
Keracunan massal Makanan Bergizi Gratis terjadi di beberapa daerah. Menurut Badan Gizi Nasional korbannya mencapai 6.517 anak mulai Januari hingga September 2025. Penerima makanan ini sudah mencapai 30 juta orang. Meskipun angka korban keracunan 0,28 persen dari penerima makanan, pengelola bisa terkena sanksi pidana kalau terbukti lalai.
Oleh R. Arif Mulyohadi, dosen Prodi Hukum Pidana Islam, Institut Agama Islam Syaichona Mohammad Cholil Bangkalan dan anggota Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jatim
Tagar.co – Di tengah ketidakpastian sosial-ekonomi, pemerintah dan organisasi sosial mengurangi dampak kemiskinan dengan menyediakan program makan bergizi untuk masyarakat yang membutuhkan.
Tujuan program ini memberikan akses makanan sehat bagi masyarakat. Namun kasus terbaru keracunan massal karena makan sajian MBG (Makan Bergizi Gratis).
Banyak muncul pertanyaan, bagaimana bisa makanan yang tujuan baik malah membawa bencana? Siapa yang bertanggung jawab atas keracunan massal ini? Bagaimana sanksi hukum yang diterapkan terhadap pihak-pihak yang lalai dalam kejadian ini?
Kasus keracunan massal ini memicu perdebatan pentingnya pengelolaan program MBG yang lebih baik.
Artikel ini membahas pengelolaan program MBG, tanggung jawab yang harus diemban oleh pengelola dan negara, serta sanksi hukum yang seharusnya diberikan agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Tujuan Mulia Melupakan Risiko
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang memiliki tujuan mulia: untuk memastikan anak-anak dan lansia mendapatkan makanan bergizi.
Langkah ini diambil pemerintah dan organisasi sosial untuk mengatasi masalah gizi buruk. MBG berfungsi sebagai sarana untuk memperbaiki kualitas hidup mereka yang tidak memiliki akses ke makanan sehat dan bergizi.
Di lapangan pelaksanaan tidak berjalan mulus. Masalah terbesar adalah pengelolaan dan distribusi yang lambat.
Proses pengadaan makanan yang tidak sepenuhnya memenuhi standar kebersihan dan keamanan pangan yang dapat menimbulkan risiko, seperti keracunan massal.
Kasus keracunan massal yang terjadi di Jawa Tengah baru-baru ini menjadi contoh ada yang tak beres dalam pengelolaan makanan.
Keracunan makanan menimbulkan penderitaan fisik bagi korban dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap program bantuan sosial tersebut.
Tanggung Jawab Pengelola
Pengelola program MBG memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa makanan yang disalurkan aman dikonsumsi. Dalam kasus keracunan massal ini, pengelola program harus bertanggung jawab penuh atas kelalaian yang terjadi.
Hal ini mengacu pada prinsip dasar dalam hukum yang menyatakan bahwa siapa yang melakukan kelalaian dan menyebabkan kerugian bagi orang lain harus bertanggung jawab.
Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Hendra S. Putra, seorang ahli hukum dari Universitas Indonesia, setiap pengelola program sosial harus mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah terkait pengadaan makanan.
“Jika pengelola program MBG lalai dalam memenuhi standar kesehatan, maka mereka harus dipertanggungjawabkan.”
Jika ditemukan bukti bahwa pengelola tidak memeriksa bahan makanan dengan benar atau tidak memperhatikan kebersihan tempat penyimpanan, maka pengelola program tersebut dapat dikenakan sanksi hukum.
Dalam pandangan hukum, kelalaian dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada kualitas bahan makanan, tetapi juga mencakup pengawasan terhadap cara distribusi makanan kepada masyarakat.
Ketika pengelola tidak menjalankan tugas mereka dengan hati-hati, mereka bisa dianggap melanggar kewajiban mereka untuk menjaga keselamatan konsumen yang mengandalkan makanan tersebut.
Kelalaian Berujung Kerugian
Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, seseorang yang dengan kelalaian menyebabkan orang lain menderita luka atau bahkan meninggal dunia dapat dikenakan sanksi pidana.
Ini berlaku pula dalam kasus keracunan massal akibat program MBG. Menurut pasal 359 KUHP, seorang pengelola yang terbukti lalai dalam memastikan keamanan makanan yang didistribusikan dapat dihukum penjara jika keracunan yang terjadi mengakibatkan kerugian serius bagi masyarakat.
Dr. Siti Rahmawati, seorang pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, menekankan pentingnya pembuktian kelalaian.
“Dalam kasus ini, jika terbukti bahwa pengelola program tidak melakukan pengecekan kualitas makanan secara menyeluruh, mereka dapat dikenakan tuntutan pidana.”
Pembuktian kelalaian ini sangat bergantung pada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti pemeriksaan terhadap proses penyimpanan, pengolahan, dan distribusi makanan yang dilakukan oleh pengelola program MBG.
Namun, hukum pidana tidak serta merta menjatuhkan sanksi berat jika tidak ada unsur kesengajaan.
Dalam kasus ini, kelalaian harus dibuktikan melalui serangkaian bukti yang menunjukkan bahwa pengelola benar-benar tidak memenuhi kewajibannya untuk memastikan bahwa makanan yang diberikan aman untuk dikonsumsi.
Tanggung Jawab Negara
Selain pengelola program MBG, negara juga memegang peran penting dalam mengawasi dan memastikan bahwa program ini dilaksanakan dengan benar.
Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap program bantuan sosial, termasuk MBG, berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah, terutama dalam hal keamanan pangan.
Pemerintah melalui kementerian terkait, seperti Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), harus memastikan bahwa bahan makanan yang digunakan dalam program ini telah memenuhi standar gizi dan kebersihan yang ketat.
Negara juga harus menyediakan pelatihan yang memadai kepada para pengelola program MBG untuk mencegah terjadinya kelalaian yang dapat berujung pada keracunan massal.
Dr. Hendra Putra menekankan bahwa pengawasan yang ketat oleh negara sangat diperlukan. “Pemerintah harus memastikan bahwa semua aspek dalam program MBG, dari pengadaan hingga distribusi, telah memenuhi standar keamanan pangan yang berlaku. Tanpa pengawasan yang baik, risiko seperti keracunan massal ini dapat terjadi,” katanya.
Sanksi Hukum
Sanksi hukum yang diberikan kepada pengelola program MBG dan pihak yang terlibat harus sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
Dalam kasus keracunan massal, sanksi pidana dapat dikenakan jika terbukti adanya kelalaian yang menyebabkan kerugian yang besar bagi masyarakat.
Selain itu, sanksi administratif seperti pencabutan izin atau penghentian program sementara dapat dikenakan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Dr. Siti Rahmawati menambahkan bahwa sanksi yang diberikan harus memiliki efek jera bagi pengelola lainnya.
“Pemberian sanksi yang tegas akan mengingatkan pengelola program sosial lainnya untuk lebih berhati-hati dan memastikan bahwa program yang dijalankan tidak membahayakan keselamatan masyarakat.”
Di sisi lain, kompensasi atau santunan kepada korban juga perlu dipertimbangkan. Korban yang mengalami keracunan akibat makanan MBG berhak mendapatkan ganti rugi, baik berupa biaya pengobatan maupun santunan untuk penderitaan yang mereka alami.
Hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab pengelola program untuk memastikan bahwa setiap korban mendapat perhatian yang layak.
Kesimpulan
Kasus keracunan massal akibat program MBG menunjukkan bahwa meskipun program ini memiliki niat baik, kesalahan dalam pengelolaan bisa berakibat fatal.
Pengelola program dan negara memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa program ini berjalan dengan aman dan sesuai dengan aturan yang ada.
Sanksi hukum yang tegas dan jelas perlu diterapkan untuk memberi efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa depan.
Pengawasan yang ketat, pengelolaan yang profesional, dan pemenuhan standar keamanan pangan adalah kunci untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap program-program sosial.
Hukum harus menjadi alat untuk melindungi hak-hak warga negara dan memastikan bahwa program bantuan sosial dapat memberikan manfaat yang maksimal tanpa menimbulkan risiko kesehatan. (#)
Penyunting Sugeng Purwanto