Opini

Kasus Bakso Babi di Bantul: Ujian Serius bagi Penegakan UU Jaminan Produk Halal

353
×

Kasus Bakso Babi di Bantul: Ujian Serius bagi Penegakan UU Jaminan Produk Halal

Sebarkan artikel ini
Warung bakso yang dipasangi spanduk tidak halal di wilayah Kelurahan Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. (Foto DMI Ngestiharjo)

Kasus bakso babi di Kasihan, Bantul, bukan sekadar soal spanduk dan persepsi publik. Ia menyingkap lemahnya pengawasan dan kejujuran pelaku usaha dalam memberi informasi halal. Negara wajib hadir menegakkan hukum dengan tegas dan adil.

Oleh Abdul Rahem; Ketua Pusat Halal Universitas Airlangga

Tagar.co – Kasus warung bakso di Kasihan, Bantul, Yogyakarta, yang viral karena spanduk bertuliskan “Bakso Babi (Tidak Halal)” dengan logo Dewan Masjid Indonesia (DMI), kembali membuka mata publik tentang pentingnya kejujuran dan transparansi dalam pemberian informasi kepada konsumen.

Spanduk itu dipasang bukan untuk menjatuhkan pelaku usaha, melainkan agar masyarakat—terutama umat Islam—tidak salah membeli dan dapat menjalankan ajaran agamanya dengan tenang.

Baca juga: Kasus Ayam Goreng Widuran: Cermin Hilangnya Kejujuran Pelaku Usaha

Masalah mulai muncul ketika takmir masjid setempat menerima keluhan dari warga. Banyak pembeli muslim, terutama perempuan berjilbab, mengaku tidak tahu bahwa bakso yang mereka beli mengandung daging babi. DMI pun turun tangan. Mereka memasang spanduk pertama bertuliskan “Bakso Babi” disertai logo DMI.

Namun, niat baik itu sempat disalahartikan. Beberapa warganet menilai langkah tersebut seolah DMI mendukung usaha nonhalal. Kritik datang dari berbagai arah. Untuk meredam kesalahpahaman, DMI kemudian merevisi tulisan di spanduk menjadi “Bakso Babi (Tidak Halal)”, sambil menegaskan bahwa tujuan mereka murni untuk edukasi publik, bukan untuk mematikan usaha pedagang.

Momentum Refleksi

Kasus ini menjadi momentum reflektif bahwa penerapan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) masih menghadapi tantangan serius di lapangan.

Padahal, semangat undang-undang tersebut bukanlah untuk membatasi ruang usaha, melainkan memastikan hak masyarakat atas informasi yang benar dan hak umat Islam untuk mengonsumsi produk halal.

UU terseut oleh sebagian orang mungkin dilihat sebagai bentuk pembatasan baru dalam dunia perdagangan. Namun sejatinya, kehadiran undang-undang ini bukanlah simbol diskriminasi atau pembeda antar kelompok, melainkan wujud nyata dari perlindungan dan penghormatan terhadap keyakinan masyarakat Indonesia, terutama mereka yang beragama Islam.

Bagi umat Islam, kehalalan bukan sekadar label pada kemasan, melainkan bagian dari kewajiban syariat dan identitas spiritual. Makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, hingga barang konsumsi lainnya harus dipastikan bersih dari unsur yang dilarang oleh agama.

Baca Juga:  Mak Jomblang Tagar.co, M. Anwar Djaelani Ajak 50 Penulis Bergabung

Di sinilah peran UU Jaminan Produk Halal menjadi penting: ia hadir untuk memberikan kepastian dan ketenangan hati bagi konsumen, sekaligus dorongan bagi produsen agar lebih bertanggung jawab terhadap apa yang mereka hasilkan dan edarkan.

Kewajiban sertifikasi halal sebagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal bagi setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia tidak dimaksudkan untuk menyingkirkan siapa pun.

Sebaliknya, ini adalah bentuk jaminan mutu dan transparansi. Produsen nonmuslim tetap memiliki ruang dan kesempatan yang sama, cukup dengan memenuhi standar halal yang telah ditetapkan negara. Prinsipnya sederhana: bukan siapa yang membuat, tetapi bagaimana produk itu dihasilkan.

UU ini juga mencerminkan wajah toleransi khas Indonesia. Di satu sisi, ia menghormati kebutuhan mayoritas umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya; di sisi lain, ia tetap menjamin keadilan bagi seluruh pelaku usaha dengan sistem sertifikasi yang jelas, terbuka, dan profesional.

Dengan begitu, semua pihak diuntungkan: konsumen mendapatkan kepastian, produsen memperoleh kepercayaan, dan negara menjaga keharmonisan sosial.

Lebih dari sekadar regulasi, UU No. 33 Tahun 2014 adalah wujud komitmen moral bangsa untuk hidup berdampingan dalam keberagaman dengan saling menghormati. Di dalamnya tersimpan pesan bahwa menjalankan keyakinan tidak harus mengorbankan toleransi, dan memberikan jaminan tidak berarti meniadakan kebebasan.

UU Jaminan Produk Halal: Menegakkan Kepastian, Bukan Pemaksaan

Kehadiran undang-undang tersebut merupakan langkah penting dalam mewujudkan sistem perlindungan konsumen yang adil dan berlandaskan nilai-nilai keagamaan.

Banyak yang keliru memahami bahwa kewajiban sertifikasi halal berarti bentuk diskriminasi atau pemaksaan keyakinan. Padahal, semangat yang melandasi undang-undang ini justru adalah jaminan kepastian dan hak beragama, khususnya bagi umat Islam yang diwajibkan mengonsumsi produk halal sesuai syariat.

UU ini tidak serta-merta mengharuskan semua produk yang ada di Indonesia menjadi halal. Yang diwajibkan bersertifikat halal adalah produk yang memang berasal dari bahan halal dan diproses sesuai dengan syariat Islam sehingga menghasilkan produk yang halal secara utuh.

Regulasi ini memastikan bahwa klaim “halal” bukan sekadar kata di label, melainkan hasil dari proses yang terverifikasi dan dapat dipertanggungjawabkan.

Baca Juga:  Peran Strategis Pendidikan Tinggi Farmasi dalam Membangun Industri Halal

Menariknya, UU ini juga memberikan ruang bagi produk yang tidak halal. Undang-undang tidak pernah menyatakan bahwa produk haram dilarang beredar atau harus diusir dari negeri ini.

Produk nonhalal tetap boleh diproduksi dan dipasarkan di Indonesia, selama secara jujur mencantumkan keterangan bahwa produk tersebut mengandung bahan yang haram.

Sebagaimana tercantum pada Pasal 26 dalam UU tersebut: “Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.”

Juga sebagaimana tercantum pada Bab Penjelasan Umum poin (2):

“Undang-undang ini mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha dengan memberikan pengecualian terhadap pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk.”

Dengan begitu, masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan informasi yang jelas dan transparan tanpa tertipu atau terjebak karena tidak ada informasi yang memadai.

Perlindungan yang Masih Perlu Diperjuangkan

Sungguh disayangkan, meskipun Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah diberlakukan sebagai bentuk perlindungan bagi konsumen, kenyataan di lapangan masih menunjukkan adanya pelanggaran terhadap semangat kejujuran dan transparansi yang menjadi roh undang-undang ini.

Masih ada pelaku usaha yang memproduksi produk tidak halal namun tidak memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat, seolah-olah menutup-nutupi identitas produknya demi keuntungan semata.

Salah satu contoh sepeti disebut di atas adalah kasus bakso di Kasihan, Bantul, yang viral setelah dipasangi spanduk oleh DMI, di mana ditemukan penggunaan bahan tidak halal (babi) tanpa disertai penjelasan yang transparan kepada konsumen. Akibatnya, banyak masyarakat—khususnya umat Islam—tanpa sadar turut mengonsumsi produk tersebut karena ketidaktahuan.

Peristiwa seperti ini bukan hanya melanggar prinsip kehalalan dalam agama, tetapi juga menyalahi hak dasar konsumen untuk memperoleh informasi yang benar dan jujur tentang produk yang mereka konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan UU tersebut masih membutuhkan pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang konsisten.

Baca Juga:  Zona Kuliner Halal, Aman, dan Sehat Dibuka Unair

Sertifikasi halal bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan sosial dari pelaku usaha kepada masyarakat. Kejujuran dalam mencantumkan label halal atau tidak halal merupakan wujud penghormatan terhadap keberagaman keyakinan di Indonesia, karena negara ini berdiri atas dasar toleransi, bukan manipulasi.

Oleh karena itu, perlu kesadaran kolektif dari semua pihak—pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan dan sanksi bagi pelanggar. Pelaku usaha harus menegakkan integritas dan transparansi, sementara masyarakat perlu semakin cerdas dalam memilih dan menelusuri kehalalan produk.

Hanya dengan kerja bersama, cita-cita UU No. 33 Tahun 2014—yaitu memberikan jaminan, kepastian, dan ketenangan bagi umat beragama dalam menjalankan keyakinannya—dapat benar-benar terwujud.

Ketegasan Penegakan Hukum dalam Kasus Pelanggaran Produk Halal

Kasus yang terjadi pada penjual bakso di Kasihan, Bantul, menjadi contoh nyata bagaimana kelalaian atau bahkan kesengajaan dalam memberikan informasi yang tidak jujur kepada konsumen dapat berakibat serius.

Pelaku usaha yang memproduksi makanan tidak halal tanpa mencantumkan keterangan yang jelas telah menipu kepercayaan masyarakat. Banyak umat Islam yang akhirnya mengonsumsi produk tersebut tanpa sadar, semata karena tidak diberi informasi yang benar.

Perbuatan ini tidak hanya melanggar UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, tetapi juga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam undang-undang tersebut, pelaku usaha diwajibkan memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan produk yang ditawarkan.

Artinya, tindakan menyembunyikan unsur ketidakhalaan suatu produk bukanlah kesalahan ringan, melainkan bentuk pelanggaran hukum yang merugikan konsumen secara moral dan material.

Oleh karena itu, sanksi yang diberikan tidak seharusnya berhenti pada teguran administratif semata. Pelaku usaha yang terbukti melanggar harus mendapatkan sanksi hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku agar menimbulkan efek jera dan menjaga kepercayaan publik.

Penegakan hukum yang tegas bukanlah bentuk kekerasan hukum, melainkan wujud tanggung jawab negara dalam melindungi hak-hak warganya, termasuk hak untuk mendapatkan jaminan produk halal dan informasi yang transparan. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni