
KUHAP 2025 sudah disahkan DPR. Namun perdebatan masih mengiringi. Sebab unadng-undang itu terasa seperti paket upgrade kewenangan negara, sementara perlindungan hak warga khususnya tersangka belum benar-benar diperkuat.
Oleh R. Arif Mulyohadi, Praktisi dan Akademisi, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim
Tagar.co – Pengesahan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2025 disambut dengan dua rasa yang bertolak belakang. Di kalangan pemerintah dan sebagian pembentuk undang-undang, ia dirayakan sebagai tonggak baru reformasi hukum pidana: hukum acara warisan 1981 yang dianggap “uzur” akhirnya diganti, diselaraskan dengan KUHP baru, dan diklaim lebih modern serta responsif terhadap perkembangan zaman.
Namun di luar itu, terutama di lingkaran bantuan hukum, akademisi, dan koalisi masyarakat sipil, nada yang muncul jauh lebih muram. Di mata mereka, KUHAP 2025 justru terasa seperti paket “upgrade” kewenangan negara, sementara perlindungan hak warga khususnya tersangka belum benar-benar diperkuat.
Pertanyaannya, tentu saja, bukan sekadar apakah KUHAP ini baru, tetapi: apakah KUHAP 2025 sejalan dengan prinsip due process of law dan cita-cita Negara Hukum Pancasila, atau malah bergeser ke pola negara kepolisian yang sulit dikontrol?
Apa Sebenarnya yang Dimaksud Due Process of Law?
Istilah due process of law sering terdengar teknis, tapi maknanya sederhana: kalau negara mau mengambil kebebasan seseorang, yaitu menangkap, menahan, menggeledah, menyita, menyadap, hingga menghukumnya, itu hanya boleh dilakukan melalui prosedur yang adil, transparan, dan bisa diuji di depan hakim yang independen.
Di dalamnya melekat beberapa prinsip dasar:
- setiap orang berhak tahu dengan jelas apa sangkaan pidananya;
- berhak didampingi penasihat hukum sejak awal;
- berhak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatan;
- berhak menguji keabsahan penangkapan dan penahanan di pengadilan;
- dan berhak diadili oleh pengadilan yang terbuka dan tidak memihak.
Prinsip-prinsip ini bukan barang impor yang dipaksakan dari luar. UUD 1945 sendiri sudah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3)), menjamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat (1)), serta melindungi warga dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 28G ayat (1)).
Artinya, ukuran utama sebuah KUHAP bukan hanya seberapa efektif ia membantu “memberantas kejahatan”, tetapi sejauh mana ia membatasi kekuasaan negara agar tidak jatuh pada tindakan sewenang-wenang. Di sinilah due process of law menjadi batu uji.
Janji-Janji Progresif KUHAP 2025
Untuk adil, KUHAP 2025 tidak layak dicap “buruk total”. Ada beberapa langkah normatif yang secara konsep patut diapresiasi.
Pertama, pengakuan terhadap kelompok rentan lebih eksplisit. Anak, perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya tidak lagi diposisikan sebagai subjek yang “netral”, tetapi diakui membutuhkan perlindungan khusus di sepanjang proses peradilan pidana. Ini menjawab sebagian kritik lama bahwa sistem kita cenderung mengabaikan kerentanan tertentu.
Kedua, keadilan restoratif diatur lebih sistematis. Penyelesaian perkara tidak selalu diarahkan ke vonis penjara; ada ruang untuk dialog antara pelaku dan korban, pemulihan kerugian, dan rekonsiliasi sosial. Dalam konteks penjara yang over kapasitas dan tingginya angka residivisme, gagasan ini relevan dan perlu.
Ketiga, bukti elektronik diakui secara lebih tegas. Di era kejahatan siber dan transaksi digital, ini bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan. Pengaturan bukti elektronik memberi dasar hukum lebih jelas untuk penanganan kejahatan yang meninggalkan jejak di ruang digital.
Keempat, bantuan hukum disebut lebih tegas dalam naskah. Negara diingatkan punya kewajiban memastikan seseorang yang terancam pidana berat dan tidak mampu secara ekonomi tidak dibiarkan berhadapan sendirian dengan sistem peradilan pidana.
Secara teks, deretan ini tampak progresif. Tetapi due process of law tidak berhenti pada apa yang tertulis. Ia menuntut konsistensi antara pengakuan hak dan desain kewenangan. Di titik inilah KUHAP 2025 menuai kritik paling tajam.
Titik-Titik Rawan: Di Mana Hak Tersangka Bisa Tergeser
Jika kita perhatikan lebih dekat, ada beberapa area krusial yang justru berpotensi menggeser posisi tersangka ke arah yang lebih rentan.
- Bantuan hukum: hak yang bisa “dilepas” di atas kertas
Di satu sisi, KUHAP 2025 mengulang janji bahwa tersangka berhak atas penasihat hukum. Namun pada saat yang sama, dibuka ruang bagi praktik yang selama ini justru dikritik oleh lembaga bantuan hukum:
- Penyidik bisa menunjuk sendiri penasihat hukum bagi tersangka yang tidak mampu dan tidak punya kuasa hukum. Di atas kertas, ini tampak melindungi. Dalam praktik, ini menyimpan potensi konflik kepentingan ketika advokat yang “ditunjukkan” lebih dekat kepada aparat daripada kepada kliennya sendiri.
- Tersangka bisa diminta menandatangani surat penolakan pendampingan penasihat hukum. Dalam relasi kuasa yang timpang, tersangka berada dalam tekanan, belum sepenuhnya paham haknya, bahkan mungkin belum mengerti isi dokumen — tanda tangan ini mudah berubah menjadi alat legitimasi: hak sudah “ditawarkan”, lalu dianggap sah untuk dilepas.
Secara formal, hak bantuan hukum diakui. Tetapi jika mekanisme seperti ini dibiarkan, hak itu berisiko turun derajat menjadi sekadar formalitas prosedural, bukan perlindungan substantif.
- Ruang advokat di tahap penyidikan: hadir, tapi bisa dibisukan
Peran advokat di ruang penyidikan semestinya menjadi tembok pertama yang mencegah intimidasi, paksaan, dan rekayasa keterangan. Namun kritik terhadap KUHAP 2025 menunjukkan bahwa peran tersebut belum sepenuhnya ditempatkan sebagai penyeimbang yang setara.
Ada kekhawatiran bahwa advokat hanya diposisikan sebagai pendamping pasif: boleh hadir, tetapi ruang intervensinya minim. Jika penasihat hukum tidak punya kewenangan efektif untuk menghentikan pertanyaan yang melanggar prosedur, memprotes tekanan psikologis, atau menolak cara pemeriksaan yang tidak manusiawi, maka kehadirannya mudah berubah menjadi sekadar dekorasi.
Bagi tersangka, ini berarti kembali sendirian di hadapan negara, hanya saja sekarang ditemani figur “pengacara” yang tidak benar-benar dapat bertindak sebagai pelindung hak.
- Penyelidikan yang terlalu kuat: penangkapan dan penahanan di fase dini
Secara konsep, penyelidikan adalah tahap awal ketika aparat mencari tahu apakah benar ada peristiwa pidana. Di fase ini, seharusnya standar pembatasan kebebasan masih sangat ketat.
Justru di sini KUHAP 2025 menuai kritik keras. Kewenangan yang diberikan di tahap penyelidikan, mulai dari penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, hingga penahanan, dinilai terlalu luas. Negara boleh bertindak seolah-olah tindak pidana sudah terbukti, padahal secara hukum, peristiwanya belum jelas.
Dalam praktik, garis batas antara “penyelidikan” dan “penyidikan” menjadi kabur. Warga bisa mengalami efek penuh dari sistem pidana, kehilangan kebebasan, stigmatisasi sosial, tekanan mental, sebelum negara benar-benar memenuhi standar minimum pembuktian. Bagi due process of law, ini jelas alarm bahaya.
- Pencegahan dan Jebakan
KUHAP 2025 mengatur penggunaan metode seperti undercover buy dan controlled delivery sebagai bagian dari teknik penyelidikan. Metode ini lazim dipakai di kejahatan tertentu seperti narkotika, dan pada titik tertentu bisa dipahami sebagai cara untuk mengungkap jaringan kejahatan yang tertutup.
Masalahnya terletak pada batasan dan pengawasan. Jika dasar hukumnya terlalu longgar, jenis perkara yang diperbolehkan terlalu luas, dan kontrol hakim minim, metode ini bisa bergeser dari mengungkap kejahatan menjadi menciptakan situasi yang mendorong orang jatuh ke dalam perangkap hukum.
Tanpa rambu yang ketat, warga bisa berada di posisi “dibuat salah” melalui skenario yang disusun aparat, kemudian diproses secara sah menurut hukum. Di mata publik, inilah wajah negara kepolisian yang paling menakutkan: negara tidak lagi sekadar menindak kejahatan, tetapi berpotensi memproduksinya.
- Restorative justice dan pengakuan bersalah: ruang pemulihan atau ruang tekanan?
Keadilan restoratif dan skema pengakuan bersalah (plea bargaining) disebut sebagai inovasi penting KUHAP 2025. Secara gagasan, ini menarik: perkara tidak harus berakhir di penjara, dan pelaku dapat memperoleh keringanan jika mengakui perbuatannya atau bekerja sama.
Namun di tengah sistem yang timpang, mekanisme seperti ini menyimpan sisi gelap. Tersangka yang ditahan berhari-hari atau berminggu-minggu mudah terdorong “mengaku” demi keluar lebih cepat, terlepas apakah ia benar-benar bersalah atau tidak. Korban pun bisa ditekan untuk “berdamai” demi menyelesaikan perkara, meski batinnya belum pulih dan posisinya lemah.
Jika keadilan restoratif dan pengakuan bersalah tidak dijaga dengan standar ketat, transparansi, keterlibatan korban yang autentik, pendampingan hukum yang kuat, dan pengawasan hakim yang serius maka keduanya berubah menjadi alat negosiasi yang tidak seimbang, bukan instrumen keadilan.
Mengembalikan KUHAP ke Rel Negara Hukum Pancasila
Dari rangkaian poin di atas terlihat pola yang cukup konsisten: KUHAP 2025 memasukkan banyak kata kunci yang baik, berupa bantuan hukum, keadilan restoratif, perlindungan kelompok rentantetapi pada saat bersamaan membuka banyak “pintu belakang” bagi perluasan kewenangan aparat dengan kontrol hakim yang belum sepadan.
Di sinilah seharusnya peran Negara Hukum Pancasila diuji secara serius. Negara hukum bukan sekadar papan nama; ia menuntut tiga hal:
- Kekuasaan negara dibatasi secara nyata, terutama ketika menyentuh kebebasan dan martabat manusia.
- Hak tersangka diakui dan dapat dijalankan dalam praktik, bukan hanya hadir sebagai deretan pasal.
- Peradilan yang independen dan berani untuk mengoreksi penyimpangan prosedural, meskipun itu berarti membatalkan perkara yang sudah terlanjur “ramai” di media.
Karena itu, langkah korektif terhadap KUHAP 2025 menjadi penting, mulai dari penguatan kontrol hakim atas upaya paksa, penghapusan pasal-pasal karet yang membuka peluang penyalahgunaan, sampai penataan ulang mekanisme bantuan hukum, restorative justice, dan pengakuan bersalah agar berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar efisiensi perkara.
Pada akhirnya, KUHAP bukan milik pemerintah atau aparat penegak hukum. Ia milik seluruh warga yang suatu hari bisa saja karena salah tuduh, salah sangka, atau memang tersandung kesalahan — duduk di kursi tersangka dan menggantungkan harapan pada satu hal: bahwa negara, betapapun kuatnya, tetap tunduk pada hukum, dan hukum tetap tunduk pada keadilan.
Itulah ujian sejati KUHAP 2025. Bukan seberapa tebal buku undang-undangnya, tetapi seberapa kuat ia berdiri membela hak orang yang paling rentan di hadapan kekuasaan. (#)
Penyunting Sugeng Purwanto












