Opini

DPR Satu Kolam, Rakyat Kehilangan Saluran Suara

455
×

DPR Satu Kolam, Rakyat Kehilangan Saluran Suara

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi AI

Tanpa oposisi, politik ibarat kolam tanpa arus penyeimbang. Keputusan negara diambil sepihak, sementara suara rakyat kian terpinggirkan.

Oleh dr. Mohamad Isa

Tagar.co – Kisah hiruk pikuk demonstrasi yang terjadi di beberapa tempat, disertai pembakaran, perusakan, dan penjarahan barang di sejumlah lembaga negara, rumah anggota DPR, dan menteri, menjadi berita hangat pekan ini.

Dalam salah satu insiden bahkan menyebabkan meninggalnya beberapa orang. Sebuah fakta nyata yang ada di depan mata. Masyarakat pun diliputi kecemasan akibat kondisi tersebut.

Dewan Perwakilan Rakyat

Anggota DPR sebagai wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilihan umum diharapkan menjadi corong ketika muncul persoalan di masyarakat. Masalah-masalah rakyat seharusnya didengar dan dirasakan, lalu dijadikan bahan diskusi dalam forum politik di Gedung DPR.

Baca juga: Tahta Membawa Sengsara

Namun, kenyataan yang dirasakan sebagian masyarakat saat ini adalah aspirasi mereka belum terakomodasi dengan baik oleh anggota DPR. Saluran komunikasi seolah terhambat karena DPR lebih banyak merepresentasikan partai ketimbang benar-benar menyuarakan rakyat.

Baca Juga:  ICMI: Gejolak Politik Butuh Langkah Cepat dan Bijak Presiden

Komposisi Anggota DPR

DPR saat ini berjumlah 580 orang yang terbagi dalam delapan fraksi. Tujuh fraksi berkoalisi dengan pemerintah, sementara satu fraksi berada di posisi abu-abu: antara mendukung dan beroposisi.

Komposisi ini terasa kurang sehat bagi pengambilan keputusan negara. Ibaratnya, semua berada dalam “satu kolam” politik. Akibatnya, tidak ada kekuatan check and balance. Dengan eksekutif dan legislatif yang sama-sama “satu kolam”, keputusan terasa sepihak.

Rakyat mengamati dengan saksama pergumulan politik di DPR. Fraksi-fraksi terlihat kurang peka mencermati realitas di masyarakat. Akibatnya, rakyat merasa tidak ada saluran politik yang benar-benar dapat mengakomodasi aspirasi mereka. Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab demonstrasi.

Partai “Oportunis”

Dalam perjalanan politik Indonesia, ada partai yang lahir dengan idealisme tinggi untuk kepentingan rakyat dan negara. Orang bergabung karena nilai-nilai idealisme yang ditawarkan.

Namun, seiring waktu, idealisme itu perlahan ditinggalkan dan digantikan dengan nilai-nilai transaksional. Dari partai idealis berubah menjadi partai oportunis.

Karena sifat oportunis itulah partai-partai berlomba-lomba meraih suara, hanya untuk menduduki jabatan tertentu dan mempertahankan kekuasaan.

Baca Juga:  Demokrasi Pancasila yang Retak: Krisis Kemanusiaan di Jalanan

Partai “Oposisi”

Keberadaan partai yang bersikap kritis terhadap pemerintah sangat diperlukan. Fungsinya sebagai sarana pengawasan dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan. Menjadi partai oposisi sama terhormatnya dengan partai koalisi.

Bila semua fraksi bergabung dalam koalisi, keputusan akan ditentukan secara kuantitatif semata karena jumlah anggota yang besar, bukan karena kualitas program yang benar-benar baik.

Etika Anggota DPR

Dalam komunitas DPR ada kode etik yang harus dijaga dan dilaksanakan. Setiap anggota wajib menjaga etika, baik dalam berkomunikasi dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat.

Jika ada pelanggaran, harus segera diselesaikan. Jangan karena merasa “satu kolam” lalu dibiarkan. Rakyat akan merasa tidak dihargai, dan pada akhirnya bisa menimbulkan kemarahan.

Penutup

Check and balance dalam kelembagaan perlu diaktifkan untuk menjaga keberlangsungan program dengan baik.

Etika dalam berbangsa dan bernegara pun harus dijaga agar Indonesia tetap menjadi negara dan bangsa yang terhormat.

Banjarmasin, 4 September 2025

Kursi Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf terancam setelah rapat Syuriah sepakat dia harus mundur dalam waktu tiga hari ini.
Opini

Kursi Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf terancam…