Opini

Jatim dan 21 Koruptor Dana Hibah: Saatnya Bersih-Bersih tanpa Pandang Bulu

345
×

Jatim dan 21 Koruptor Dana Hibah: Saatnya Bersih-Bersih tanpa Pandang Bulu

Sebarkan artikel ini
KPK saat umumkan 21 tersangka korupsi dana hibah Jawa Timur, Kamis 2 Oktober 2025 (Foto Antara)

Kasus 21 koruptor dan hibah Jawa Timur membuka wajah gelap politik daerah. Dana yang mestinya menopang petani, nelayan, dan warga desa justru jadi bancakan elite. Kini saatnya gerakan bersih-bersih dilakukan tanpa pandang bulu, agar hibah kembali ke rakyat, bukan jadi alat transaksi.

Oleh Ulul Albab; Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Timur

Tagar.co – Kabar terbaru dari Gedung Merah Putih KPK kembali membuat kita terhenyak. Empat orang ditahan karena terlibat kasus korupsi dana hibah Jawa Timur tahun anggaran 2019–2022.

Mereka bukan orang asing: ada anggota DPRD, mantan kepala desa, hingga pihak swasta yang punya akses ke lingkaran kekuasaan. Nama-nama itu hanyalah sebagian dari 21 tersangka yang ditetapkan KPK dalam perkara ini.

Baca juga: Korupsi, Skandal yang Terasa Biasa di Negeri Ini

Sekilas, berita ini mungkin tampak biasa saja—korupsi lagi, pejabat lagi, uang rakyat lagi. Namun jika kita renungkan lebih dalam, justru di sinilah luka sosial itu menganga.

Dana hibah yang seharusnya menyentuh kelompok masyarakat (pokmas), membantu petani, nelayan, atau warga desa membangun usaha, justru berubah menjadi bancakan. Hibah yang semestinya menjadi jembatan pemerataan malah dijadikan alat transaksi.

Baca Juga:  Demi Masa: Empat Jalan Keselamatan dari Kerugian

Hibah Jadi Komoditas Politik

Praktik suap ini ibarat membuka tabir gelap politik daerah. Kita tahu, hibah kerap dipandang sebagai “kue” yang bisa dibagi-bagi. Bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, melainkan berdasarkan siapa dekat dengan siapa, siapa sanggup menyetor, siapa bisa melobi.

Ketua DPRD, wakil ketua, hingga anggota dewan disebut-sebut menerima aliran dana. Beberapa pemberi suap bahkan kembali terpilih menjadi anggota DPRD periode 2024–2029.

Ini bukan sekadar soal individu serakah, melainkan pola yang sudah mengakar. Hibah dijadikan komoditas, politik dijadikan bisnis, dan rakyat kembali jadi korban.

Kerugian Sosial yang Tak Tercatat

KPK tentu menghitung kerugian negara dalam rupiah. Tetapi sesungguhnya kerugian sosial jauh lebih besar dan tak bisa ditakar dengan angka.

Bayangkan, kelompok tani yang mestinya menerima bantuan pupuk atau peralatan gagal merasakannya. Nelayan yang mestinya mendapat mesin perahu tak jadi terbantu. Anak-anak di desa yang mestinya punya fasilitas pendidikan lebih layak harus tetap belajar dengan serba kekurangan.

Inilah korupsi yang bukan hanya merugikan kas negara, tetapi juga merampas masa depan masyarakat kecil. Ia memutus harapan, menumbuhkan rasa tidak percaya, dan mengajarkan bahwa untuk maju seseorang harus “membeli akses”.

Baca Juga:  Kementerian Haji dan Umrah di Bawah Gus Irfan: Harapan dan Tantangan

Refleksi untuk Jawa Timur

Jawa Timur adalah provinsi besar, dengan sejarah panjang, tradisi budaya, dan tokoh-tokoh nasional lahir dari sini. Mestinya Jatim bisa menjadi teladan dalam tata kelola pemerintahan yang bersih. Namun fakta hari ini menunjukkan sebaliknya: Jatim justru jadi sorotan karena praktik kotor pengelolaan hibah.

Kita patut bertanya: sampai kapan rakyat harus dirugikan? Sampai kapan wakil rakyat bermain di balik meja? Dan sampai kapan kita membiarkan mekanisme hibah berjalan tanpa transparansi?

Bersih-bersih tanpa Pandang Bulu

Kini saatnya masyarakat Jawa Timur bersatu menggaungkan semangat “Bersih-bersih Jatim”. Korupsi harus dilawan tanpa pandang bulu, siapa pun pelakunya. Bukan hanya pejabat teras di lingkaran pemerintah provinsi dan DPRD, tetapi juga oknum partai, pihak swasta, bahkan kelompok masyarakat yang ikut bermain nakal.

Bersih-bersih ini hanya bisa terwujud jika ada sinergi: KPK yang konsisten menindak, partai politik yang serius memperbaiki rekrutmen calegnya, pemerintah daerah yang berani membuka data hibah secara digital dan transparan, serta masyarakat sipil yang aktif mengawasi.

Baca Juga:  Menjaga Kondusivitas Jatim di Tengah Isu Demo Besar 3 September

Jangan sampai rakyat Jatim hanya jadi penonton dalam panggung yang dimainkan elite. Sudah saatnya publik ikut menentukan aturan main baru: hibah untuk rakyat, bukan hibah untuk transaksi.

Saatnya Rakyat Bangkit Tolak Pemimpin Korup

Kasus korupsi dana hibah Jatim adalah tamparan keras. Tetapi tamparan ini bisa jadi momentum—momentum untuk bangkit, menolak budaya sogok-menyogok, dan mengembalikan Jatim ke jalannya: provinsi yang besar karena moralitas, bukan hanya karena angka-angka ekonomi.

Masyarakat Jawa Timur punya modal sosial yang kuat: gotong royong, solidaritas, dan semangat religiusitas. Jika semua kekuatan ini bersatu, Jatim bisa menjadi pelopor gerakan antikorupsi daerah di Indonesia.

Bersih-bersih Jatim memang berat. Tetapi kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Opini

Metode valuasi Scrapped Approach dipakai di ruang sidang…