FilmUtama

Pengepungan di Bukit Duri: Horor Sosial dalam Ruang Kelas

1073
×

Pengepungan di Bukit Duri: Horor Sosial dalam Ruang Kelas

Sebarkan artikel ini
Jefri diperankan oleh Omara N. Esteghlal (kedua dari kanan) pemimpin geng SMA Duri (foto imdb.com)

Apa jadinya jika ruang aman seperti sekolah berubah menjadi medan perang? Jika dinding-dinding kelas bukan lagi pelindung pengetahuan, melainkan tembok terakhir dari sebuah pengepungan kebencian?

Tagar.co – Pengepungan di Bukit Duri (judul versi internasional: The Siege at Thorn High), film terbaru Joko Anwar, bukan sekadar karya fiksi distopia. Ia adalah alarm sosial yang dibunyikan lewat sinema—tentang bagaimana intoleransi yang dibiarkan bisa menjelma menjadi kekerasan sistemik. Lewat film ini, Joko tak hanya membuat kita takut, tetapi juga mengajak kita merefleksi: siapa yang benar-benar terkepung dalam negeri ini?

Setelah memukau publik lewat Perempuan Tanah Jahanam dan Pengabdi Setan, Joko kini menghadirkan teror yang lebih membumi—tanpa makhluk gaib, tanpa kutukan warisan—melainkan dari sesama manusia yang dicekoki kebencian dan ketakutan.

Baca juga: ‘Jumbo’ Terbang Tinggi, Ekosistem Animasi Tertinggal

Film dibuka dengan kilasan tahun 2009, menampilkan kerusuhan yang secara visual menggugah ingatan kolektif akan trauma Mei 1998. Ini bukan sekadar latar, tapi penanda bahwa kekerasan komunal di Indonesia bukan cerita lama yang selesai. Ia berulang, berganti nama, tetap mematikan.

Kisah kemudian bergerak ke tahun 2027. Di Jakarta yang lebih represif dan segregatif, berdirilah SMA Duri Jakarta—sekolah penampungan untuk remaja dari kelompok yang dimarjinalkan.

Edwin (Morgan Oey), seorang guru pengganti, datang dengan idealisme dan misi pribadi: mencari keponakannya yang hilang. Tapi sekolah itu sedang dikepung massa intoleran yang terhasut propaganda. Di dalam sekolah, para siswa hidup dalam ketakutan, sementara di luar pagar, negara memilih bungkam.

Baca Juga:  Dari Ruang Rawat Inap ke Ruang Redaksi: Kisah Kelahiran Tagar.co
Edwin diperankan Morgan Oey (kiri) dan Kristo diperankan Endy Arfian. (foto imdb.com)

SMA Duri berubah menjadi ruang genting yang berlapis: kelas sebagai benteng, lorong sebagai labirin, dan manusia sebagai pelaku sekaligus korban. Dipimpin oleh Jefri (Omara N. Esteghlal), para siswa bukan sekadar remaja bermasalah, tapi simbol dari sistem yang gagal total. Film ini menyiratkan bahwa di Indonesia masa depan, bahkan lembaga pendidikan bisa menjadi penjara ideologis—dan korban utamanya selalu minoritas.

Bersama guru lain, Diana (Hana Pitrashata Malasan), dan dua siswa—Kristo (Endy Arfian) dan Rangga (Fatih Unru)—Edwin terjebak dalam situasi hidup dan mati di dalam sekolah yang kini menjelma menjadi medan pertempuran.

SMA Duri berubah menjadi ruang genting yang berlapis: kelas sebagai benteng, lorong sebagai labirin, dan manusia sebagai pelaku sekaligus korban. Dipimpin oleh Jefri (Omara Esteghlal), para siswa bukan sekadar remaja bermasalah, tapi simbol dari sistem yang gagal total.

Baca juga: “Adolescence”: Cermin Sunyi di Tengah Kebisingan Zaman

Naskah film ini sebenarnya ditulis Joko pada 2007, ketika demokrasi Indonesia mulai digerogoti pelan-pelan. Ia menunda produksinya selama lebih dari satu dekade, dan kini film itu terasa bukan hanya tepat waktu—tetapi mungkin justru terlalu dekat dengan kenyataan hari ini.

Baca Juga:  Ketika Dua Fatoni Bertukar Ilmu di Laboratorium Canggih

Yang membuat film produksi Come and See Pictures dengan studio besar Hollywood, Amazon MGM Studios ini menonjol bukan hanya isi pesannya, tapi juga bagaimana ia disampaikan. Sinematografi karya Jaisal Tanjung terasa seperti mata-mata yang mengintip dari celah-celah; kamera statis, sudut pandang menyudut, cahaya temaram, semuanya menyampaikan rasa waswas yang terus menempel hingga akhir.

Pilihan warna kelam dan tekstur kasar pada ruang-ruang sekolah memperkuat nuansa bahwa kita tidak sedang berada di institusi pendidikan, melainkan medan perang psikologis.

Edwin dan Diana diperankan Hana Pitrashata Malasan (foto imdb.com)

Meski kekerasan dalam film ini ditampilkan secara frontal dan emosional, namun tidak eksploitif. Joko Anwar tidak sekadar menampilkan darah atau luka, melainkan membiarkan kita menyaksikan bagaimana teror tumbuh dari bisikan, dari keraguan, dari suara napas yang memburu di balik dinding tipis.

Tidak banyak dialog yang menjelaskan latar belakang sistemik dari konflik ini. Tapi justru dari keheningan, dari tatapan para tokohnya, kita paham bahwa kekacauan ini bukan terjadi tiba-tiba. Ia dipupuk pelan-pelan, lewat sistem pendidikan yang eksklusif, media yang manipulatif, dan negara yang abai. Film yang diputar perdana pada 17 April 2025 ini bukan tentang siapa yang salah, tapi tentang sistem yang membiarkan kekacauan berkembang hingga tak terkendali.

Baca Juga:  One Battle After Another: Potret Ayah Rapuh di Balik Revolusi

Namun, intensitas yang terus-menerus itu juga menjadi titik lemah film ini. Nyaris tak ada jeda emosional untuk penonton bernapas. Beberapa karakter pendukung, seperti kepala sekolah atau aparat yang hadir di luar pagar sekolah, hadir hanya sebagai fungsi naratif—bukan sebagai sosok dengan kompleksitas. Tapi ini bisa dimaklumi sebagai bentuk tekanan naratif: bahwa dalam situasi pengepungan, manusia kehilangan nuansa dan hanya tinggal garis besar—bertahan atau hancur.

Jika Pengabdi Setan adalah horor domestik dan Perempuan Tanah Jahanam adalah horor warisan, maka Pengepungan di Bukit Duri adalah horor institusional—tentang bagaimana sebuah sistem sosial yang gagal bisa membunuh pelan-pelan.

Kekerasan dalam film ini bukan akibat satu-dua individu jahat, tapi hasil dari sistem yang membentuk, menoleransi, lalu membungkam. Dan di dalamnya, minoritas seperti etnis Tionghoa tak hanya kehilangan tempat, tapi juga kehilangan narasi.

Film ini tidak dimaksudkan untuk menghibur. Ia mengusik. Ia membekas. Dan mungkin itu yang membuatnya penting: karena di tengah tontonan yang ingin menyenangkan, Pengepungan di Bukit Duri berani menjadi luka yang perlu ditatap. (#)

Mohammad Nurfatoni; menonton film ini Ahad (20/4/25) di XXI Gressmall Gresik