
Ini bukan soal takut saingan atau takut kalah bisnis. Ini soal memastikan jemaah terlindungi, ibadah tetap bermakna, dan negara tidak kebablasan dalam menerjemahkan modernisasi sebagai pembiaran.
Menimbang Ulang Umrah Mandiri dalam UU No. 14 Tahun 2025 (Seri 8); Oleh: Ulul Albab; Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri.
Tagar.co – Tidak ada yang perlu ditakuti dari perubahan, kecuali satu: ketika perubahan kehilangan arah. Dan itulah yang kami khawatirkan dari lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 yang melegalkan umrah mandiri.
Kami bukan takut bersaing. Kami juga bukan takut rugi, bukan pula takut jemaah akan “lari” ke jalur mandiri. Yang kami takutkan justru jauh lebih besar, yaitu: negara kebablasan dalam memahami makna ibadah.
Baca juga: Amphuri Siapkan Judicial Review UU Haji-Umrah
Sebagian orang, termasuk beberapa pejabat dan influencer digital, tampak begitu gembira menyambut “umrah mandiri”. Narasinya indah. Ada yang bilang “pilihan rakyat”. Ada yang bernarasi “membuka kesempatan lebih luas”. Ada juga yang mengatakan “lebih murah dan bebas”.
Padahal, di balik narasi yang manis itu, ada potensi kekacauan besar dalam tata kelola ibadah umat.
Ibadah umrah bukan liburan religi, tetapi perjalanan spiritual dengan tata cara yang sakral—berdasarkan manasik, syariat, syarat hukum yang ketat, dan risiko lintas negara yang tidak kecil.
Menyamakan umrah dengan perjalanan wisata, lalu menyerahkannya sepenuhnya kepada siapa pun yang ingin berangkat, itu seperti melepas jamaah ke padang pasir tanpa peta, tanpa kompas, tanpa bimbingan.
Negara semestinya hadir bukan hanya sebagai “pemberi izin” (melegalkan), tetapi juga tetap sebagai pelindung ibadah. Apalagi dalam konteks Indonesia, di mana umat Islam datang dari latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi yang beragam.
Tidak semua orang paham sistem Nusuk, cara mendapatkan visa, mengatur penginapan, memahami manasik, atau mengurus dokumen internasional. Di sinilah peran PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) dibutuhkan: bukan sekadar sebagai agen, tapi muhtasib modern — pelayan ibadah yang memadukan profesionalisme bisnis dan nilai syariah.
PPIU bekerja dalam kerangka hukum: wajib berbentuk PT, punya jaminan bank, membayar pajak, memberikan gaji karyawan sesuai UMR, memiliki pembimbing bersertifikat, dan patuh terhadap regulasi harga minimum (yang bahkan mencegah mereka menjual paket murah sekalipun mampu).
Mereka, PPIU, adalah wajah Indonesia yang tertib di Tanah Suci. Mereka membawa nama baik bangsa. Bukan hanya dalam pakaian ihram, tapi juga dalam perilaku jamaah di Tanah Haram.
Lalu datanglah pasal-pasal baru dalam UU 14/2025: Pasal 86, 87A, dan 122 membuka jalan umrah mandiri tanpa kejelasan siapa yang mengawasi, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana negara memastikan jamaah terlindungi. Pasal itu seolah membuka gerbang tanpa penjaga, dengan asumsi “semua orang bisa mengurus diri sendiri”.
Terlebih Pasal 122 mengancam denda dan pidana berat bagi siapa saja yang mengurus jamaah mandiri tanpa hak. Artinya, jamaah umrah mandiri benar-benar mandiri—tanpa bantuan.
Dan pihak yang paling berhak membantu sebenarnya adalah PPIU, namun haknya menjadi paradoks dengan semangat mandiri karena PPIU justru diatur ketat oleh regulasi. Jadi menurut ketentuan, PPIU pun belum otomatis boleh melayani jamaah mandiri sebelum ada aturan turunan yang lebih jelas.
Belum lagi para influencer, atau siapa pun yang mengajak-ajak “umrah mandiri bareng” dengan promo gencar di media sosial. Mereka juga terancam sanksi dan pidana oleh Pasal 122. Mungkin ini yang belum banyak dipahami, sehingga uji JR ke MK oleh PPIU dianggap sebagai “takut bersaing” dan stigma negatif lainnya.
Maka, judicial review ke Mahkamah Konstitusi bukan bentuk ketakutan, tapi bentuk tanggung jawab. Ini bukan soal bisnis. Ini soal keadilan konstitusional, memperjuangkan bahwa setiap warga negara yang beribadah ke luar negeri berhak atas perlindungan negara (Pasal 28D UUD 1945).
Bahwa negara tidak boleh abai hanya karena ingin tampak modern dan mengikuti kebijakan Arab Saudi. Bahwa inovasi kebijakan tidak boleh membuat rakyatnya menjadi korban percobaan.
Kami di Amphuri percaya:
-
Regulasi boleh berubah, tapi nilai ibadah tak bisa ditawar.
-
Teknologi boleh mempercepat proses, tapi tidak boleh memperdangkal makna.
-
Kompetisi boleh dibuka, tapi dalam koridor etika dan perlindungan.
Kami tidak sedang menolak perubahan. Kami sedang menjaga agar perubahan tidak berubah menjadi kesesatan kebijakan. Karena bagi kami, meluruskan arah kebijakan bukan sekadar advokasi hukum, tapi ibadah intelektual, jihad konstitusi untuk memastikan setiap jamaah berangkat dengan aman, pulang dengan iman.
Jika untuk itu kami disebut “takut”, maka harus diluruskan bahwa kami memang takut kalau negara kebablasan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni










