Opini

Cloud dan Penjajahan Baru: Palestina dalam Jerat Digital

233
×

Cloud dan Penjajahan Baru: Palestina dalam Jerat Digital

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Mohammad Nurfatoni/Ai

Penjajahan tak lagi dengan meriam, melainkan dengan server dan kabel optik. Palestina kehilangan bukan hanya tanah, tetapi juga bisikan rahasia di ruang digital.

Catatan Ahmadie Thaha; Kolumnis

Tagar.co – Ada masa ketika awan hanyalah gumpalan putih di langit, lambang puisi cinta dan tanda turunnya hujan. Namun kini, awan adalah pabrik rahasia, gudang digital, ruang gelap berlapis enkripsi tempat umat manusia menaruh seluruh isi kepala dan hatinya.

Awan berubah jadi cloud storage. Semua hal—dari status “lagi galau” sampai percakapan kerja, dari doa tengah malam sampai curhat anak ke ibunya—tersedot, dikompresi, lalu disimpan di server dingin milik korporasi raksasa.

Baca juga: Robot di Meja Redaksi

Dan di titik inilah absurditas zaman kita dimulai: doa yang mestinya naik ke langit, sekarang singgah dulu ke server Microsoft di Tel Aviv. Microsoft membacanya, mengarsipkannya, bahkan mungkin menjualnya sebagai metadata berharga.

Kasus paling menyakitkan terjadi ketika Israel menjadikan awan Microsoft sebagai tempat menyimpan hasil sadapan percakapan rakyat Palestina. Semuanya. Data suara, pesan pribadi, rekaman telepon—semuanya diperas dan ditampung di sana.

Seolah-olah Microsoft bukan sekadar penyedia teknologi, melainkan malaikat pencatat yang lebih setia kepada Netanyahu ketimbang kepada hukum moral dunia.

Media internasional sempat ribut: bagaimana mungkin sebuah perusahaan global yang setiap hari mempromosikan privacy, security, trust justru menjadi penyedia gudang kolonialisme digital?

Jawaban Microsoft klise: “Kami hanya penyedia layanan, bukan penentu kebijakan penggunaan data.” Itu persis seperti pemilik gudang yang pura-pura polos ketika tahu barang curian menumpuk di gudangnya.

Baca Juga:  Gemini CLI: Sihir Baru Google di Medan Perang AI

Ketika kontrak kerja sama Microsoft–Israel terbongkar, dunia kaget. Bukan hanya karena data curian Palestina disimpan di sana, tetapi karena Microsoft—perusahaan dengan motto empowering every person on the planet—ternyata memilih memberdayakan algoritma penjajahan.

Setelah kritik deras datang dari akademisi, aktivis digital, hingga publik internasional, Microsoft buru-buru mengumumkan pemutusan kontrak dengan Israel.

Katanya, mereka tak lagi bekerja sama dengan proyek penyimpanan data militer Israel. Narasi ini terdengar manis, seolah Microsoft baru saja menegakkan kembali hak asasi manusia lewat tombol delete contract.

Absurdnya Dunia Digital

Namun, mari kita jujur sebentar. Data yang sudah terlanjur disedot, disimpan, dan diindeks dalam server cloud, apakah benar ikut dihapus? Jangan-jangan pemutusan kontrak hanyalah drama PR ala korporasi global: lampu kamera menyala, CEO tersenyum, investor lega, publik ditenangkan. Tetapi di ruang server yang sunyi, data-data itu tetap bernapas, tetap terjaga, tetap bisa diakses oleh pihak yang punya kunci.

Inilah absurdnya dunia digital: kontrak bisa diputus, tapi data tak bisa diceraikan. Sekali masuk awan, ia jadi bagian dari atmosfer. Anda boleh klaim sudah “hapus akun,” tapi siapa yang menjamin bekas obrolan Anda masih tersimpan di backup tape entah di gudang bawah tanah Texas atau di bunker data center Tel Aviv?

Baca Juga:  Bukan Cuma Halal, Bang! Tayib Juga

Dulu, awan hanyalah benda alam. Netral, apolitis, tak punya paspor. Tetapi begitu awan menjelma cloud computing, ia berubah jadi teritorial baru perebutan kuasa. Di sanalah Microsoft, Amazon, Google, berlomba-lomba menjadi “penguasa langit.” Israel melihat peluang ini dan menancapkan kukunya: kalau perang abad lalu soal tanah, perang abad ini soal awan.

Microsoft Azure, dengan slogan keamanannya yang mentereng, menjadi langit buatan tempat rahasia Palestina ditampung. Di sinilah kolonialisme digital menemukan bentuk paling absurd: rakyat Palestina bahkan kehilangan hak untuk berbisik. Apa pun yang mereka ucapkan bisa dicuri, dianalisis, dipelintir.

Awan berubah jadi hakim, algojo, apartheid, sekaligus pasar. Bayangkan, doa seorang ibu di Gaza mungkin singgah dulu ke server, lalu dipilah: layak naik ke langit, atau cukup jadi training data untuk melatih kecerdasan buatan. Algoritma tak pernah sabar: semua percakapan harus segera diproses, diberi label, dimasukkan ke pipeline, lalu dieksekusi.

Sejarah selalu punya cara berulang dalam bentuk lebih absurd. Kalau dulu VOC mencuri cengkeh dan pala dari Maluku, kini Microsoft bersama Israel mencuri voice note dari Gaza. Bedanya, VOC masih butuh kapal perang dan meriam. Microsoft cukup dengan server dan kabel optik.

Kalau dulu kolonialisme merampas tanah, kini kolonialisme merampas data. Dulu orang dipaksa menandatangani perjanjian dagang, kini orang dipaksa menandatangani Terms of Service. Dulu kita dijajah dengan senapan, kini dijajah dengan bandwidth.

Bukan Metafora

Maka kolonialisme digital bukan sekadar metafora. Ia nyata. Ia hadir di server-server dingin yang jarang kita lihat tetapi selalu kita gunakan. Ironinya, kita semua—dari Jakarta, New York, sampai Gaza—ikut menaruh data di awan yang sama. Bedanya, sebagian orang kehilangan privasi karena sistem, sebagian lagi kehilangan hidup karenanya.

Baca Juga:  Vitamin Moral atau Resep Operasi Sesar, Mana yang Dipilih Istana?

Dan yang lucu sekaligus tragis: Microsoft berlagak netral, padahal mereka tahu betul siapa yang mereka layani. Israel tidak hanya membeli layanan, tetapi membeli legitimasi: kalau Microsoft sudah terlibat, siapa yang berani bilang ini penjajahan?

Pada akhirnya, pemutusan kontrak hanyalah drama. Dunia ribut sebentar, lalu sibuk lagi dengan gawai masing-masing. Gaza tetap disadap, Microsoft tetap kaya, Israel tetap berkuasa, dan kita tetap menaruh foto-foto liburan di cloud yang sama.

Barangkali hanya ada satu hal yang tersisa: tertawa getir. Sebab tangis kita pun sudah dibackup di cloud.

Dan di sinilah absurditas mencapai klimaks: sebuah bangsa kehilangan tanah, tubuh, bahkan suara. Doa yang mestinya rahasia kini jadi bahan bakar algoritma. Dunia menyebut ini kemajuan teknologi. Tetapi bagi Palestina, ini adalah bentuk kolonialisme baru yang lebih licik: kolonialisme awan.

Awan yang dulu berarti rahmat, kini jadi awan kapitalisme digital: gelap, pekat, dan penuh petir bisnis. (#)

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 4 Oktober 2025

Penyunting Mohammad Nurfatoni

Opini

Metode valuasi Scrapped Approach dipakai di ruang sidang…