan Gaza, Gema dari Surabaya
Aksi ini menyisakan pertanyaan yang menggugah nurani: Apa yang akan kita rasakan jika keluarga kita dibom? Jika anak-anak yang kita cintai luluh lantak oleh ledakan? Jika ibu yang biasa memeluk kita kini tergeletak tanpa nyawa?
Itulah kenyataan yang dihadapi warga Gaza setiap hari. Jeritan mereka bukan fiksi. Tangisan mereka bukan efek suara. Semuanya nyata, menampar kemanusiaan kita yang mungkin perlahan beku oleh rutinitas dan ketidakpedulian.
“Bahkan mereka yang menekan pelatuk pun akan menangis jika anaknya sendiri jadi korban,” ujar seorang peserta aksi sambil menunduk, menahan haru.
Dari Surabaya, untuk Palestina
Hari itu, dari jalanan Surabaya, ribuan suara bergema. Lewat langkah kaki, poster, dan doa-doa yang terpanjat di bawah langit mendung, mereka mengirim pesan sederhana: Kami peduli. Kami bersamamu, Palestina.
Mungkin dunia terlalu bising untuk mendengar. Tapi semoga, di antara puing dan luka, suara dari Surabaya itu sampai—menjadi cahaya kecil yang menyinari harapan rakyat Gaza, bahwa dunia belum sepenuhnya membisu. (#)
Jurnalis M. Khoirul Anam Penyunting Mohammad Nurfatoni