Opini

All Eyes on Sumud Flotilla

339
×

All Eyes on Sumud Flotilla

Sebarkan artikel ini
Armada Global Sumud Flotilla sebelum ditangkap Israel

Tragedi Mavi Marmara seolah berulang. Penahanan kapal-kapal kemanusiaan Global Sumud Flotilla oleh Israel memicu gelombang protes internasional, menghidupkan kembali sorotan pada blokade Gaza.

Oleh Fahmi Salim

Tagar.co – Di tengah hiruk-pikuk konflik global, sebuah pemandangan menakjubkan hadir di Laut Mediterania: Global Sumud Flotilla (GSF), armada sipil terbesar yang pernah berlayar menantang blokade Gaza.

Kata sumud berarti keteguhan, dan itulah yang tercermin dalam keberanian ratusan orang yang mengikat nasib mereka dengan rakyat Palestina.

Armada yang Menyita Perhatian Dunia

Bayangkan: lebih dari 40 kapal, sekitar 500 relawan dari 44 negara, berangkat dari Barcelona, Genoa, Catania, Syros, hingga pelabuhan di Tunisia.

Baca juga: Kapal Global Sumud Flotilla Diserang Israel

Mereka bukan pasukan bersenjata, melainkan warga sipil—dokter, aktivis, seniman, hingga tokoh publik seperti Greta Thunberg dan Mandla Mandela.

Kehadiran mereka mengirim pesan jelas: isu Gaza adalah persoalan nurani dunia, bukan semata politik regional.

Bahaya di Laut Terbuka

Namun, lautan tidak menyambut dengan tenang. Dua kapal flotila terbakar di perairan Tunisia, diduga akibat serangan drone. Kapal-kapal misterius tanpa lampu membayangi. Gangguan komunikasi merajalela.

Baca Juga:  Refleksi Dua Tahun Topan Al-Aqsa: Dari Jogokariyan untuk Palestina Merdeka

Semua ini mencerminkan betapa sebuah aksi kemanusiaan sederhana pun dianggap ancaman oleh mereka yang ingin melanggengkan pengepungan Gaza.

Dan akhirnya, pada awal Oktober 2025, Angkatan Laut Israel bergerak. Sedikitnya 14 kapal ditahan, lebih dari 200 relawan digiring ke Pelabuhan Ashdod.

Baca juga: Kapal Global Sumud Flotilla Diserang Israel

Israel menyebut ini demi keamanan. Namun, banyak pengamat hukum laut menilai: apa yang terjadi adalah pembajakan di laut internasional yang disamarkan dengan alasan militer.

Gema Protes Internasional

Respons dunia menggema. Turki menyebutnya terorisme negara. Kolombia memutus hubungan diplomatik dengan Israel.

Dari Madrid hingga Johannesburg, dari Roma hingga Jakarta, massa turun ke jalan menuntut pembebasan relawan. Media internasional segera membandingkan insiden ini dengan tragedi Mavi Marmara tahun 2010—sebuah luka sejarah yang kini seolah terulang.

Pertarungan Narasi

Apakah Sumud Flotilla akan sekadar menjadi catatan kaki seperti Mavi Marmara, atau justru menjadi titik balik solidaritas global?

Pertanyaan ini kini menggantung di udara. Yang jelas, blokade Gaza tidak lagi bisa dipandang sebagai status quo. Semakin dunia menutup mata, semakin kuat suara dari kapal-kapal sipil itu mengguncang kesadaran kita.

Baca Juga:  Sumud: Rahasia Palestina yang Tak Pernah Tumbang

Jalan ke Depan

Negara-negara bisa menekan agar koridor kemanusiaan netral dibuka, dengan kargo diperiksa pihak independen. Forum PBB bisa menjadi arena untuk menuntut legalitas blokade.

Masyarakat sipil punya peran tak kalah penting: menyuarakan kisah relawan, mendukung NGO kredibel, dan memastikan Gaza tetap hadir di mata dunia.

Simbol Keteguhan

Sumud Flotilla mungkin ditahan, kapalnya disita, relawannya ditangkap. Tetapi yang tak bisa dipenjara adalah simbolnya: keteguhan melawan ketidakadilan. Dari Barcelona ke Gaza, dari Cape Town ke Jakarta, dunia kini menoleh tajam dan mengawasi sungguh-sungguh.

All eyes on Sumud Flotilla.

Free Palestine, Viva Palestina, Palestina Merdeka!

Jakarta, 3 Oktober 2025

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Opini

Metode valuasi Scrapped Approach dipakai di ruang sidang…