Telaah

Ramadan dan Refleksi Diri dalam Jiwa-Jiwa Kering

113
×

Ramadan dan Refleksi Diri dalam Jiwa-Jiwa Kering

Sebarkan artikel ini
Ramadan dan Refleksi Diri dalam Jiwa-Jiwa Kering
Ramadan dan Refleksi Diri dalam Jiwa-Jiwa Kering

Ramadan bukan sekadar ritual menahan lapar dan haus. Ia adalah ladang luas untuk bertanam amal, menyiramnya dengan air mata tobat, dan memetik buah ampunan.

Tagar.coRamadan telah berlalu, namun jejak keberkahan dan curahan ampunannya semestinya masih membekas dalam hati kita. Ia datang dengan kelembutan cahaya, menyapa jiwa-jiwa yang kering karena dosa, menawarkan rahmat dan pengampunan yang tak terhingga.

Sungguh celaka orang yang tidak mendapat ampunan dari Allah selama bulan Ramadan. Bukan karena Allah pelit dengan rahmat-Nya, tapi karena hati mereka telah terlalu beku untuk mencair oleh cahaya iman.

Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ، ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ

“Celakalah seseorang yang menjumpai bulan Ramadhan, kemudian ia keluar dari bulan itu tanpa mendapatkan ampunan.”

(HR. Tirmidzi, no. 3545)

Hadis ini sangat jelas dan menukik dalam. Rasulullah tidak menggunakan kata-kata ringan. Kata “رَغِمَ أَنْفُهُ” secara harfiah bermakna “terhinakan hidungnya,” yaitu ungkapan keras yang menunjukkan betapa besar kerugian orang yang menyia-nyiakan kesempatan emas selama Ramadan.

Saat pintu-pintu surga dibuka lebar, pintu neraka ditutup rapat, dan setan-setan dibelenggu, lalu masih juga enggan bertobat dan mendekat kepada Allah? Maka ia sungguh keterlaluan.

Baca Juga:  Dahsyatnya Hari Akhir: Pesan Surah Al-Zalzalah untuk Kita

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.”

(QS. Al-Baqarah: 222)

Ramadan bukan sekadar ritual menahan lapar dan haus. Ia adalah ladang luas untuk bertanam amal, menyiramnya dengan air mata tobat, dan memetik buah ampunan. Jika seseorang tetap keras kepala, malas beribadah, tidak mau membuka hati untuk membaca Al-Qur’an, tidak mau menyesali dosanya, bagaimana mungkin ia berharap pengampunan? Padahal Allah telah membuka semua jalan untuk kembali.

Allah berfirman lagi:

قُلْ يَـٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

“Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Bulan Ramadan adalah waktu di mana langit seolah condong ke bumi, dan ampunan Ilahi turun bak hujan deras tanpa batas. Maka wajar bila Rasulullah menyebut “celaka” bagi mereka yang masih membangkang, enggan sujud, enggan menangis dalam doa, enggan bersedekah, dan terus-terusan melalaikan hak Allah.

Baca Juga:  Misteri di Pantai Selatan Miami: Pintu yang Tertutup

Cobalah kita renungkan, berapa kali kita membaca Al-Qur’an selama Ramadan? Berapa kali kita menangis karena dosa yang sudah bertumpuk? Berapa banyak shalat malam yang kita dirikan dengan penuh harap? Berapa kali kita memohon dengan tulus: “Ya Allah, ampunilah aku”?

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari, no. 38; Muslim, no. 760)

Hadis ini bukan sekadar janji, tapi undangan langit kepada manusia-manusia yang ingin kembali. Iman dan ihtisab—itulah syaratnya. Bukan sekadar puasa formalitas, tapi puasa yang menggerakkan hati, yang menghadirkan kesadaran penuh bahwa ia sedang berada dalam dekapan rahmat Allah. Maka, siapa pun yang masih tidak diampuni dalam bulan yang penuh karunia ini, itu karena dirinya sendiri yang berpaling.

Namun, kita bukan malaikat. Kita manusia. Kita sering lupa. Kita sering gagal. Tapi selama nyawa masih dikandung badan, selama Ramadan masih memberi bekas dalam hati, selama dada ini masih bisa merasakan harap, selama lidah ini masih bisa mengucap “astaghfirullah”, maka pintu tobat itu tidak pernah tertutup.

Baca Juga:  Tiga Jejak Digital: Jejak yang Tak Terlihat

Mari kita bersyukur bila selama Ramadan kemarin kita sempat beribadah, sempat menangis, sempat merasa hina di hadapan Allah. Semoga itu pertanda kita termasuk yang diampuni. Tapi jika sebaliknya, maka jangan berputus asa. Segeralah bangkit dan perbaiki diri. Ramadan memang sudah pergi, tapi Rabb Ramadan tidak pernah pergi. Dia tetap Maha Pengampun kapan pun kita kembali.

Semoga kita bukan termasuk orang yang disindir keras oleh Nabi karena tidak diampuni. Dan semoga kita termasuk hamba-hamba yang direngkuh ampunan Allah, tidak hanya selama Ramadan, tapi sampai ajal menjemput dalam keadaan husnul khatimah.

آمِيْن يَا رَبَّ الْعَالَمِيْن

Jurnalis Dwi Taufan Hidayat. Penyunting Ichwan Arif.