
Eco-Sociopreneur Academy: Mencetak ecosociopreneur muda, para pelaku ekonomi yang tak hanya mengejar profit, tetapi juga peduli pada bumi dan sesama.
Tagar.co – Di tengah hiruk pikuk Kota Bandung, ahad (22/12/24) semangat kepedulian lingkungan dan kewirausahaan sosial berkobar.
Di Aula Kampus Daekin University & Lancaster University Indonesia, 100 anak muda berkumpul, penuh antusias mengikuti workshop Eco-Sociopreneur Academy (ESA). Mereka adalah generasi harapan yang siap menjadi agen perubahan, memadukan bisnis dan kelestarian lingkungan.
ESA bukan sekadar pelatihan bisnis. Program ini merupakan oase di tengah gurun krisis lingkungan, sebuah inisiatif yang digagas oleh kolaborasi apik antara Eco Bhinneka Muhammadiyah, Gerakan Islam Cinta (GIC), Peace Generation, serta Daekin University & Lancaster University Indonesia.
Tujuan mereka mulia: mencetak ecosociopreneur muda, para pelaku ekonomi yang tak hanya mengejar profit, tetapi juga peduli pada bumi dan sesama.
“Tren sociopreneur di Indonesia meningkat 70 persen dalam lima tahun terakhir. Kontribusinya mencapai 1,91 persen terhadap PDB, setara 19,4 miliar rupiah. Yang menggembirakan, 67 persen pelakunya adalah anak muda,” ungkap Eddy Aqdhiwijaya, Ketua Yayasan Islam Cinta Indonesia (GIC) selaku koordinator pelaksana ESA, membuka acara dengan data yang menggugah.
Namun, di balik angka-angka fantastis itu, terselip tantangan besar. Perubahan iklim, polusi, dan kerusakan ekosistem mengancam. Di sinilah peran ecosociopreneur menjadi krusial. Mereka adalah solusi, para inovator yang mampu menghadirkan bisnis berkelanjutan, ramah lingkungan, dan berkeadilan sosial.

Dari Seleksi Ketat hingga Mentoring Intensif
Perjalanan menjadi ecosociopreneur di ESA tidaklah mudah. Dimulai dengan pendaftaran pada 10-18 Desember 2024, para peserta harus melewati seleksi yang ketat.
Hanya mereka yang berusia 15-35 tahun, aktif berwirausaha dan berkegiatan sosial, serta memiliki visi lingkungan yang kuat, yang berhak melaju. Mereka yang terpilih kemudian mengikuti pra-workshop online pada 20 Desember 2024, sebelum akhirnya berkumpul di workshop utama hari ini.
Baca juga: Umat Beragama Harus Bersatu Menyelamatkan Lingkungan Hidup
Di sinilah, di ruangan yang dipenuhi energi positif, para mentor berpengalaman berbagi ilmu dan inspirasi. Ada Irfan Amali, pendiri Peace Generation, yang menekankan pentingnya experiential learning.
“Yang mengubah seseorang adalah pengalaman. Belajar harus menyenangkan. Mulai dengan ‘mengapa’, lalu ‘bagaimana’,” ujarnya, memantik semangat belajar berbasis pengalaman yang menyenangkan dan penuh makna.
Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, mengingatkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari keimanan.
“Ilmu lingkungan itu dekat, dari kita bangun sampai tidur. Kerusakan lingkungan terjadi karena keserakahan. Pencegahannya harus dikembalikan ke hati, ke nilai-nilai keyakinan,” tuturnya, dikutip dari siaran pers yang diterima Tagar.com Senin (23/12/24) pagi.
“Agama harus bicara tentang krisis iklim. Hubungan manusia dengan alam rusak, hubungan dengan Tuhan pun tidak baik. Tugas entrepreneurship bukan untuk kaya, tapi membantu alam dan sesama. Itu Jihad Al Maun,” tegasnya, disambut tepuk tangan meriah.
Sianne Sari, Director of Student Recruitment Daekin University & Lancaster University Indonesia, menyoroti dampak positif ecosociopreneur. “Solusi hijau untuk perubahan iklim, pengurangan sampah, konservasi sumber daya, ekonomi sirkular, dan konsumsi yang bertanggung jawab, semua bisa diwujudkan,” katanya optimis.
Jonathan Gultom, praktisi entrepreneur, mengingatkan peserta untuk fokus pada solusi, bukan profit semata. “Tugas bisnis adalah menyelesaikan masalah customer. Profit adalah dampak dari customer yang happy. You will be happy in your customer happiness,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya segmentasi pasar yang tepat, “Segmen itu seperti pasir, buatlah segmenmu. Genggam yang pas, agar tak lepas,” ujarnya metaforis.
Arto Biantoro, pakar branding, melengkapi sesi dengan pentingnya pendekatan holistik dalam membangun brand.
“Brand yang bagus melibatkan kelima panca indera. Semua touch point didesain sebagai pembeda, membawa pesan yang ingin disampaikan. Brand yang kuat dimulai dari komunitas yang kuat dan konsistensi,” jelasnya, menekankan pentingnya membangun brand yang otentik dan berdampak.

Kisah Inspiratif dari Peserta
Kiblat, siswa kelas IX SMP dari Pesantren Welas Asih, tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. “Materinya luar biasa. Belajar memilah info, mana yang hoax dan tidak, target pasar yang spesifik. Ini luar biasa untuk saya yang masih 15 tahun. Semoga ESA semakin berkembang dan bermanfaat,” ujarnya penuh harap.
Aisyah, peserta dari Ina Speak-up, juga berbagi kesan mendalam. “Pemuda adalah pembangun peradaban. Di sini kita belajar settle dan berdampak. Relasi di forum ini, semoga kita bisa berkontribusi. Ilmu ini mahal, mungkin nggak saya dapetin di tempat lain. Ini hadiah terbaik di akhir tahun,” ungkapnya penuh syukur.
Perjalanan para peserta ESA tak berhenti di sini. Dua puluh peserta terpilih akan mendapatkan pendampingan intensif melalui coaching dan mentoring pada Januari 2025, mencakup tema-tema krusial seperti Peace Partnership, Lingkungan Hidup, Social Entrepreneurship, Business Plan, Merancang Produk dan Layanan, hingga Branding & Marketing.
ESA adalah bukti nyata bahwa kolaborasi lintas sektor mampu melahirkan generasi muda yang tak hanya cerdas berbisnis, tetapi juga peduli pada masa depan bumi.
Dari Bandung, semangat ecosociopreneurship ini diharapkan menyebar ke seluruh penjuru negeri, menciptakan gelombang perubahan menuju Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang bisnis, ini tentang masa depan kita bersama. Ini tentang harapan untuk bumi yang lebih baik. (#)
Jurnalis Dzikri Farah Adiba Penyunting Mohammad Nurfatoni












